Beberapa hari setelah persiapan intensif, Darrel dan teman-temannya kembali ke kelas dengan suasana hati campur aduk. Latihan dan belajar tanpa henti membuat mereka lebih percaya diri, meskipun tekanan tetap terasa. Pagi itu, ruangan dipenuhi siswa dengan wajah tegang.Profesor Aldrin berdiri di depan kelas, tangannya memegang setumpuk kertas ujian. Dengan suaranya yang khas, ia mengumumkan, “Hari ini, kalian akan menghadapi ujian teori. Soal-soal ini mencakup semua materi yang sudah kita bahas sejak awal semester. Saya harap kalian sudah mempersiapkan diri.”Kertas ujian dibagikan satu per satu. Ruangan yang tadinya dipenuhi bisik-bisik cemas kini hening, hanya suara kertas dan goresan pena yang terdengar.Darrel duduk dengan tenang, tatapannya fokus pada soal-soal yang ada di depannya. Lean, di sebelahnya, tersenyum kecil, terlihat seperti menikmati tantangan ini. Dims, dengan wajah penuh kerutan, memutar pena di tangannya, tampak bingung dengan beberapa soal. Jose menatap serius
Tiba-tiba seorang gadis angkat bicara, dengan tatapan serius ia langsung meraik perhatian dan membuat suasana kembali sunyi.Semua orang menoleh ke arah gadis itu. Darrel memandangnya dengan rasa familiar. Setelah beberapa saat, ia mengingat siapa gadis itu—sosok yang pernah menabrak Lean di koridor beberapa waktu lalu. Rambut hitam panjang gadis itu tergerai rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Marcel.“Apa yang ingin kau katakan, Yurie?” tanya Profesor Aldrin dengan nada penasaran.Yurie melangkah maju, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan. “Profesor, saya melihat sesuatu saat ujian berlangsung. Saya tidak ingin masalah ini berlanjut, dan saya rasa ini saat yang tepat untuk berbicara.”Marcel tampak gelisah, wajahnya yang sebelumnya penuh percaya diri kini menunjukkan tanda-tanda ketegangan. “Apa maksudmu, Yurie?”Yurie menatap Marcel dengan tajam. “Aku melihat Lia mengambil sesuatu dari bawah kursi Lean saat ujian berlangsung. Dan aku melihat Marcel memeri
Keesokan harinya, mentari pagi akhirnya berhasil menerobos sisa-sisa awan kelabu, membawa cahaya cerah yang menyelimuti seluruh akademi. Para siswa telah berkumpul di lapangan latihan, wajah mereka mencerminkan campuran antusiasme dan ketegangan.Profesor Aldrin berdiri di depan mereka, dengan postur tegas seperti biasanya. Di sebelahnya, sebuah papan besar menampilkan nama-nama siswa yang akan bertarung satu lawan satu, dipasangkan secara acak."Selamat pagi, siswa-siswa hebat Akademi Kekaisaran Rafencroft!" seru Profesor Aldrin dengan suara lantang, menarik perhatian semua orang. "Hari ini, kalian akan menghadapi ujian praktek bertarung. Tunjukkan kemampuan terbaik kalian, karena ujian ini tak dinilai hanya dari menang atau kalah. Ingat, saya akan menilai berdasarkan teknik, strategi, dan keberanian kalian!"Siswa-siswa mulai saling melirik, beberapa tampak gugup sementara yang lain tak sabar untuk memulai."Aku harap aku tidak harus bertarung serius denganmu, Lean," gumam Rem pela
Satu minggu setelah ujian, suasana Akademi Kekaisaran Rafencroft kembali ramai dengan siswa-siswa yang berkerumun di depan papan pengumuman. Papan itu memuat hasil ujian yang telah dinantikan banyak orang.“Darrel! Namamu ada di peringkat kedua!” seru Lean dengan semangat, menunjuk papan peringkat itu.Darrel, yang berdiri di dekat Lean, hanya melirik sekilas sebelum mengangkat bahu. “Hanya peringkat. Aku tidak terlalu peduli.”“Tidak peduli? Kau hampir mengalahkan Yurie, kau tahu. Ini prestasi luar biasa!” Lean terus berusaha memujinya.Darrel tersenyum kecil. “Yurie. Dia di peringkat ketiga, kan? Harusnya dia di atasku.”Nama di peringkat pertama menarik perhatian Lean. “Siapa ini... Evan Stark? Aku tidak pernah mendengar namanya sebelumnya. Tapi dia di atasmu. Kau tidak penasaran?”Darrel menggeleng. “Tidak perlu. Lagipula, ujian ini sudah selesai. Aku lebih tertarik pada liburan tiga minggu ke depan.”Lean tertawa kecil. “Ya, benar juga. Jadi, apa rencanamu selama libur?”Hari itu
