Damian berdecak lalu bangkit dari duduknya. Dia berjalan mendekati Bianna yang masih melihatnya dengan tatapan curiga. Dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana panjangnya, Damian berkata sambil tersenyum penuh arti. “Kamu lupa, kamu pergi dengan siapa? Tian itu orangku, asal aku tanya padanya, dia pasti akan mengatakannya padaku. Jadi tidak usah berpikir berlebihan.”
Setelah mengatakan semua itu, Damian beranjak dari sisi Bianna, meninggalkan wanita itu dengan wajah terkejut juga ada rasa geram dalam hatinya.“Iya, maksud aku kenapa kamu harus tanya Tian segala? Kamu tidak percaya padaku?” pekik Bianna yang akhirnya berdiri dari duduknya dan memutar badannya melihat pada punggung Damian. Langkah Damian terhenti.“Iya, tidak ada satu perempuan pun yang bisa aku percayai termasuk kamu!” ujarnya datar, pun tanpa mau menatap Bianna.Bianna jelas membesarkan bola matanya. Perkataan apa itu? Tidak bisa percaya pada waCuaca pagi ini terasa lebih dingin dari hari sebelumnya. Bianna yang biasanya memakai blazer lengan pendek atau lengan panjang tipis, kali ini pakaian Bianna agak tebal meski masih terlihat modis. Sepertinya musim dingin benar-benar akan tiba, itu berarti rapat pemegang saham akhir tahun baik di perusahaan Harland Group dan Lysander Corporation pun akan segera dilaksanakan. Itu sebabnya sejak satu minggu yang lalu, Bianna selalu lembur di kantor, dia dan Esma sedang mempersiapkan laporan akhir tahun yang akan dipresentasikan saat rapat besar nanti. Selama lembur, dia akan pulang jika waktu menunjuk pukul sembilan dan sampai di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Sejak satu minggu ini, Bianna juga jarang bertemu dengan sang suami. Sejak kejadian malam itu, mereka lebih banyak bertemu saat sarapan, setelah itu di kantor pun mereka tidak bertegur sapa kecuali urusan perusahaan. Damian lebih banyak diam dan seperti sedang menghindari Bianna, Entah apa yang l
Bianna kembali tersenyum sinis melihat Kevin yang tiba-tiba membisu karena mendengar tantangan darinya barusan. Dalam hati, Bianna yakin sekali kalau mantan suaminya itu tidak akan sanggup berpisah dari Leony. Oleh sebab itu Bianna bangkit dari duduknya sambil berkata, “Sepertinya jawabannya sudah jelas. Jadi, lebih baik sekarang kamu keluar dari ruanganku dan jangan pernah kembali lagi apa pun alasannya.”“Tunggu, Bia!” Tangan Kevin berhasil meraih lengan Bianna yang akan meninggalkan tempat duduknya.“Aku sanggupi syarat dari kamu, tapi aku juga mau persyaratan darimu,” ujar Kevin dengan tatapan serius pun tangan yang masih mencengkeram lengan Bianna.“Oh, ya? Syarat apa yang kamu inginkan?” tanya Bianna yang menantang lebih berani.“Apalagi? Tentu saja aku mau kamu juga meninggalkan Damian.” Bianna tersenyum penuh arti, lalu perlahan dia lepas pegangan tangan Kevin dari lengannya, dia bawa tangan kanannya mene
“Kenapa kamu ikut di mobilku?” Bianna bertanya dengan nada ketus saat sudah duduk di dalam mobil. “Ini mobilku juga, Bia. Terserah aku mau naik atau tidak,” jawab Damian ketus pun tanpa melihat ke arah Bianna. “Tapi kemarin-kemarin kamu tidak pernah mau aku ajak pulang sama-sama, lah ini apa?” protes Bianna mengingat selama seminggu ini dia selalu ditolak Damian pulang pergi kerja sama-sama meski Bianna lembur sekali pun, Damian tak pernah membersamainya. Jelas saja saat ini Bianna curiga dan kesal dengan jawaban Damian. “Jalan Tian, ini sudah malam,” titahnya kepada pemuda yang duduk di belakang setir.“Baik, Tuan.” Tian pun segera menyalakan mesin mobilnya lalu dia lajukan kendaraan roda empat itu keluar dari pelantaran perusahaan. “Dami, kamu belum jawab aku.” Bianna merajuk sambil menggoyang-goyangkan lengan Damian. Pria yang sudah tidak memakai dasi itu berdecak sebal, lalu melihat pada Bia
