“Apa? Tega sekali dia berbuat seperti itu padamu, Ben?” kesal Nyonya Jang Geum.Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ben selain meluapkan rasa kekesalan dan kekecewaannya dengan menumpahkan semua air matanya. Memang sempat pria berdarah Inggris ini memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Hanya saja, dalam perjalanan pulang menuju rumah Elmo, ia sempat bertemu dengan bossnya, Nyonya Jang Geum.“Lalu untuk apa kau datang ke jembatan ini? Jangan katakan padaku, kalau kau ingin mengakhiri kehidupanmu, hanya karena gadis matre itu!” seru Nyonya Jang Geum.Ben terus saja menangis seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya. Sambil menatap penuh kesedihan, Ben hanya menjawabnya dengan anggukan bahwa memang ada pikiran ingin mengakhiri kehidupan. “Dengarkan aku, anak muda. Gadis itu tak pantas untuk kau tangisi, air matamu begitu berharga. Dia sama sekali tak pernah menghargaimu. Kau sama sekali tidak dianggap olehnya. Sudahlah, kau cari saja wanita yang lebih bisa menghargaimu,”
Sadar bahwa dirinya sudah bertindak terlalu jauh, Ben pun segera menyudahi pertengkarannya dengan adik perempuannya. Ia pun meminta agar Brie segera keluar dari kamarnya. Dalam benaknya Ben ingin sekali mengikuti kata-kata dari ketiga orang dekatnya, tapi apa daya ketika perasaan cinta mengalahkan akal sehatnya.Delapan bulanDelapan bulan berlalu, Ben masih saja menyimpan perasaan sayang dan cinta pada Zora. Meskipun dirinya harus menentang sahabatnya Elmo, bossnya, serta adik perempuannya. Ben yakin kalau Zora satu saat nanti akan jatuh hati padanya. Selama delapan bulan itu juga, Ben terus saja memperhatikan gerak-gerik Zora, mempelajari sikap dan sifat Zora, apa yang diinginkan melalui statusnya di social media.Selama delapan bulan, Ben tak pernah jemu untuk bertemu dengan Zora meskipun penolakan dengan cara kasar selalu terjadi. Lama kelamaan Zora pun semakin melunjak dengan perhatian-perhatian yang diberikan oleh Ben. Zora pun meminta Ben untuk menemuinya malam ini di pusat des
“Aku ingin … tunggu sebentar. Kau … kau bekerja disini?” tanya Zora dengan nada penasaran.Zora melihat pakaian poloshirt yang dikenakan oleh Ben dipadupadankan dengan kain kecil penutup baju dari pinggang sampai ke lutut dengan penuh keanehan sekaligus meledek Ben, “Hahhaha … hey, lihatlah pria miskin ini bekerja di sini. Uuhh … rasanya sangat tidak pantas sekali aku bersentuhan tangan dengannya. Lihat saja tangannya kotor dan kasar.”Hinaan yang begitu merendahkan harga diri seorang pria muda, terdengar hingga dalam ruangan kedai. Para pengunjung yang tengah menikmati makanan ditemani dengan hujan bintang sedikit terganggu akan hinaan tawa Zora. Semua mata kini tertuju pada Zora dan Ben. Sebagian pengunjung yang mendengarkan dari awal sangat menyayangkan sikap Zora kepada Ben. Dan sebagian pengunjung merasa cuek bahkan tak ingin ikut campur dengan sikap Zora.“Ya … benar, aku bekerja disini. Kenapa? Ada masalahkah denganmu?” balas Ben dengan sedikit tersipu malu.Zora yang datang be
“Tapi Zora … makanan telah kau pesan ini begitu mahal, setara dengan delapan bulan gajiku disini,” aku Ben.“Berapa? Delapan bulan gaji kamu disini? Hahahhaha … guys denger nggak kalian. Masa untuk bayar makanan disini aja perhitungan. Duh … kamu ini gimana sih, bukannya kamu suka sama aku? Kalau memang kamu suka sama aku, ya … coba dong buktiin ke aku, bayarin semua makanan dan minuman ini. Lagipula kamu kan kerja disini, pasti bisalah kamu minta keringanan sama boss kamu yang tua dan cerewet itu, oups. Hahahhaha,” ucap Zora dengan bibir yang dibuat senyinyir mungkin.Xael yang sejak tadi duduknya sengaja terpisah dengan Zora, merasa geram melihat Ben diperlakukan tidak baik oleh kawan yang baru saja ia temui enam bulan yang lalu, sejak Ayah dan ibunya memintanya untuk bersekolah dan menjaga neneknya di desa kelahiran sang Ayah.Xael geram melihat Zora yang selalu bertindak seenaknya saja, terutama pada orang-orang yang kurang beruntung dalam kemampuan ekonominya. Xael pun segera ban