Di salah satu sudut ibu kota Kekaisaran Rafencroft, sebuah bangunan besar dengan plakat bertuliskan "Guild Pemburu" berdiri kokoh. Tempat yang dikhususkan bagi prajurit bayaran atau pemburu untuk berkumpul dan menghasilkan uang. Guild Pemburu akan menyediakan berbagai misi untuk mereka, pekerjaan berbayar yang datang dari keluhan, keperluan ataupun masalah penduduk setempat. Suara riuh rendah memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma alkohol dan asap rokok yang mengepul tipis. Di sudut ruangan, dua sosok berjubah hitam duduk diam di meja bundar, jauh dari perhatian. Sosok laki-laki bersandar ke kursi sambil menyesap minumannya. "Apakah benda itu bereaksi lagi?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keramaian. Sosok perempuan di depannya menggeleng. Tudung hitamnya menutupi wajahnya, hanya sedikit helai rambut perak yang menyembul keluar. "Tidak. Tapi aku yakin petunjuk itu membawa kita ke sini, ke negeri manusia ini." "Dan itu berarti apa yang kita cari ada di
Lean memutar kepalanya, mencoba mengingat sesuatu. Nama Redwolf terasa asing, namun ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Beberapa saat kemudian, matanya melebar, wajahnya berubah suram, dan kedua tangannya mengepal erat.“Serikat Redwolf…” gumamnya, nadanya berubah penuh kebencian.Darrel menoleh, merasa ada sesuatu yang serius. "Kau tahu mereka, Lean? Kenapa reaksimu seperti itu?"Lean mengangguk perlahan, rahangnya mengeras. "Aku pernah mendengar cerita tentang mereka... sebuah cerita yang tak pernah bisa kulupakan."Darrel tidak menyela, membiarkan Lean melanjutkan.“Di desaku dulu, beberapa tahun lalu saat aku masih kecil,” Lean memulai dengan suara rendah, penuh tekanan emosi. "Seekor Dark Bear—monster sihir—mengamuk dan menghancurkan desa kami. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Setengah dari desa, termasuk ternak kami, musnah dalam hitungan detik."Darrel tetap diam, matanya terfokus pada temannya yang tampak bergelut dengan emosi.“Lalu, sekelompok pemburu datang. Mereka m
Setelah menghabiskan teh mereka, Cilera berdiri dan menuju ke pemilik kedai untuk membayar tagihan mereka. Kemudian, ia mengajak Darrel dan Lean keluar dari kedai, memimpin jalan ke sudut kota yang lebih sepi.Mereka berjalan melewati gang-gang sempit yang berbau lembab, udara malam di ibu kota terasa dingin. Lingkungan di sekitar mereka mulai berubah. Bangunan-bangunan megah yang biasa ditemukan di pusat kota berganti menjadi rumah-rumah tua yang terlihat kusam dan rusak."Jadi," Lean membuka percakapan, "bagaimana kau bisa tahu tentang tempat ini? Rasanya aneh seorang Elf seperti kau tahu detail kota manusia seperti ini."Cilera menoleh sekilas, senyum tipis terlukis di wajahnya. "Aku pernah tinggal di sini untuk sementara waktu. Kau akan terkejut betapa banyak hal yang bisa kau pelajari ketika kau harus bertahan hidup."Darrel, yang berjalan di belakang mereka, memperhatikan dengan seksama. "Tinggal di sini? Itu cukup menarik. Apa ini ada hubungannya dengan temanmu yang kau cari?
Darrel berjalan perlahan ke sudut ruangan. Kotak kayu panjang yang tampak lusuh itu memancarkan aura misterius, seolah memanggilnya untuk mendekat. Ukiran-ukiran aneh di permukaannya menarik perhatian, simbol-simbol itu terasa asing namun menggugah rasa ingin tahunya. Ia menoleh ke arah Olmund, yang sedang sibuk memanaskan besi di tungku."Tuan Olmund," panggil Darrel sambil menunjuk kotak itu. "Apa ini?"Olmund menghentikan pekerjaannya, menoleh dengan cepat. Tatapan matanya berubah tajam, penuh kewaspadaan. Dengan langkah tergesa-gesa, ia mendekati Darrel."Jangan sentuh itu!" serunya tajam.Namun terlambat. Darrel sudah meletakkan tangannya di atas kotak itu. Seketika, sensasi aneh menyelimuti dirinya. Tekstur kayu kasar itu terasa hangat, mengalirkan energi yang tidak kasat mata ke tubuhnya.Suara Drakonis bergema di dalam benaknya. “Darrel. Kotak itu menyimpan sesuatu yang mengandung kekuatan iblis. Artefak ini sepertinya terbuat dari roh monster dan material langka dari luar
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap