Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana.
Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor.Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul.“Ini kost?” Aku bertanya memastikan.Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang.“Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil.Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya.“Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan.Aku hanya mengangguk setuju.“Untuk tidur juga sudah disediakan. Bantal dan selimut yang lebih bagus dari ini.” Ia kembali menerangkan.Aku hanya mengangguk setiap kali ia menjelaskan. Apalagi yang bisa kulakukan? Bukankah yang ia tawarkan adalah sebuah kemewahan yang sangat aku inginkan?“Pilih barang yang masih ingin kau pakai.” Sergio memberikan instruksi.Aku terdiam sejenak. Rasanya sayang jika dibuang. Meskipun sudah tidak terlihat baru, tapi barang-barang itu adalah saksi bisu ketika aku melewati masa-masa sulit di tempat sebelumnya.“Sisanya akan aku bawa ke tempat pembuangan.” Sergio seolah memberikan instruksi agar aku lekas memilih barang yang diinginkan.Aku terdiam sejenak, lalu menghela napas dalam. “Buang saja semua.” Aku menjawab dengan berat.Aku ingin meninggalkan jejak Dinda, ingin memulai hidup baru dengan nama Cindy.“Baiklah.” Lelaki bertubuh tegap itu kembali memasukkan semua barang ke bagasi.Sergio memandu jalan menuju bangunan yang mirip dengan rumah mewah itu. Aku mengikuti di belakang dengan menjinjing beberapa paper bag.Ruang pertama yang kami masuki ketika melewati pintu layaknya sebuah lobi. Ada sofa dan meja yang tertata dengan rapi di sana. Tanpa ada ruang pembatas.Maju sedikit lebih jauh ke arah kanan, ada tangga yang menjembatani kami menuju lantai atas. Lelaki berkaos hitam itu berjalan layaknya sudah hapal setiap inci bagian dari bangunan ini.Sergio memang tidak mengenakan seragam dengan lengkap ketika ia menemuiku. Hanya mengenakan celana army, dengan atasan kaus hitam. Mungkin akan diganti ketika ia kembali ke kantor nanti.“Ini kamarmu.” Sergio berucap ketika ia berhenti di depan pintu nomor 25.Sebuah kartu ia keluarkan dari kantung. Hanya dengan menggesek, pintu bisa dibuka tanpa membutuhkan kunci lagi.Aku mengekor di belakang setelah ia masuk lebih dulu. Kartu itu ia letakkan di sebuah tempat kecil yang membuat lampu langsung menyala saat itu juga. Semuanya dirancang secara mesin dan otomatis.Menakjubkan!Kamar yang Sergio berikan layaknya sebuah hotel. Sebuah ranjang yang begitu empuk. Dua buah bantal, juga sebuah guling yang bersih tertata rapi di sana. Aku suka saat duduk di tepian ranjang, sebab kasurnya langsung naik dan turun dengan lembat.Kuempaskan tubuh dengan kasar. Ingin merasakan keempukan dari ranjang. Sungguh, ini sangat nyaman! Jauh lebih nyaman daripada sekadar berbaring di atas kasur lantai.Kamar ini dilengkapi AC, televisi, lemari, juga meja rias.“Kau bisa mandi di sini.” Sergio menunjukkan sebuah ruangan di dalam kamar. Ia membukakan pintu dan memperlihatkan isi di dalam sana.Aku bangkit berdiri, beranjak untuk melihat.Ini mimpi?Kutampar pipi kanan untuk memastikan bahwa ini adalah sebuah kenyataan.Kamar mandi yang sejak dulu kuimpikan, akhirnya bisa kumiliki. Ada shower, juga kaca besar di sana. Peralatan mandi sudah tertata dengan rapi. Kurasa itu masih baru dan bersih. Aroma kamar mandi juga tidak ada pesing-pesingnya. Yang ada malah aroma apel yang menyegarkan.Ada toilet duduk juga. Dilengkapi dengan tisu toilet juga semprotan air.“Kau bisa menunjukkan padaku bagaimana cara memakainya?” Aku bertanya dengan ragu. Merasa malu karena tidak tahu.Sergio tertawa tipis, kemudian menjelaskan padaku bagaimana cara menyalakan shower, bagaimana cara menyetel air panas atau dingin, bagaimana cara menggunakan toilet duduk.Ah, jika toilet duduk aku bisa memakainya. Karena ada di tempat bekerja. Setiap hari aku diminta untuk membersihkan. Hanya saja tidak ada shower di sana.“Tinggalkan kamar dulu, akan kutunjukkan dapur juga rooftoop untuk bersantai.” Sergio mengajakku untuk keluar. Ia mengajari agar jika ingin keluar selalu membawa kartu kamar. Sebab, pintu hanya bisa dibuka dari dalam atau dari luar jika menggunakan kartu.Aku mulai paham meskipun belum seutuhnya.Kami berjalan ke bawah. Dapur ada di lantai paling dasar.Kurasa ini adalah kost paling mewah yang pernah kutahu. Dapurnya sungguh bersih dengan peralatan yang lengkap. Di sana juga ada dua buah kulkas.