Glenn berjalan mendekat ke arah meja tempat sepupunya itu duduk. Arnold tersenyum gugup saat Glenn menarik kursinya lalu duduk tanpa di hadapannya. "Halo," sapa Arnold sambil masih tersenyum aneh. Glenn balas tersenyum bingung, "Halo, katamu?" Arnold menelan ludahnya dalam-dalam. Melihat kegugupan yang terlihat begitu jelas di sorot mata yang ditunjukkan oleh Arnold sekaligus gerak geriknya tersebut, Glenn bertanya, "Apakah tidak ada kata-kata lain yang ingin kau ucapkan selain satu kata itu?" Arnold memegang gelasnya untuk menghilangkan rasa gugupnya yang malah semakin tidak bisa hilang. "Maafkan aku. Maaf baru bisa menemuimu sekarang."Arnold mengatakannya tanpa berani menatap sepupunya itu. Glenn mendesah, "Kata 'maaf' bukan sesuatu yang ingin aku dengar." Arnold memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, "Tapi itu harus aku katakan karena perasaan bersalah yang menghantuiku." Arnold menatap Glenn dengan sorot mata kaget. Wajah mulus Glenn sudah tidak ada. Malah terdapa
Arnold berusaha keras untuk melepaskan dirinya dari orang yang telah membawanya masuk ke dalam mobil asing itu."Lepaskan aku!" ujar pria yang mulai dihinggapi oleh kepanikan itu."Mohon tenang, Tuan Arnold!" ucap salah satu seseorang yang memegangi tangan kanannya.Arnold tentu saja terkejut dan langsung saja berkata, "Siapa sebenarnya kalian ini?" "Maaf, Tuan. Kami hanya-""Sst!" seorang menegur rekannya tersebut agar tidak menjawab pertanyaan Arnold.Pria muda itu pun menjadi semakin penasaran. Tetapi karena ia tahu jika ia tidak mungkin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu maka ia pun memilih untuk diam.Ia mengamati jalanan dan kini sadar ia akan dibawa ke mana. Ia menghela napas panjang ketika mengetahuinya.Saat sampai di sebuah rumah mewah yang merupakan rumah milik keluarga Brawijaya yang tidak lain adalah keluarganya sendiri itu, ia dipaksa turun."Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruh kalian? Ayahku atau kakakku?" tanya Arnold yang telah mulai kehilangan kesabarannya.
"Kau dan cara berpikirmu yang menurutku sangat lucu sekali, Mas."Arnold masih tertawa meski tidak terlalu keras. Narendra mengertakkan giginya, jengkel luar biasa. "Apanya yang lucu? Aku dan kau memang satu darah. Apa salahnya kau mendukung saudara kandungmu?"Arnold menghela napas panjang, menatap serius ke arah kakaknya tersebut sebelum kembali berujar, "Tidak ada yang salah dengan hal itu. Saudara memang harus saling mendukung, Mas."Tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar, Narendra berkata, "Aku tahu kau pasti mengeri apa maksudku. Memang seharusnya begitu, Arnold."Arnold membasahi bibirnya, "Tapi Glenn juga memiliki hubungan darah dengan kita, Mas. Tidak sadarkah kau akan hal itu?"Mendadak, senyum Narendra kembali lenyap hingga tidak berbekas, "Glenn? Kau kembali membawa-bawa nama Glenn? Untuk apa? Dia bukan-""Paman Andi itu kakak ayah kita, Mas. Bukankah seharusnya ayah berpikir ulang sebelum membuat anak dari saudaranya sendiri menderita?" ujar Arnold tanpa menahan
Tetapi Arnold tidak mempedulikan hal itu lagi dan tetap melangkah ke luar.Pria itupun lalu mencegat sebuah taksi ketika ia telah berada di luar rumah mewah yang seharusnya ditempati oleh Glenn tersebut.Arnold sama sekali tidak menoleh dan tetap memandang lurus ke arah depan bahkan ketika ia telah berada di dalam taksi itu."Selamat tinggal, Mas, Ayah, Ibu," ujarnya pelan."Jalan, Pak. Ke Apple Apartment," ucap Arnold pada sopir taksi berusia paruh baya itu."Baik, Mas."Arnold sama sekali tidak merasa berat saat ia meninggalkan rumah yang memang bukan miliknya itu. Justru ia lebih merasakan sedih saat harus meninggalkan rumah mereka sendiri untuk berpindah ke rumah keluarga Glenn.Rumah yang letaknya 5 km dari rumah Glenn itu adalah rumah yang telah ia tempati bersama dengan keluarganya sejak ia masih kecil. Arnold begitu menyayangkan ketika ayah ibunya memilih untuk menjual rumah tersebut dan akhirnya pindah ke rumah mewah itu.Sementara itu, di Barata Restaurant, Glenn masih menun
