"Membunuhnya, Mas? Apa kau yakin tentang itu, Mas?" tanya Arnold dengan bersusah payah agar tidak terdengar seolah ia cemas sekaligus kaget.Narendra membuat helaan napas yang terdengar begitu santai tapi dipenuhi oleh keseriusan. Ia pun kemudian berkata dengan nada tenng, "Ya. Lebih baik ia dibungkam untuk selamanya daripada membuatku repot."Kembali, kedua tangan Arnold yang tidak terlihat oleh Narendra pun sontak terkepal erat, "Apa malah nanti tidak akan menimbulkan masalah lain, Mas? Bagaimana jika malah-""Masalah apa, Arnold? Masalah apa yang bisa timbul jika aku membunuhnya? Kau hanya terlalu banyak berpikir hal yang tidak perlu, Arnold," ujar Narendra, sedikit agak kesal.Arnold menahan diri dan kini semakin merasa betapa susahnya ternyata untuk berpura-pura menjadi adik yang baik bagi kakaknya itu. Andai saja ia bisa, ia lebih memilih untuk tidak melakukan hal itu.Tapi, demi Glenn, dia rela melakukannya. Dia hanya ingin berusaha membantu Glenn. Maka, dia bertahan berada di
"Ya. Biarkan saja dia begitu," ucap Arnold.Narendra kelihatan diam sesaat dan memilih untuk memikirkan banyak hal. Ia mulai meragukan adiknya karena menurutnya seakan adik lelakinya itu terkesan melindungi Alexander Barata.Namun, ia tahu ia tidak bisa melawan adiknya itu dalam berkata-kata sehingga ia memilih untuk menyembunyikan apa yang ada di kepalanya."Oke, aku tidak akan menyerangnya."Jawaban itu benar-benar membuat Arnold begitu lega dan kini ia pun beralih membicarakan masalah lain, "Besok ada jadwal bertemu dengan Garrick. Aku akan berada di luar kantor selama seharian.""Oke. Lakukan apa saja yang menurutmu benar. Aku memberimu izin untuk itu," ucap Narendra.Arnold merasa begitu senang karena rupanya sang kakak masih begitu mempercayai dirinya sehingga ia pun meninggalkan ruangan kakaknya tersebut dengan hati tenang.Namun, hal itu tidak berlaku bagi Narendra. Jelas sekali iya mulai menaruh curiga lagi kepada adiknya tetapi kali ini dia tidak akan pernah memperlihatkan k
Pertanyaan tersebut seketika membuat gadis itu berhenti memakan makanannya. "Sekolah baik tapi dengan keadaan sekarang, tidak mungkin aku bisa sekolah lagi kan, Om?"Glenn menangkap sebuah ekspresi sedih dari mata indah gadis muda itu. Glenn berpikir mungkin saja kehidupan sekolahnya menjadi salah satu hiburan untuk gadis itu sehingga ia begitu merindukan sekolah."Aku bisa saja mengirimmu ke sekolah lain untuk sekolah," ucap Glenn.Mata Clarita melebar, "Aku sekolah di tempat lain?""Iya. Kenapa memangnya?"Clarita dengan segera menggelengkan kepalanya seolah tidak menyetujui apa yang baru saja diungkapkan oleh sahabat ayahnya itu. "Aku tidak berpikir untuk pindah sekolah tapi Om, memangnya bisa sekarang pindah sekolah di saat semester pertengahan seperti ini?"Hal inilah yang Glenn sukai jika memiliki koneksi yang luas serta uang yang banyak. Ia bisa menggunakan semuanya itu untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Ia tak perlu mengkhawatirkan masalah yang tidak perlu ia pikirkan.I
Glenn tertawa terbahak-bahak, membuat gadis berusia belasan tahun itu terkesima. Clarita berkata tanpa sadar, "Om tampan."Mendengar pujian tak terduga dari gadis itu,Glenn seketika berhenti tertawa. Clarita berkata sekali lagi dengan nada terdengar tulus, "Om benar-benar tampan.""Hei, gadis kecil, kenapa kau bilang begitu?" ucap Glenn tidak nyaman.Clarita membalas dengan raut wajah bingung, "Aku bukan gadis kecil, Om. Aku sudah tujuh belas tahun, sebentar lagi aku bahkan akan segera berulang tahun ke delapan belas tahun. Mana bisa disebut gadis kecil?"Mulut Glenn sedikit terbuka, ini pertama kalinya ia mendengar Clarita terlihat begitu santai saat berbicara. Gadis itu jauh lebih nyaman dari pada sebelumnya. Hal itu sebenarnya cukup membuat Glenn ikut lega. Tapi, untuk memastikan kondisi adiknya itu baik-baik saja, Glenn bertanya, "Apa kau benar-benar baik-baik saja?""Kenapa Om malah berbicara tentang aku? Memangnya aku kenapa, Om?"Glenn tidak tahu apakah gadis itu memang tidak
Sekali lagi, Glenn kehilangan kata-kata, tak mampu membalas perkataan gadis muda itu. Bahkan, di saat Alexander Barata benar-benar datang ke sana, Glenn hanya bisa menuruti kata-kata Clarita dan memanggil sahabatnya itu dengan nama depannya. Bahkan, Alexander sendiri keheranan dengan sikap Glenn."Apa yang terjadi denganmu?" Alexander bertanya dengan raut wajah penuh kebingungan.Glenn hanya menggeleng, sementara Clarita hanya tersenyum santai.Alexander bertanya lagi, "Sungguh kau sedang tidak waras, Glenn? Apa kepalamu sedang baru saja terbentur sesuatu?"Glenn dengan jengkel berkata, "Jangan membuatku semakin kesal, Alexander. Tolong, aku sedang tidak berniat untuk berbasa-basi denganmu."Alexander tertawa aneh. "Siapa juga yang sedang mengajakmu berbasa-basi, Glenn Brawijaya? Aku hanya sedikit keheranan. Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini? Apakah ada sesuatu yang membuatmu bisa berubah?""Heh, ini hanya masalah panggilan. Kenapa kau membesar-besarrkannya? Sudahlah, aku naik!