“Kau bisa menyimpan bahan makanan di sini. Tapi tidak saya sarankan, sebab akan bebas dipakai oleh penghuni lainnya.” Sergio memberi peringatan.Setelah menunjukkan dapur, kami berjalan menuju lantai paling atas. Di sana, tidak ada kamar sama sekali. Hanya sofa dengan meja untuk ruangan seluas itu. Ada banyak sofa yang ditata dengan sangat indah.“Jika ada tamu bisa dibawa ke sini.” Ia menjelaskan.Aku mengangguk paham. Ada lampu-lampu kecil yang digantung di sekitaran plafon, membentang dari satu sudut ke sudut lain. Bunga hias yang ada di sana juga bunga hidup, bukan bunga mati.Setiap meja yang dilingkari oleh sofa juga diberikan hiasan berupa bunga. Ruang ini juga diberikan AC. Meskipun mata bisa memandang dengan jelas ke luar sana, tidak ada celah sama sekali bagi angin untuk masuk. Sebab, itu adalah kaca. Kaca yang begitu bening, seolah tidak ada penghalangnya.Kukira rooftoop yang dimaksud adalah atap seperti biasanya. Ternyata tidak, aku salah.“Kau sangat paham tentang bangunan ini.” Entah itu pujian atau pernyataan, aku tidak tahu. Sebab terlalu takjub dengan apa yang aku dapatkan.“Saya pemilik dari kost ini.” Sergio tertawa kecil.Waw!“Sungguh?” Aku bertanya tidak percaya.Untuk usia semuda dirinya, mustahil bisa memiliki bangunan semewah ini. Apalagi ia hanya bekerja sebagai polisi. Yang kutahu gajinya tidak terlalu banyak. Kecuali dia terlahir dari keluarga kaya-raya. Wajar saja, sebab ia memulai dari nol yang berbeda.“Berapa biasa sewa per bulan?” Aku bertanya seraya menatapnya dengan dalam. Jantung berdebar dengan sangat cepat, menunggu jumlah nominal yang akan keluar dari mulutnya. Takut jika tidak akan sanggup untuk membayar.Sergio menarik napas dalam. Kemudian membalas menatapku dengan lebih dalam lagi.“Kau tidak perlu membayar biaya sewa, asal kau mau menjadi simpanan saya.” Ia berucap dengan menatap sangat dalam. Teramat dalam.Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. “Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang
Sejenak kami terdiam dengan saling pandang. Ia memberikan senyum smirk yang menonjolkan kesan menyeramkan. “Kau yakin ingin menolak?” Sergio bertanya meyakinkan. Ia menatap seolah ingin menelanjangi. Tatapan itu sungguh menakutkan. Tajam, dan menusuk. Aku terdiam. Gemetar. Kali ini aku benar-benar takut melebihi apa pun. Bahkan lebih takut dibanding dengan malam terkutuk itu. Aku rasa ini benar-benar sebuah jebakan. Aku telah masuk terperangkap ke dalam lubang yang telah ia gali. Terlalu memikirkan duniawi hingga tidak memikirkan risiko yang ada. “Oke. Kau mau apa?” Aku bertanya dengan suara bergetar. Wajah lelaki itu memerah. Sejenak ia kembali terdiam. Kukira ia akan marah dan main tangan. Ternyata dugaanku lagi-lagi salah. Wajah memerah itu bukan karena menahan amarah, tapi karena menahan tawa. Tawanya pecah seketika. “Ternyata hanya sebesar itu perlawananmu. Saya pikir kau akan melakukan perlawanan yang lebih besar lagi.” Ia tidak bisa menghentikan tawa. Apa ini? Benar-ben
Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki
Setelah merasa puas, akhirnya wanita itu menghentikan aksi penyerangan. Namun, ia masih tidak henti untuk memberikan cacian dan makian. Sementara lelaki paruh baya yang tadi mendekapku, berusaha untuk menenangkan istrinya. “Dasar wanita murahan! Seenaknya menggoda suami orang!” Ia masih terdengar penuh emosi. Meski samar karena telah mendapatkan serangan, aku bisa melihat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka. Mereka tidak pantas disebut sebagai suami dan istri. Lebih cocok jika berperan sebagai bapak dan anak. Mungkin wanita itu adalah salah satu dari list istri simpanan yang disebut oleh Sergio. Kuusap hidung yang mengeluarkan cairan, kukira ingus ternyata darah. Bibir juga terasa perih. “Suami Anda yang salah, mengapa saya yang dianiaya? Anda mau saya laporin ke polisi? Ini bisa divisum sebagai bukti.” Aku mengancam karena sudah habis kesabaran. Wajah terasa sakit dan nyut-nyutan. Pandangan terasa buram. Akhirnya ia berhenti mengeluarkan makian. Wanita itu menghen