Bianna berjalan menuruni anak tangga sambil mencoba mengabaikan ucapan terakhir Damian sebelum tadi pria itu keluar dari kamar mereka. Yang dia pikirkan justru bagaimana dirinya bisa sampai terbangun di kamarnya ini karena seingatnya, dia ikut tertidur di dalam mobil dengan Damian, kan? “Kenapa kamu suka sekali melamun saat turun tangga, sih, Bia?” Bianna tersentak. Beruntung fokusnya tidak buyar saat matanya bersitatap dengan Sean yang ada di ujung anak tangga, hingga dirinya tidak perlu terjatuh. “Dan kenapa Om suka sekali mengagetkan aku? Kalau aku jatuh, gimana?” Bianna berkata dengan nada ketus dan wajah yang tak ramah sama sekali. Apa Om gantengnya ini tidak tahu kalau sapaannya membuat jantungnya berdegup sangat kencang karena terkejut? “Aku di sini, Bia. Kalau kamu jatuh, aku pasti akan menangkapmu lebih dulu,” jawab Sean santai seperti tanpa beban sama sekali. Bianna terang saja semakin membesarkan bola matanya. “Jangan mulai ya, Om. Aku sudah senang dengan Om yang kema
Langkah cepat Bianna terhenti seketika saat melihat wanita yang sedang berkacak pinggang bicara dengan Sean. Suaranya melengking dan terdengar sangat ketus. Jangan tanya bagaimana wajahnya karena dilihat dari tempat Bianna berdiri, wanita yang dia kenali sebagai istri dari Kevin itu seperti sembap dan sayu. Entah apa yang sudah terjadi padanya, mendadak Bianna merasa prihatin. “Di mana wanita j*lang itu! Aku harus memberi dia pelajaran!” Entah terbuat aldari apa pita suara Leony hingga tampak tidak lelah berteriak mencari Bianna. “Jaga sikapmu, Nyonya. Bia tidak akan menemuimu kalau kamu bersikap seperti ini!” sentak Sean, tegas, tetapi tidak berlaku kasar pada si wanita. Leony terlihat semakin kesal, dia ingin menerobos Sean, tetapi gagal karena kalah ukuran tubuh. Tentu saja, Sean berbadan tegap, tinggi dan kekar jelas berbanding terbalik dengan tubuh Leony yang ramping dan kecil. Bianna tidak tahan lagi hanya jadi penonton. Itu sebabnya dia berjalan dengan tergesa-gesa men
“Maafkan aku, Opa sampai Opa harus melihat situasi yang tidak menyenangkan tadi.” Bianna berkata sambil menunduk. Saat ini dia berada di kamar Eduardo. Setelah kepergian Leony, Marta mendekati Bianna dan mengatakan kalau Eduardo ingin bertemu dengannya. Meski tak melihat, tetapi Bianna bisa mendengarkan desah berat yang keluar dari bibir Eduardo. “Sebenarnya ada apa ini, Bia? Opa sudah curiga sejak pertama kali melihat kalian menikah dan hari ini dengan kedatangan perempuan itu, kecurigaan Opa jadi semakin besar saja. Opa butuh penjelasanmu, Bia. Sebelum memutuskan memaafkanmu atau tidak.” Bianna mendongak dengan mata terbelalak. Seharusnya dia tidak perlu terkejut dengan reaksi Eduardo saat ini karena cepat atau lambat rahasianya dengan Damian pasti akan terbongkar juga. Akan tetapi, kenyataannya Bianna tidak bisa begitu saja menjawab pertanyaan Eduardo. Dalam hati Bianna sangat berharap Damian segera datang menolongnya karena sejak awal pernikahan ini adalah rencana Damian, buk
Untuk sejenak saja, boleh, kan, Bianna meminta agar waktu berhenti saat ini juga? Saat dirinya tengah hanyut dalam kobaran api gairah yang baru saja dinyalakan oleh Damian? Saat dirinya hampir tenggelam dalam dahsyatnya gelombang kenikmatan yang Damian beri lewat sentuhan bibirnya itu? Namun sayang, sepertinya hanya Bianna yang merasakan perasaan itu karena detik berikutnya kembali tanpa aba-aba Damian melepaskan tautan bibirnya begitu saja. Tentu saja hal itu membuat Bianna terkejut, meski dia berusaha untuk segera kembali menapak bumi yang dia pijak. “Bagaimana? Apa ini sudah bisa membuktikan kalau kami adalah suami istri sungguhan?” Dengan percaya dirinya Damian bicara pada Eduardo, tidak lupa tangan kanannya merengkuh pinggang Bianna. “Lalu kenapa perempuan tadi marah-marah sama Bia? Dan bilang kalau suaminya ingin cerai gara-gara Bia, Dami?” Eduardo patut bertanya hal itu. Telinganya tidak tuli, tentu dia ingin memastikan apa yang sudah dia dengar. Damian menuntun Bian
