Makhluk itu menggeram lebih keras, suaranya mengguncang dinding gua hingga batuan kecil berjatuhan. Naga itu mengumpulkan kekuatan untuk menyerang dan tanpa peringatan, ia meluncur ke arah Darrel dengan kecepatan luar biasa. Meski tubuhnya dililit rantai hitam dan luka-luka yang mengeluarkan aura kegelapan, itu sama sekali tidak membatasi gerakannya. Sebaliknya, aura gelap yang memancar dari tubuhnya justru membuatnya semakin menakutkan, seperti seekor predator ganas yang tak kenal lelah. Darrel mengeratkan genggaman pada pedangnya, bersiap menghadapi serangan yang datang.“Darrel, hati-hati!” seru Lean, suaranya memecah kepanikan di antara timnya yang berlindung di balik batu besar.Semburan energi hitam keluar dari mulut naga, menghancurkan bebatuan di sepanjang jalur serangnya. Ia mencengkeram pedangnya lebih erat, menyiapkan diri menghadapi serangan itu dan menjejakkan kaki dengan kuat di lantai gua, memusatkan kekuatan Drakonis di tubuhnya.Darrel menghindar dengan lompatan
Dengan percaya diri, Jose melangkah maju, pedang besarnya berkilauan dalam cahaya redup, diikuti oleh teman-temannya yang berdiri tegap di belakangnya. Ia menatap Darrel dengan serius, wajahnya penuh tekad."Darrel, serahkan ini pada kami. Kau sudah berjuang cukup keras. Kami akan mengatasi yang ini," kata Jose mantap, suaranya terdengar seperti perintah tetapi juga penuh rasa hormat.Lean mengangguk setuju, menambahkan, "Benar, kau harus istirahat. Biarkan kami yang menangani mereka."Darrel menatap teman-temannya sejenak, terdiam oleh semangat mereka. Ia sadar, apa yang mereka katakan benar. Tubuhnya masih lelah setelah pertempuran dengan naga terkutuk itu. Darrel menghela napas panjang, ia mengangguk perlahan."Baiklah," jawab Darrel dengan nada berat. "Aku percayakan pada kalian. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri dan hati-hatilah."Ia melangkah mundur, bersandar pada dinding gua, matanya tetap waspada mengamati situasi.Jose mencengkeram gagang pedangnya lebih erat, aur
Setelah berhasil mendapatkan bendera hitam, Darrel dan timnya memutuskan untuk istirahat sejenak di dalam gua sebelum melanjutkan perjalanan. Keheningan gua yang hanya dipecah oleh bunyi napas mereka perlahan terasa lebih menenangkan. Namun, perhatian Darrel tertuju pada bagian dinding gua yang tampak berbeda. Lapisan tipis batu yang pecah akibat guncangan sebelumnya memperlihatkan lorong tersembunyi di baliknya. “Lihat ini,” Darrel memanggil teman-temannya sambil menyorotkan obor ke arah lorong. “Sepertinya ada jalan lain di balik sini. Mari periksa.” “Lorong tersembunyi?” Jose mengangkat alisnya. “Mungkin ada sesuatu yang menarik di dalam sana.” Lean melangkah maju, memeriksa batu-batu yang runtuh. “Sepertinya cukup aman. Aku setuju dengan Darrel, kita harus melihat apa yang ada di dalam.” Mereka pun memutuskan untuk menjelajah lorong itu. Jalan setapak yang sempit membawa mereka ke sebuah ruangan kecil, tetapi isinya membuat mereka semua tercengang. Tumpukan emas dan
Dims berlari ke arah gerbang dengan wajah penuh kecemasan. Tepat saat dia mendekati gerbang utama, dia melihat dua sosok yang sangat dikenalnya: Darrel dan Lean. Darrel berjalan tertatih-tatih dengan wajah pucat, tubuhnya terlihat seperti hampir tidak sanggup berdiri. Lean menopang bahunya dengan erat, memastikan temannya tetap tegak. “Kalian!” seru Dims, suaranya bergetar antara lega dan khawatir. “Kalian berhasil!” Darrel tersenyum kecil, meskipun matanya tampak lelah. “Tentu saja. Aku bilang kita semua akan keluar dari sana hidup-hidup, kan?” Dims menghela napas lega, lalu memukul bahu Lean dengan lembut. “Bagus sekali, Lean. Tanpamu, dia pasti tidak akan kembali dengan selamat.” Lean mengangguk dengan sedikit senyuman. “Dia keras kepala, tapi aku tidak akan membiarkannya begitu saja.” Lissa menghampiri mereka dengan langkah cepat, wajahnya mencerminkan rasa lega yang mendalam. “Kalian benar-benar membuat kami cemas! Apa kau gila, Darrel? Melawan monster sebanyak itu sendir