Kutatap pantulan wajah di layar kaca. Luka memar akibat pukulan beberapa hari yang lalu sudah lumayan memudar. Bibir juga tidak terlalu terasa perih lagi saat dibawa makan. Kuraih ponsel untuk melihat pesan masuk dari Sergio. Namun, nihil. Tidak ada pesan sama sekali. Video dewasa yang ia sebut dua hari lalu juga tidak ada dikirim hingga kini. Aku semakin merasa bersalah. Malam itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri. Sungguh, andai dia menolak aku tidak akan memaksa. Namun, ia malah menyambut dengan sangat baik. Memberikan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Ciuman itu masih membekas hingga kini. Bibirnya yang terasa kenyal dan basah, masih terasa hingga sekarang. Bibir itu terasa manis dan membuatku kecanduan. Aku ingin lagi. Sungguh. Namun, aku sadar bahwa itu sebuah kesalahan. Arght! Sadar, Dinda! Kutarik rambut dengan kasar agar bisa melupakan kejadian di malam itu. Dia bukan tipeku! Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan pekerjaan yang ia tawarkan. Sudah dua hari s
Sergio menawarkan untuk mencoba soup yang sudah kumasak. Istri dan anaknya setuju meskipun mereka telah sarapan sebelum ke sini. Aku dibuat kerepotan untuk menghidangkan soup tanpa nasi. Bukan, bukan menghidangkan makanannya yang membuatku menjadi kerepotan. Namun, jantung yang hingga kini tidak bisa berdetak dengan normal. Berada di tengah-tengah mereka sungguh membuatku tersiksa. Apalagi Sergio menunjukkan rasa cintanya pada sang istri dengan melimpahkan perhatian. Ada api yang terasa terpantik di dada ketika melihat kemesraan mereka. Sergio memberikan istrinya suapan, sebab wanita itu sibuk mengurus bayinya. Aku hanya bisa menggigit sendok menyaksikan itu semua. Mereka suami istri, Dinda! Kau tidak pantas cemburu seperti ini! Aku memaki diri sendiri. “Bibirmu masih terasa sakit?” Sergio bertanya ketika melihat aku hanya menggigit ujung sendok. Cepat, aku menggeleng dan menunduk. Rasanya ada aliran aneh ketika ia menyebut kata bibir. Adegan di malam itu kembali terputar denga
Mobil melambat dan berhenti ketika kami tiba di gedung mewah milik Sergio. Clayton mematikan mobil, tapi tidak langsung membuka kunci pintu. Ia menahanku sejenak di dalam. “Putuskan sekarang, kau punya dua pilihan. Uang 1 miliar atau kau akan pergi dari sini tanpa membawa apa-apa nantinya.” Lelaki itu sangat ingin aku pergi. Entah kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga ia bisa membenciku sedalam itu. Aku menarik napas dalam. Pilihannya memang sulit, tapi aku sudah memutuskan untuk tidak akan pernah pergi dari sini kecuali atas kemauanku sendiri. Aku ingin berlama-lama menikmati kehidupan mewah bersama bayang-bayang Sergio. “Aku tidak akan pergi. Terserah kau ingin berbuat apa, yang pasti aku akan tetap tinggal di sini.” Aku menjawab dengan tegas. Berharap ia akan mengerti. Jika aku menjelaskan rencana yang tengah kami susun, mungkin Clayton tidak akan mengerti. Lagipula ia akan semakin memandang rendah jika tahu pekerjaan yang ditawarkan oleh Sergio. Setelah beberapa saat, akh
Aku bergegas menuju kamar. Jantung kini sudah tidak dapat lagi dikendalikan. Setiap degup bahkan bisa kudengar. Kututup pintu sedikit kasar. Lalu, menghempaskan diri ke ranjang. Bayangan wajah Sergio kembali memenuhi pikiran. Senyumnya, tatapannya, tawanya, semua hal tentang dia mengambil alih otakku. Ia telah menyabotase pikiran agar aku tidak bisa memikirkan hal apa pun selain dirinya. Arght! Kutarik rambut dengan kedua tangan sedikit kasar. Setidaknya tindakan itu mampu mengurangi sedikit rasa sakit di kepala. Rasa sakit yang tadi hanya pura-pura saja, kini terasa nyata. Penyebabnya tentu saja Sergio. Aku begitu pusing memikirkan dirinya. Mengapa ada sosok lelaki seperti dirinya?Kau kenapa, Dinda?! Aku ingin berteriak sekuat tenaga, tapi keinginan itu kuurungkan karena akan memancing pusat perhatian. Namun, sungguh. Saat ini aku benar-benar gila karena lelaki itu. Aku tidak bisa berkata-kata.Tidak ada yang bisa kulakukan selain memejamkan mata. Berharap bayangan Sergio akan m
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih