Sudah tiga bulan sejak Darrel, Lean, Dims, dan Jose tinggal bersama di asrama mereka. Hubungan mereka semakin erat, bagaikan keluarga kecil di tengah kerasnya dunia dalam akademi. Seperti biasa, asrama mereka berubah menjadi tempat penuh keriuhan setiap kali mereka berkumpul. Lean dengan guyonan khasnya, Dims yang sering memancing tawa dengan cerita anehnya, dan Jose yang meskipun pendiam, selalu menambahkan komentar tajam yang membuat suasana semakin hangat.Hari-hari mereka berlalu dalam rutinitas: kelas teori, latihan fisik, hingga pekerjaan rumah yang seolah tiada habisnya. Namun, sebuah pengumuman dari Profesor Aldrin di ruang kelas membuat suasana berubah drastis.“Perhatian semuanya!” Profesor Aldrin berdiri di depan kelas dengan ekspresi serius. “Dalam tiga hari, kalian akan menghadapi Ujian Tengah Semester. Seperti biasa, ujian ini akan dibagi menjadi dua bagian: teori dan praktik. Kalian akan diuji bukan hanya dari apa yang kalian pelajari di kelas, tapi juga dari kemampu
Beberapa hari setelah persiapan intensif, Darrel dan teman-temannya kembali ke kelas dengan suasana hati campur aduk. Latihan dan belajar tanpa henti membuat mereka lebih percaya diri, meskipun tekanan tetap terasa. Pagi itu, ruangan dipenuhi siswa dengan wajah tegang.Profesor Aldrin berdiri di depan kelas, tangannya memegang setumpuk kertas ujian. Dengan suaranya yang khas, ia mengumumkan, “Hari ini, kalian akan menghadapi ujian teori. Soal-soal ini mencakup semua materi yang sudah kita bahas sejak awal semester. Saya harap kalian sudah mempersiapkan diri.”Kertas ujian dibagikan satu per satu. Ruangan yang tadinya dipenuhi bisik-bisik cemas kini hening, hanya suara kertas dan goresan pena yang terdengar.Darrel duduk dengan tenang, tatapannya fokus pada soal-soal yang ada di depannya. Lean, di sebelahnya, tersenyum kecil, terlihat seperti menikmati tantangan ini. Dims, dengan wajah penuh kerutan, memutar pena di tangannya, tampak bingung dengan beberapa soal. Jose menatap serius
Tiba-tiba seorang gadis angkat bicara, dengan tatapan serius ia langsung meraik perhatian dan membuat suasana kembali sunyi.Semua orang menoleh ke arah gadis itu. Darrel memandangnya dengan rasa familiar. Setelah beberapa saat, ia mengingat siapa gadis itu—sosok yang pernah menabrak Lean di koridor beberapa waktu lalu. Rambut hitam panjang gadis itu tergerai rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Marcel.“Apa yang ingin kau katakan, Yurie?” tanya Profesor Aldrin dengan nada penasaran.Yurie melangkah maju, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan. “Profesor, saya melihat sesuatu saat ujian berlangsung. Saya tidak ingin masalah ini berlanjut, dan saya rasa ini saat yang tepat untuk berbicara.”Marcel tampak gelisah, wajahnya yang sebelumnya penuh percaya diri kini menunjukkan tanda-tanda ketegangan. “Apa maksudmu, Yurie?”Yurie menatap Marcel dengan tajam. “Aku melihat Lia mengambil sesuatu dari bawah kursi Lean saat ujian berlangsung. Dan aku melihat Marcel memeri
Keesokan harinya, mentari pagi akhirnya berhasil menerobos sisa-sisa awan kelabu, membawa cahaya cerah yang menyelimuti seluruh akademi. Para siswa telah berkumpul di lapangan latihan, wajah mereka mencerminkan campuran antusiasme dan ketegangan.Profesor Aldrin berdiri di depan mereka, dengan postur tegas seperti biasanya. Di sebelahnya, sebuah papan besar menampilkan nama-nama siswa yang akan bertarung satu lawan satu, dipasangkan secara acak."Selamat pagi, siswa-siswa hebat Akademi Kekaisaran Rafencroft!" seru Profesor Aldrin dengan suara lantang, menarik perhatian semua orang. "Hari ini, kalian akan menghadapi ujian praktek bertarung. Tunjukkan kemampuan terbaik kalian, karena ujian ini tak dinilai hanya dari menang atau kalah. Ingat, saya akan menilai berdasarkan teknik, strategi, dan keberanian kalian!"Siswa-siswa mulai saling melirik, beberapa tampak gugup sementara yang lain tak sabar untuk memulai."Aku harap aku tidak harus bertarung serius denganmu, Lean," gumam Rem pela