Di sebuah ruangan di Akademi Kekaisaran, cahaya lilin redup menerangi sosok Frey Han Rollock. Pemuda pirang itu duduk di kursi empuk dengan sikap santai namun angkuh, kaki kanannya diangkat ke atas meja kayu yang penuh dengan buku dan dokumen berserakan. Dua pemuda lainnya berdiri tak jauh di dekatnya, membungkukkan kepala layaknya bawahan setia. Suara derit pintu memecah keheningan, diikuti langkah kaki yang ragu.Sebastian Vandirc masuk, wajahnya tegang. Dia langsung menundukkan kepala dengan penuh hormat. "Tuan Frey, saya mohon maaf… rencana nya gagal. Dan... keponakan saya, Andrew, telah menghilang sejak kompetisi."Frey tidak segera merespons. Dia hanya melirik Sebastian dari sudut matanya yang tajam, lalu mengembalikan pandangannya ke buku yang sedang dibacanya. Dia membalikkan halaman dengan tenang sebelum berbicara, suaranya rendah namun menusuk. "Andrew tidak menghilang, Sebastian. Dia mati."Sebastian tertegun. Wajahnya memucat, tubuhnya membeku. "Apa? Tidak mungkin… bag
Hari-hari berlalu dengan tenang di Akademi Kekaisaran. Kelas pemula, yang dulu dihantui oleh tekanan dan penindasan, kini bertransformasi menjadi lingkungan yang damai dan penuh semangat belajar setelah kepergian Sebastian Vandirc.Darrel duduk di kursi pojok ruangan kantin akademi, dikelilingi oleh teman-temannya—Lean, Jose, Dims, dan Lissa. Obrolan santai mereka diselingi tawa kecil, suasana ringan yang terasa baru setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penindasan.“Darrel, kau benar-benar mengubah segalanya,” ujar Jose sambil mengunyah apel yang baru saja dibawanya dari ruang makan. “Kalau bukan karena kau, aku mungkin masih sibuk memikirkan cara menghindari tatapan Sebastian.”Lean menyahut dengan nada bercanda, “Kau harus bersyukur, Jose. Sekarang kita bahkan menjadi perhatian kelas lain.”“Perhatian? Maksudmu tatapan iri itu?” Dims menambahkan sambil tertawa kecil. “Aku hampir lupa bagaimana rasanya menjadi tidak terlihat.”Darrel tersenyum, meskipun matanya memancar
Setelah sesi latihan berakhir, para siswa Akademi Kekaisaran kembali ke asrama mereka untuk beristirahat sebelum menghadiri kelas teori berikutnya. Darrel keluar dari kamar asramanya, mengenakan seragam akademi yang rapi. Dengan tenang, dia berjalan menyusuri koridor panjang, menuju ruang kelas teori yang hari itu membahas sejarah kekaisaran. Namun, langkahnya terhenti sejenak saat di depan matanya muncul seorang perempuan seusianya. Gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang jatuh hingga punggungnya. Matanya tajam namun penuh rasa ingin tahu, menelusuri wajah Darrel dengan intens. Seolah-olah dia sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi dalam diri Darrel. Namun, karena terlalu fokus memperhatikan Darrel, gadis itu tidak menyadari bahwa Lean baru saja keluar dari kamarnya. Tubuh mereka bertabrakan, dan keduanya terjatuh. Buku-buku yang dibawa gadis itu berserakan di atas lantai marmer, sementara Lean terduduk sambil mengerang kecil. “Ah!” seru gadis itu kaget, wa
Setelah itu, sekelompok anak muda itu memutuskan untuk bersantai di taman akademi. Di bawah pohon besar yang rindang, mereka duduk melingkar di atas rumput hijau. Obrolan mereka dipenuhi canda tawa, dari topik-topik kecil hingga cerita konyol tentang hari pertama mereka di akademi.Namun, tiba-tiba Lean meluruskan punggungnya, meletakkan tangan di belakang kepala, dan menatap langit biru. “Aku penasaran,” katanya dengan nada serius. “Sebenarnya dari mana kalian semua berasal?”Dims, yang sedang meregangkan tubuh di atas rumput, menoleh ke arahnya dengan heran. “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah identitas kita di sini dirahasiakan?”Lean mengangkat bahu. “Memang. Tapi sebagai teman, apa salahnya saling berbagi? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang kalian.”Darrel menatap Dims dan Jose bergantian. “Aku pikir. Identitas sejati kita mungkin tak berguna di akademi ini, tapi bukan berarti kita tak bisa saling mengenal lebih dalam.”Jose, yang biasanya pendiam, tiba-tiba angkat bica
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si