“Kali ini kau kumaafkan karena sudah bertindak tidak tegas pada gadis itu. Akan tetapi, kalau sampai esok hari kau masih tidak bertindak tegas padanya, maka maaf saja Ben … kau harus pergi dari sini,” ancam Nyonya Jang Geum sambil memukul tipis pundak Ben.Ancaman bossnya bagi Ben merupakan sebuah pertanda buruk untuk keuangannya, karena kalau sampai benar terjadi bossnya memerintahkan untuk angkat kaki dari kedai ini, maka hutang ayahnya yang tersisa delapan orang lagi tidak bisa terbayarkan. Ben terduduk lemas di lantai, tatapannya begitu kosong menyiratkan ketidakmampuannya dalam mengatasi akan perasaan bodohnya itu.Perasaan yang hanya dipermainkan oleh seorang gadis yang menurutnya begitu cantik hatinya, dan entah mengapa Ben seperti tidak bisa menolak, tatkala Zora selalu memintanya untuk bertemu, apalagi kekacauan yang dibuat oleh Zora dan kawan-kawannya malam ini. Menyesal sudah pasti, andai saja ia bisa mengulang waktu. Sudah pasti ia akan menolak sejak awal bertemu dengan Z
Teriakan kesedihan muncul kembali, saat Nyonya Jang Geum berusaha menyalakan senter melalui ponselnya. Dapurnya begitu hancur berantakan, tempat untuk menyimpan semua bahan-bahan rusak parah. Tutup lemari terpisah dari engselnya, bahan-bahan makanan sudah rusak dan tak tersisa.Tak hanya Nyonya Jang Geum saja yang merasa sedih, Ben pun juga turut merasakan kesedihan itu. Kata maaf saja tidak cukup mewakili jumlah kerugian yang dialami oleh wanita paruh baya yang gemar memasak makanan korea zaman Sembilan puluhan.“Ben … besok aku tidak akan berjualan. Ada baiknya kau urusi masalahmu, hingga selesai,” tegas Nyonya Jang Geum.Ben mengira, ucapan Bossnya itu adalah sebuah tanda bahwa dirinya telah dipecat dari pekerjaannya. Kakinya lemas sampai ia tak tersadar bahwa tubuhnya sudah jatuh terduduk lemas. Suara tangisnya pecah, seperti anak kecil yang meraung-raung karena ada perasaan marah.Bukannya merasa iba dengan suara tangisan Ben, Nyonya Jang Geum segera pergi meninggalkan Ben di ked
“Permisi, apakah kedai ini sudah buka?” tanya dua orang pria paruh baya pada Ben pagi-pagi sekali.Ben tidak bisa menjawabnya, karena memang bukan kewenangannya. Pemuda itu terlihat lusuh, terlihat lingkaran hitam di sekitar mata, rambut begitu berantakan, serta baju yang begitu kotor akibat semalaman tak tidur membersihkan semua kekacauan yang dibuat oleh Zora dan kawan-kawan.“Nak, apa kau baik-baik saja?” tanya pria paruh baya berdandan british“Aku … aku baik-baik saja. Hanya saja aku tidak bisa memutuskan apakah kedai ini buka atau tidak,” aku Ben tersipu malu dan sopan.“Bagaimana ini tuan Billie? Apakah anda ingin mencari makanan di tempat yang lain?” tanya salah pria lainnya yang berpakaian jas hitam dan memakai kacamata hitam dengan menggunakan bahasa inggris british yang kental.“Tapi apa kau yakin, bahwa pemilik wanita yang kau temui semalam itu adalah pemilik kedai ini?” tekan Tuan Billie.Seolah mengerti dengan ucapan kedua pria asing itu, Ben pun mendengarkan dengan sek
“Bagaimana Billie … apakah benar, pemuda yang kau temui itu adalah cucu kandungku?” tanya Tuan Cana penuh harap.Wajah Billie tersenyum lebar saat menjawab pertanyaan Tuan Besarnya itu. Tak ingin memberikan harapan palsu, Tuan Billie pun menjelaskan kondisi terkini, begitu lusuh dan jauh dari kata cukup.“Apa maksudmu?” tanya Tuan Cana yang masih merasa bingung dengan penjelasan sahabatnya itu.“Maksudku, Benedict benar-benar hidup serba kekurangan, Tuan Cana. Menurut beberapa informasi yang dikumpulkan oleh anak buahmu, Tuan Alexi punya banyak sekali hutang, terutama pada lintah darat,” jawab Tuan Billie.Hati Tuan Cana begitu sedih lantaran tak bisa menjaga kedua cucunya dengan baik. Malu sekaligus kecewa terhadap diri sendiri sekaligus terhadap mendiang putrinya, karena sudah berjanji akan selalu menjaga kedua cuucnya dengan baik.Perasaan bersalah pun langsung menghinggapi Tuan Cana, air matanya mengalir tanpa permisi membayangkan bagaimana nasib kedua cucunya tanpa perlindungan d