“Tidak ada masalah dengan jantungku.” Bianna mendorong tubuh kekar Damian dengan kedua tangannya. Damian tidak marah. Dia justru terkekeh sambil merapikan kembali jasnya. “Baguslah kalau begitu. Setelah ini jangan biarkan mereka masuk ke rumahku, aku akan bilang ke satpam untuk mencegah mereka.”“Lalu bagaimana dengan permintaan Opa tadi?” Bianna terpaksa menghentikan gerakan Damian yang sudah berbalik. Dia kembali menoleh lalu tersenyum penuh arti. “Kenapa? Apa kamu menganggap serius permintaan Opa? Sayangnya aku tidak. Jadi, lupakan saja hal itu. Bersiaplah, Tian akan mengantarmu ke kantor.” Bianna terpaksa menelan kembali kata-kata yang siap meluncur dari bibirnya karena langkah pria itu terlalu cepat untuk dihentikan. “Dasar pria aneh! Tidak punya perasaan! Lalu apa yang harus aku katakan pada Opa kalau cucunya sendiri yang tidak mau punya anak?” gerutu Bianna yang akhirnya memutar badan lalu berjalan menuju ruang makan mengambil tas tangan miliknya. “Memangnya kamu mau hamil
Dion langsung menghampiri mereka dengan ponselnya, membuat Bianna dan Damian refleks langsung menjauh satu sama lain. Bianna mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran, sedangkan Damian berdeham dan kembali ke posisi duduknya dengan santai, meski ada sorot aneh di matanya."Apa sih, Dion? Kenapa pagi-pagi kamu ribut sekali?" tanya Bianna, suaranya masih serak karena baru bangun.Dion dengan ekspresi panik langsung menyerahkan ponselnya pada Bianna."Lihat ini! Seluruh media sosial lagi heboh sama berita ini!"Bianna mengambil ponsel Dion dan melihat layar yang penuh dengan berita yang sedang trending. Matanya menajam begitu melihat judul utama:"WANITA BERSUAMI MENGGODA MANTAN SUAMINYA SENDIRI? SKANDAL BESAR DI DUNIA BISNIS!"Sebuah artikel panjang tertera di sana, membahas tentang seorang wanita yang sudah menikah, tetapi kembali dekat dengan mantan suaminya. Meski inisial yang digunakan adalah B dan K, tetapi di kolom komentar banyak orang yang menduga bahwa ini tentang dirin
Leony menambahkan, "Dia bahkan terang-terangan mengatakan menyesal telah memilihku! Dia membela Bia di hadapanku, Mom! Seolah-olah aku ini tidak ada artinya!""Itulah sebabnya kamu tidak boleh menyerah! Kamu pikir aku akan diam saja membiarkan perempuan licik seperti Bia merebut suamimu? Tidak akan pernah!" Nada suara Stella mulai meninggi. Aura kemarahan pun terlihat jelas di wajahnya. Leony menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada bicara Stella yang membuatnya menggigil, tetapi sekaligus menyalakan bara dalam dirinya. "Tapi bagaimana caranya? Kevin sudah tergila-gila pada Bia lagi. Bahkan aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan!"Stella tersenyum sinis. "Bia memang pintar. Dia tahu bagaimana memainkan peran sebagai wanita lemah dan menggoda untuk menarik perhatian Kevin. Tapi satu hal yang tidak bisa dia lawan adalah fakta bahwa kamu adalah istrinya yang sah. Itu adalah keunggulan terbesarmu."Leony mulai memahami arah pembicaraan Stella. Dia menga
Saat Kevin memasuki rumah, langkahnya terdengar berat dan penuh amarah. Begitu melihat Leony yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan wajah masam, dia langsung menghampirinya dengan tatapan tajam.“Apa yang kamu lakukan pada Bia tadi?” suaranya dingin, tetapi nada kemarahan jelas terasa.Leony, yang awalnya duduk dengan santai, kini menegakkan tubuhnya. Dia menatap Kevin dengan sinis. “Apa maksudmu?”Kevin menghempaskan jas yang masih dia kenakan ke sofa dengan kasar. “Jangan pura-pura bodoh. Kamu tahu maksudku. Buat apa kamu menemui Bia? Apa kamu tidak punya hal lain yang lebih berguna untuk dilakukan?”Leony mendengkus, lalu menyilangkan tangannya di dada. “Oh? Jadi sekarang kamu membela dia? Sejak kapan kamu begitu peduli pada Bia?”Kevin mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat, membuat Leony tersentak. “Sejak kamu mempermalukannya di depan umum! Apa kamu tidak punya otak? Apa kamu tidak sadar bahwa semua orang melihatnya? Ka
