Di luar terdengar begitu riuh. Langkah kaki terdengar saling beradu, juga teriakan-teriakan para lelaki maupun wanita memekak saling bertautan.
Sejenak aku tidak tahu harus berbuat apa. Membatu dalam posisi berdiri karena terlalu syok. Belum hilang kepanikan karena hampir di-unboxing, kini ditambah lagi rasa panik karena terkena razia.“Kabur, gobl*k!” Ucapan lelaki itu membuatku tersadar. Pintu bilik yang terbuka membuat siapa pun dengan mudah untuk menatap ke dalam.Segera aku merunduk, memungut kaus panjang yang sempat dibuka oleh lelaki yang hampir meniduriku malam ini. Kukenakan kaus itu sembari meraih tas dan berlari dengan cepat.Namun sial, baru beberapa langkah aku keluar dari bilik, sepasang tangan kekar mencekal lenganku. Sekuat apa pun memberontak, cekalan itu tidak terlepas sama sekali.Aku diseret paksa untuk mengikuti langkahnya menuju mobil patroli. Di dalam sana, telah tertangkap beberapa orang. Termasuk lelaki yang telah membeliku malam ini.Tubuhku didorong dengan sangat kasar. Diminta agar ikut duduk dan bergabung dengan mereka.Keringat dingin kini tidak lagi hanya membasahi jidat. Aku merasakan punggung telah basah karena keringat.Kedua kaki dan tangan gemetar. Aku tidak bisa diam. Kugerakkan kedua kaki demi menutupi ketakutan.“Baru pertama kali kena razia ya, Mbak?” Seorang wanita pekerja menyapaku.Aku mengangguk pelan. Sebagai jawaban iya atas pertanyaan itu.“Tenang aja, mereka cuma minta duit. Entar sampai kantor polisi ditahan semalam sampe dua malam. Kalau bersih dari narkoba, bakalan dilepasin. Asal ada uang jaminan.” Wanita itu menjelaskan dengan tenang. Sepertinya ia sudah sangat berpengalaman.Sial! Sungguh sial! Miska sudah membuatku terjatuh ke dalam lobang yang seperti ini. Mau ditaruh di mana wajahku jika teman kerja sampai tahu?Salahku juga karena menerima tawaran itu. Sudahlah ditawar dengan harga murah, kena razia pula. Miska sialan!Aku tidak akan pernah ingin melakukan hal yang seperti ini lagi! Tidak akan!Aku tidak bisa berhenti menggerutu dalam hati. Berada di tengah orang-orang seperti ini membuatku merasa telah gagal menjadi manusia. Hanya karena uang lima ratus ribu, aku harus berdesak-desakan duduk di dalam mobil patroli.Aku merasa sangat gerah. Selain karena duduk desak-desakan, juga karena terlalu panik dalam menghadapi kejadian barusan.Para anggota berseragam itu akhirnya ikut masuk dan duduk berdesak-desakan dengan kami. Menit berikutnya mobil berjalan meninggalkan lokasi terkutuk itu.Sepanjang jalan aku tidak bisa berhenti menyalahkan Miska. Entah di mana gadis itu sekarang. Pasti dia tengah bersantai menikmati uang yang telah ia dapatkan. Sementara aku harus ikut ke kantor polisi dengan memasang wajah tebal. Menanggung malu di hadapan banyak orang.“Turun!” Kami diminta untuk turun dengan kasar setibanya di kantor yang mereka sebut tempat pengamanan. Kupikir kami akan langsung dimasukkan ke dalam penjara, ternyata tidak.Satu per satu kami diperiksa dengan sangat teliti. Mungkin mencari barang haram. Aku tidak tahu.Tiba giliranku, aku diminta untuk mengangkat kedua tangan. Kulakukan apa pun yang mereka perintah.Lelaki tegap itu meraba seluruh inci bagian tubuhku. Hingga di daerah sensitif, ia meraba juga meremas dengan sengaja. Aku tahu itu tidak sesuai dengan prosedur pemeriksaan. Sebab, ia sengaja berlama-lama di sana. Tentu saja aku tidak terima.“Berani kamu melawan petugas?” Ia menatapku dengan tajam saat kedua tangannya kutepis.“Anda melecehkan saya!” Aku menjawab tidak terima. Entah seperti apa kondisi wajahku saat ini, aku tidak tahu sama sekali.Gelak tawa terdengar memenuhi seluruh ruangan. Mereka menganggap kalimat yang aku lontarkan adalah sebuah lelucon yang patut untuk ditertawakan.Aku semakin kesal. Memasang wajah tidak suka. Sebab, ada banyak pasang mata yang menyaksikan pelecehan itu, tapi tidak ada satu pun yang membela.“Kita ini PSK, Mbak.” Wanita yang tadi sempat menyapa di mobil, membuka suara kembali. Ia mengingatkanku akan posisiku di sini.“Jika tidak ingin dilecehkan, ya cari pekerjaan yang halal dong. Kau sendiri tidak menghargai dirimu, bagaimana mungkin kami bisa menghargaimu.” Salah satu petugas berucap dengan datar.Aku terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka benar. Posisiku di sini adalah seorang PSK yang sedang ditahan. Tidak ada yang bisa kulakukan. Wajar saja jika aku dianggap rendahan.“Sudah, sudah. Ayo cek urin masing-masing.” Petugas lainnya datang melerai sembari membawa botol kecil.Aku meraih botol itu sembari terus merungut. Kemudian berjalan menuju toilet dengan bimbingan petugas wanita.Saat mengantre menggunakan toilet, salah satu petugas lelaki mendatangi tempatku berdiri. Ia mengajak untuk sedikit menepi.“Kau masih perawan?” Ia bertanya dengan sangat enteng.Aku terbelalak. Mudah sekali mulut itu menanyakan hal yang semacam itu.“Sejak di dalam mobil, saya sudah memerhatikan. Saya tahu bahwa kamu masih perawan hanya dengan melihat wajah juga postur tubuhmu.” Ia berucap dengan santai.“Apa maumu?” Aku bertanya dengan kasar. Berpikir bahwa ia akan berbuat macam-macam.“Berapa tarifmu dalam semalam?” Ia kembali bertanya.“Maaf saja, saya tidak berniat untuk menjual diri. Saya berada di sini juga karena suatu alasan.” Aku berucap dengan tegas.“Saya juga tidak berniat untuk membayarmu. Saya hanya ingin menawarkan kerja sama.” Ia mengeluarkan sebuah kartu.Aku tidak langsung menerima uluran kartu itu.“Begini. Saya melihat kualitas yang lebih di dirimu. Jika dipoles sedikit lagi, kau akan telrihat jauh lebih cantik.”Aku hanya diam, mendengarkan.“Kita ada tugas untuk menangkap para pejabat yang menyelewengkan uang rakyat. Ada beberapa yang sudah masuk list. Rata-rata uangnya dipakai untuk bermain dengan wanita.”Aku mengerutkan kening. Lalu, kaitannya denganku apa?“Kau akan kita jadikan pancingan. Kita butuh bukti transaksi, juga penggerebekan agar bukti lebih akurat.”Aku semakin mengerutkan kening.“Pancingan?” Aku bertanya memastikan.Petugas itu mengangguk dengan tegas.“Kita sudah ada koneksi untuk menghubungkanmu dengan pejabat itu. Selama ini kami memakai jasa wanita lain. Namun, nampaknya bayaran yang ia dapatkan menjadi simpanan lebih besar, jadi dia memilih untuk berkhianat.”Aku mulai paham apa yang diinginkan oleh lelaki itu.“Hei, giliran kamu!” Petugas wanita memanggil agar aku lekas masuk toilet untuk menampung urin.“Dia aman!” Lelaki di hadapanku memberi isyarat agar aku tidak perlu mengikuti tes narkoba.“Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan.“Seperti yang kau lakukan sebelumnya. Masuk ke kamar berdua, usahakan agar kalian melepas semua pakaian sebelum kami datang untuk melakukan penggerebekan.”Aku tertawa tipis. Gila! Sama saja dia meminta aku menjual diri ke pejabat.“Cari wanita lain saja.” Aku menolak secara mentah-mentah.“Kau tidak berminat? Gajinya lumayan. Bisa puluhan juta hanya dalam satu malam. Kau bebas untuk melakukan apa pun. Terserah, kau disentuh atau tidak. Yang terpenting kami masuk saat kalian berdua tanpa pakaian.” Ia menegaskan.Sejenak aku mulai goyah. Namun, tetap saja itu bukan pekerjaan yang aku inginkan.“Aku tetap tidak mau.” Aku kembali menolak.“Kau coba pikirkan dulu. Ini ambil kartu nama saya. Hubungi saya jika kau berubah pikiran.” Ia memberikan kembali kartu nama yang sejak tadi tidak kunjung kuterima. Menit berikutnya ia berlalu begitu saja.Tuhan! Tawarannya sangat menggiurkan!Aku kembali bergabung bersama rombongan. Menunggu tahapan selanjutnya. Benar kata wanita tadi, kami diminta untuk menginap di sini malam ini. Namun, tidak di dalam sel. Ada kamar khusus untuk kami tempati. Wanita dan pria dipisah. Hanya kamar kosong. Tanpa perabotan apa pun. Bahkan alas tidur pun tidak ada. Hanya ada lantai keramik tempat berbaring. Ponsel yang berada dalam tas bergetar. Aku meraih untuk memeriksa pesan apa yang masuk. Nama Miska tertera di sana. Anak ini! [Katanya razia. Lu aman gak?] Ternyata ia masih ingat denganku meskipun telah mendapatkan uang itu. [Aman, disuruh nginap di kantor polisi.] Aku mengirimkan sebuah foto sebagai penguat bahwa aku tertangkap. Kutunggu beberapa menit, tidak ada tanggapan sama sekali. Entah apa yang tengah ia lakukan. Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Yang jelas, dia bukan teman yang patut untuk dipertahankan. [Lu dimintain uang berapa?] Pesan dari Miska kembali masuk. Tampaknya ia telah khatam masalah yang seperti ini. [Em