Damar pun kemudian hanya bisa mondar-mandir sambil menunggu kabar anak buahnya yang sedang mencari Alexander Barata."Tidak mungkin. Ini tidak mungkin." Ia bergumam sendirian dan mencoba untuk meyakinkan dirinya jika Glenn Brawijaya belum kembali.Ketakutan itu begitu terasa mencekik lehernya. Ia tidak tahu jika ternyata Glenn mampu membuatnya begitu ketakutan sampai-sampai ia tidak bisa bernapas.Tangannya bahkan sekarang ini sudah gemetar. Ia teringat akan kata-kata temannya yang dulu pernah memperingatkannya soal Glenn Brawijaya. Seharusnya, ia membujuk pria itu atau menipunya agar berada di pihaknya bukannya malah mencoba untuk membunuhnya.Tetapi, sayangnya ia tidak menggubris kata-kata sang teman dan malah merencanakan pembunuhan terhadap pria yang menjadi kepercayaan Alexander Barata itu.Ia bahkan mempengaruhi seorang anak buah Glenn dengan mengancam asisten pribadi Glenn tersebut untuk bekerja kepadanya. Sialnya, setelah ia melakukan semua hal licik itu, Glenn masih saja bisa
Damar memperhatikan tatapan Alexander yang sebelumnya terlihat terkejut kini berubah menjadi ekspresi yang seolah siap menerkam mangsanya.Pria yang lebih tua daripada Alexander itu pun agak bingung, "Iya, Tuan."Alexander tersenyum mengerikan dan bertanya lagi, "Jadi, kau tidak bersama dengan anak buahmu?"Damar menggelengkan kepalanya, "Tidak, Tuan. Saya telah meminta mereka untuk mencari keberadaan Anda di seluruh penjuru kota. Saya benar-benar khawatir terhadap Anda."Alexander menatap Damar dengan tatapan yang terlihat begitu lega sekaligus luar biasa gembira, "Ah, kau benar-benar sendiri rupanya.""Memang ada apa, Tuan? Apakah Anda membutuhkan pengawal atau mungkin ada sesuatu yang ingin saya lakukan untuk Anda?" tanya Damar."Oh, tidak. Bukan itu. Tidak ada yang perlu kau lakukan, tapi aku benar-benar senang karena kau kini sendirian tanpa anak buahmu itu," ujar Alexander, terdengar begitu berbeda di telinga Damar."Mereka bukan anak buah saya, Tuan. Tapi, mereka itu anak buah
Damar yang sebenarnya memang seorang penakut itu pun tidak bisa menggerakkan kepalanya, terlebih lagi badannya. Ia bahkan tidak mampu berkata sepatah kata pun."Ada kata-kata terakhir?" tanya Glenn yang masih menodongkan senjatanya pada kepala Damar.Pria yang telah dilucuti senjatanya dan kini tidak memiliki perlindungan sedikitpun itu akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah berupaya dengan begitu keras, "Tuan Muda Glenn. Anda ternyata masih hidup. Syukurlah."Glenn menaikkan alisnya dan cukup terkagum-kagum atas akting yang berusaha diluncurkan oleh Damar. Ia berdecak kesal kemudian, "Ayolah, tidak ada yang akan mempercayaimu sekarang. Percuma saja kau bersandiwara. Tidak ada gunanya."Alexander Barata ikut menimpali, "Kami sudah sangat muak mendengarmu juga melihatmu bersandiwara. Jadi, sudahlah sekarang bersikap seperti dirimu yang sebenarnya saja."Kata-kata itu bukanlah sebuah himbauan ataupun paksaan tetapi hanya sebuah ungkapan atas kelelahan Alexander yang harus menerima