"Itu tempat tinggal Zayn.""Zayn Salim maksudmu?" tanya Alexander.Glenn tidak menyahut dan malah segera mematikan panggilan itu tanpa mendengarkan lagi apa yang ingin dikatakan oleh Alexander.Pria itu kemudian melepas celemeknya dan menuju ke sebuah ruangan atasannya. Asisten managernya bertanya sebelum ia masuk ke dalam ruangan itu, "Leon, apa kau sedang mencari Bu manager?""Ya, apa dia tidak ada di dalam?""Tidak ada. Dia baru saja keluar untuk menemui salah satu manager dari cabang lain. Ada yang bisa aku bantu? Kau bisa mengatakannya kepadaku," ujar asisten manager bernama Monika itu.Glenn mengangguk, "Jadi, begini Mbak. Aku ingin meminta izin pulang lebih cepat. Apakah bisa?"Monika tersenyum, "Ah, aku pikir kau ingin menyampaikan hal yang penting. Boleh, silakan."Glenn menatap agak terkejut ke arah wanita muda itu, "Beneran boleh, Mbak?""Iya, kenapa? Kamu berharap kalau aku tidak memberikan izin? Ya udah kalau begitu, aku nggak kasih-""Eh, Mbak. Terima kasih atas izin ya
Zayn menelan ludahnya dengan gugup lalu ia meraih gelas minumannya tersebut dan meneguknya dengan cepat.Tiba-tiba saja Arnold menjadi curiga terhadapnya, ia pun tidak tahan lagi dan bertanya, "Kenapa? Zayn, tolong jangan katakan jika kecurigaanku itu benar."Zayn tidak berani menatap ke arah Arnold. Arnold pun dengan segera bertanya kembali, "Katakan kalau kau tidak terlibat dalam peristiwa itu."Zayn paham apa yang dimaksud oleh Arnold. Peristiwa yang dimaksud adalah saat Edgar tertangkap atas kasus penipuan yang sebenarnya hanyalah sebuah manipulasi Narendra.Zayn terdiam. Ia tidak menjawab perkataan Arnold.Arnold dengan begitu mudahnya mengerti, "Kau terlibat. Astaga, Zayn. Apa saja yang sudah kau lakukan dengan kakakku?"Zayn menggelengkan kepalanya, "Aku terpaksa melakukannya karena saat itu perusahaan keluargaku sedang sangat terancam. Narendra yang bisa menolongku karena hanya dia satu-satunya yang bersedia meminjamkan dana yang begitu besar untuk menyokong perusahaan keluarg
Glenn tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti sepupunya yang sedari tadi telah membuatnya begitu cemas itu. Selain tidak ingin terjadi hal buruk apapun kepada Arnold, ia juga tak yakin jika sepupunya itu bisa bertahan di dunia luar.Arnold bukan seorang pria tangguh yang akan tahan banting dengan apapun. Justru sebaliknya, ia merupakan pria yang mudah goyah dan terjatuh hanya dengan satu goncangan saja.Maka Glenn mengikuti dirinya tepat di belakangnya dengan taksi yang ia cegat tak lama setelah Arnold pergi dengan tujuan memastikan Arnold aman.Arnold rupanya berhenti di sebuah hotel berbintang lima dan terlihat sedang memesan kamar di depan resepsionis. Glenn menggelengkan kepalanya, "Masih seperti anak manja. Kalau begini caranya, uangnya pasti akan cepat habis."Ia berkaca pada dirinya sendiri yang pernah mengalami hal yang serupa seperti yang terjadi pada Arnold sekarang ini.Namun, dulu ia tidak seperti Arnold. Ia dengan cepat menyadari jika ia harus berhemat lantaran uang
"Untuk membunuhmu," ucap Glenn asal.Dewa tertawa terpingkal-pingkal. Pria itu bahkan sampai membuang racun rokok berharganya ke tanah dan menginjaknya agar mati.Glenn meliriknya dengan jengkel tapi tak lagi berkata-kata.Setelah tawanya mereda, Dewa berujar, "Astaga, sudah lama aku tak tertawa begini. Oh, demi lautan yang dikuasai oleh Neptunus, aku benar-benar senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Glenn.""Aku sama sekali tak berniat menghiburmu," sahut Glenn dengan menatap sinis pria yang kini terlihat agak dekil itu."Lalu kenapa kau membuat lelucon seolah ingin membunuhku?"Glenn menyeringai, "Itu bukan lelucon. Itu sungguhan, Dewa.""Ya, Ya. Itu sangat Glenn Brawijaya sekali, sinis dan kasar. Luar biasa. Jadi, apa yang kau inginkan dariku?" tanya Dewa to the point.Glenn mendesah. Ia jarang menemui orang yang akan langsung mengerti maksudnya seperti Dewa. Bahkan, Alexander Barata yang ia kira pintar itu saja tak bisa memahaminya dengan baik. Pria itu terlalu polos dan lugu