Satu minggu setelah ujian, suasana Akademi Kekaisaran Rafencroft kembali ramai dengan siswa-siswa yang berkerumun di depan papan pengumuman. Papan itu memuat hasil ujian yang telah dinantikan banyak orang.“Darrel! Namamu ada di peringkat kedua!” seru Lean dengan semangat, menunjuk papan peringkat itu.Darrel, yang berdiri di dekat Lean, hanya melirik sekilas sebelum mengangkat bahu. “Hanya peringkat. Aku tidak terlalu peduli.”“Tidak peduli? Kau hampir mengalahkan Yurie, kau tahu. Ini prestasi luar biasa!” Lean terus berusaha memujinya.Darrel tersenyum kecil. “Yurie. Dia di peringkat ketiga, kan? Harusnya dia di atasku.”Nama di peringkat pertama menarik perhatian Lean. “Siapa ini... Evan Stark? Aku tidak pernah mendengar namanya sebelumnya. Tapi dia di atasmu. Kau tidak penasaran?”Darrel menggeleng. “Tidak perlu. Lagipula, ujian ini sudah selesai. Aku lebih tertarik pada liburan tiga minggu ke depan.”Lean tertawa kecil. “Ya, benar juga. Jadi, apa rencanamu selama libur?”Hari itu
Di salah satu sudut ibu kota Kekaisaran Rafencroft, sebuah bangunan besar dengan plakat bertuliskan "Guild Pemburu" berdiri kokoh. Tempat yang dikhususkan bagi prajurit bayaran atau pemburu untuk berkumpul dan menghasilkan uang. Guild Pemburu akan menyediakan berbagai misi untuk mereka, pekerjaan berbayar yang datang dari keluhan, keperluan ataupun masalah penduduk setempat. Suara riuh rendah memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma alkohol dan asap rokok yang mengepul tipis. Di sudut ruangan, dua sosok berjubah hitam duduk diam di meja bundar, jauh dari perhatian. Sosok laki-laki bersandar ke kursi sambil menyesap minumannya. "Apakah benda itu bereaksi lagi?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keramaian. Sosok perempuan di depannya menggeleng. Tudung hitamnya menutupi wajahnya, hanya sedikit helai rambut perak yang menyembul keluar. "Tidak. Tapi aku yakin petunjuk itu membawa kita ke sini, ke negeri manusia ini." "Dan itu berarti apa yang kita cari ada di
Lean memutar kepalanya, mencoba mengingat sesuatu. Nama Redwolf terasa asing, namun ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Beberapa saat kemudian, matanya melebar, wajahnya berubah suram, dan kedua tangannya mengepal erat.“Serikat Redwolf…” gumamnya, nadanya berubah penuh kebencian.Darrel menoleh, merasa ada sesuatu yang serius. "Kau tahu mereka, Lean? Kenapa reaksimu seperti itu?"Lean mengangguk perlahan, rahangnya mengeras. "Aku pernah mendengar cerita tentang mereka... sebuah cerita yang tak pernah bisa kulupakan."Darrel tidak menyela, membiarkan Lean melanjutkan.“Di desaku dulu, beberapa tahun lalu saat aku masih kecil,” Lean memulai dengan suara rendah, penuh tekanan emosi. "Seekor Dark Bear—monster sihir—mengamuk dan menghancurkan desa kami. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Setengah dari desa, termasuk ternak kami, musnah dalam hitungan detik."Darrel tetap diam, matanya terfokus pada temannya yang tampak bergelut dengan emosi.“Lalu, sekelompok pemburu datang. Mereka m
Setelah menghabiskan teh mereka, Cilera berdiri dan menuju ke pemilik kedai untuk membayar tagihan mereka. Kemudian, ia mengajak Darrel dan Lean keluar dari kedai, memimpin jalan ke sudut kota yang lebih sepi.Mereka berjalan melewati gang-gang sempit yang berbau lembab, udara malam di ibu kota terasa dingin. Lingkungan di sekitar mereka mulai berubah. Bangunan-bangunan megah yang biasa ditemukan di pusat kota berganti menjadi rumah-rumah tua yang terlihat kusam dan rusak."Jadi," Lean membuka percakapan, "bagaimana kau bisa tahu tentang tempat ini? Rasanya aneh seorang Elf seperti kau tahu detail kota manusia seperti ini."Cilera menoleh sekilas, senyum tipis terlukis di wajahnya. "Aku pernah tinggal di sini untuk sementara waktu. Kau akan terkejut betapa banyak hal yang bisa kau pelajari ketika kau harus bertahan hidup."Darrel, yang berjalan di belakang mereka, memperhatikan dengan seksama. "Tinggal di sini? Itu cukup menarik. Apa ini ada hubungannya dengan temanmu yang kau cari?
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si