Damian menatap Bianna dalam diam. Dia tahu bahwa Bianna keras kepala, dan tidak ada gunanya berdebat dengannya sekarang. Bagaimanapun juga, ini adalah permainannya, dan Damian hanya akan mengamati dari samping—setidaknya untuk saat ini.Bianna mengalihkan pandangannya ke meja kecil di sudut ruangan, melihat nampan makan yang masih penuh dan tidak tersentuh. Alisnya mengernyit. “Kamu lagi puasa atau bagaimana?” tanyanya, menatap Damian dengan curiga.Damian, yang sedang bersandar di ranjang sambil memainkan ponselnya, mengangkat alis. “Hah?” Dia mengikuti arah pandangan Bianna dan mendapati nampan makan itu masih di tempatnya sejak tadi. “Oh, itu. Aku tidak sempat makan.”Bianna mendecakkan lidah. “Tidak sempat atau memang tidak mau?”Damian hanya mengangkat bahu, tampak tidak tertarik untuk menjelaskan lebih lanjut.Bianna menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah meja dan mengambil nampan makan itu. Dengan gerakan mantap, ia meletakk
Bianna melangkah masuk ke dalam rumah sakit, melewati lorong-lorong yang mulai sepi. Udara hangat dari penghangat ruangan langsung menyambutnya, tetapi tidak bisa menghangatkan hatinya yang dingin saat ini karena dipenuhi dengan berbagai pikiran. Alih-alih pulang ke rumah, dia lebih memilih datang ke sini. Saat tiba di depan kamar Damian, pintunya sedikit terbuka, dan Bianna bisa melihat sosok pria itu sedang duduk di ranjang dengan ekspresi serius, ponsel menempel di telinganya. Meski sedang sakit, Damian tetap tenggelam dalam pekerjaannya. “Pastikan laporan keuangan bulan ini sudah diaudit sebelum meeting minggu depan.” Suara Damian terdengar tegas. “Dan jangan lupa, aku ingin dokumen merger itu siap secepatnya.” Selesai dengan panggilan pertama, Damian langsung menekan nomor lain. Kali ini, dia menghubungi Inez. “Inez, besok pagi bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani ke rumah sakit. Aku akan pulang besok,” k
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su
Leony cukup terkejut dengan tawaran Bianna, dia menatap wanita yang masih berpakaian kerja itu dengan ekspresi enggan, tetapi setelah beberapa detik, akhirnya dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan kasar. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarahnya yang masih membara.Bianna tersenyum tipis, matanya berbinar dengan ketenangan yang jelas membuat Leony semakin frustasi. "Aku sudah tahu kalau kamu akan melakukan sesuatu seperti ini," katanya seraya melipat serbet di tangannya. "Tapi aku tidak tahu kalau rasanya sememalukan ini."Leony mendengkus, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, Bia. Aku datang ke sini hanya untuk memperingatkanmu untuk tidak mendekati Kevin lagi."Bianna menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Salah paham," katanya ringan. "Aku bukan orang yang mendekati Kevin." Dia berhenti sejenak, menikmati reaksi Leony yang tampak semakin t
Bianna tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. Matanya justru beralih menatap jam di dinding. "Sudah hampir waktunya untuk rapat," katanya, mengalihkan pembicaraan.Sean menyadari bahwa Bianna tidak ingin membahasnya lebih jauh. Meskipun rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab, dia memilih untuk tidak memaksa."Baiklah," kata Sean akhirnya, bangkit dari kursinya. "Ayo ke ruang rapat."Bianna mengangguk dan ikut berdiri. Keduanya lalu berjalan keluar dari ruang kerja Bianna menuju ruang rapat, dengan Sean yang masih diam-diam memikirkan sesuatu di dalam benaknya.*** Bianna melangkah masuk ke dalam kafe dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan yang cukup ramai siang itu. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak jauh dari keramaian, lalu duduk dengan anggun sambil melirik jam tangannya. Leony belum datang.Dengan santai, Bianna memanggil pelayan dan memesan ice lemon tea. Dia tidak tahu berapa lama harus menunggu