“Bagus! Saya suka jawabanmu.” Sergio terdengar begitu semangat. Tampaknya lelaki itu memang sangat ingin agar aku bergabung sesuai dengan permintaannya. “Aku harus apa?” Aku bertanya memastikan. Ingin tahu apa yang harus dilakukan sebagai permulaan. Sebab, benar-benar belum tahu sama sekali seluk-beluk dunia seperti itu. “Jam makan siang temui saya. Tempatnya akan saya share nanti.” “Siap.” Aku menjawab dengan semangat. Tertular semangat lelaki itu. Hanya itu perbincangan kami. Tidak ada bahasan tambahan. Panggilan langsung ia tutup setelahnya. Aku jadi penasaran. Tidak sabar ingin melakukan pekerjaan. Sebab, sudah terlalu lama menanti memegang lembaran banyak uang. Toh, aku hanya diminta bekerja sama. Tidak diminta untuk jual diri sungguhan. Nanti akan kupastikan benar-benar ketika bertemu saat makan siang. Kulirik jam yang tertera di pojok kiri ponsel. Sudah pukul 09.15 pagi. Jauh terlambat jika harus berangkat kerja. Mungkin aku berhenti saja. Gajinya juga tidak mencukupi, sem
“Mengapa kau hanya diam?” Aku mendesak agar ia lekas menjawab.“Dipikir bagaimana pun, tentu saja ini berbahaya. Kita berurusan dengan orang penting. Salah bertindak sedikit saja, nyawa taruhannya.” Ia berucap sangat serius.Ah, ternyata memang tidak ada cara yang mudah dalam mendapatkan uang. Aku yang bodoh karena menganggap ini pekerjaan yang gampang.“Tapi tenang saja. Saya yang akan betanggung jawab. Asal kamu melakukan apa yang saya minta.” Sergio berucap sangat meyakinkan.Aku semakin dilema. Entah seberapa bahayanya pekerjaan ini, yang terpenting bayarannya sangat tinggi. Aku butuh uang banyak.“Kau yakin akan selalu memihakku?” Aku bertanya memastikan.“Tentu saja.” Ia menjawab dengan cepat. Kemudian beranjak untuk membawa barang bawaan masuk ke dalam mobil.Tidak ada lagi keraguan di dalam dada. Apalagi mengingat pesan yang dikirim oleh Devan. Aku sangat butuh uang, apa pun caranya.Aku ikut masuk dan duduk di kursi depan samping kemudian setelah semua barang dimasukkan ke b
Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana. Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor. Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul. “Ini kost?” Aku bertanya memastikan. Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang. “Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil. Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya. “Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan. Aku hanya mengangguk
Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. “Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang
Sejenak kami terdiam dengan saling pandang. Ia memberikan senyum smirk yang menonjolkan kesan menyeramkan. “Kau yakin ingin menolak?” Sergio bertanya meyakinkan. Ia menatap seolah ingin menelanjangi. Tatapan itu sungguh menakutkan. Tajam, dan menusuk. Aku terdiam. Gemetar. Kali ini aku benar-benar takut melebihi apa pun. Bahkan lebih takut dibanding dengan malam terkutuk itu. Aku rasa ini benar-benar sebuah jebakan. Aku telah masuk terperangkap ke dalam lubang yang telah ia gali. Terlalu memikirkan duniawi hingga tidak memikirkan risiko yang ada. “Oke. Kau mau apa?” Aku bertanya dengan suara bergetar. Wajah lelaki itu memerah. Sejenak ia kembali terdiam. Kukira ia akan marah dan main tangan. Ternyata dugaanku lagi-lagi salah. Wajah memerah itu bukan karena menahan amarah, tapi karena menahan tawa. Tawanya pecah seketika. “Ternyata hanya sebesar itu perlawananmu. Saya pikir kau akan melakukan perlawanan yang lebih besar lagi.” Ia tidak bisa menghentikan tawa. Apa ini? Benar-ben
Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki
Setelah merasa puas, akhirnya wanita itu menghentikan aksi penyerangan. Namun, ia masih tidak henti untuk memberikan cacian dan makian. Sementara lelaki paruh baya yang tadi mendekapku, berusaha untuk menenangkan istrinya. “Dasar wanita murahan! Seenaknya menggoda suami orang!” Ia masih terdengar penuh emosi. Meski samar karena telah mendapatkan serangan, aku bisa melihat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka. Mereka tidak pantas disebut sebagai suami dan istri. Lebih cocok jika berperan sebagai bapak dan anak. Mungkin wanita itu adalah salah satu dari list istri simpanan yang disebut oleh Sergio. Kuusap hidung yang mengeluarkan cairan, kukira ingus ternyata darah. Bibir juga terasa perih. “Suami Anda yang salah, mengapa saya yang dianiaya? Anda mau saya laporin ke polisi? Ini bisa divisum sebagai bukti.” Aku mengancam karena sudah habis kesabaran. Wajah terasa sakit dan nyut-nyutan. Pandangan terasa buram. Akhirnya ia berhenti mengeluarkan makian. Wanita itu menghen
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih