Di sebuah ruangan di Akademi Kekaisaran, cahaya lilin redup menerangi sosok Frey Han Rollock. Pemuda pirang itu duduk di kursi empuk dengan sikap santai namun angkuh, kaki kanannya diangkat ke atas meja kayu yang penuh dengan buku dan dokumen berserakan. Dua pemuda lainnya berdiri tak jauh di dekatnya, membungkukkan kepala layaknya bawahan setia. Suara derit pintu memecah keheningan, diikuti langkah kaki yang ragu.Sebastian Vandirc masuk, wajahnya tegang. Dia langsung menundukkan kepala dengan penuh hormat. "Tuan Frey, saya mohon maaf… rencana nya gagal. Dan... keponakan saya, Andrew, telah menghilang sejak kompetisi."Frey tidak segera merespons. Dia hanya melirik Sebastian dari sudut matanya yang tajam, lalu mengembalikan pandangannya ke buku yang sedang dibacanya. Dia membalikkan halaman dengan tenang sebelum berbicara, suaranya rendah namun menusuk. "Andrew tidak menghilang, Sebastian. Dia mati."Sebastian tertegun. Wajahnya memucat, tubuhnya membeku. "Apa? Tidak mungkin… bag
Hari-hari berlalu dengan tenang di Akademi Kekaisaran. Kelas pemula, yang dulu dihantui oleh tekanan dan penindasan, kini bertransformasi menjadi lingkungan yang damai dan penuh semangat belajar setelah kepergian Sebastian Vandirc.Darrel duduk di kursi pojok ruangan kantin akademi, dikelilingi oleh teman-temannya—Lean, Jose, Dims, dan Lissa. Obrolan santai mereka diselingi tawa kecil, suasana ringan yang terasa baru setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penindasan.“Darrel, kau benar-benar mengubah segalanya,” ujar Jose sambil mengunyah apel yang baru saja dibawanya dari ruang makan. “Kalau bukan karena kau, aku mungkin masih sibuk memikirkan cara menghindari tatapan Sebastian.”Lean menyahut dengan nada bercanda, “Kau harus bersyukur, Jose. Sekarang kita bahkan menjadi perhatian kelas lain.”“Perhatian? Maksudmu tatapan iri itu?” Dims menambahkan sambil tertawa kecil. “Aku hampir lupa bagaimana rasanya menjadi tidak terlihat.”Darrel tersenyum, meskipun matanya memancar
Setelah sesi latihan berakhir, para siswa Akademi Kekaisaran kembali ke asrama mereka untuk beristirahat sebelum menghadiri kelas teori berikutnya. Darrel keluar dari kamar asramanya, mengenakan seragam akademi yang rapi. Dengan tenang, dia berjalan menyusuri koridor panjang, menuju ruang kelas teori yang hari itu membahas sejarah kekaisaran. Namun, langkahnya terhenti sejenak saat di depan matanya muncul seorang perempuan seusianya. Gadis itu memiliki rambut hitam panjang yang jatuh hingga punggungnya. Matanya tajam namun penuh rasa ingin tahu, menelusuri wajah Darrel dengan intens. Seolah-olah dia sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi dalam diri Darrel. Namun, karena terlalu fokus memperhatikan Darrel, gadis itu tidak menyadari bahwa Lean baru saja keluar dari kamarnya. Tubuh mereka bertabrakan, dan keduanya terjatuh. Buku-buku yang dibawa gadis itu berserakan di atas lantai marmer, sementara Lean terduduk sambil mengerang kecil. “Ah!” seru gadis itu kaget, wa
Setelah itu, sekelompok anak muda itu memutuskan untuk bersantai di taman akademi. Di bawah pohon besar yang rindang, mereka duduk melingkar di atas rumput hijau. Obrolan mereka dipenuhi canda tawa, dari topik-topik kecil hingga cerita konyol tentang hari pertama mereka di akademi.Namun, tiba-tiba Lean meluruskan punggungnya, meletakkan tangan di belakang kepala, dan menatap langit biru. “Aku penasaran,” katanya dengan nada serius. “Sebenarnya dari mana kalian semua berasal?”Dims, yang sedang meregangkan tubuh di atas rumput, menoleh ke arahnya dengan heran. “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah identitas kita di sini dirahasiakan?”Lean mengangkat bahu. “Memang. Tapi sebagai teman, apa salahnya saling berbagi? Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang kalian.”Darrel menatap Dims dan Jose bergantian. “Aku pikir. Identitas sejati kita mungkin tak berguna di akademi ini, tapi bukan berarti kita tak bisa saling mengenal lebih dalam.”Jose, yang biasanya pendiam, tiba-tiba angkat bica
Sudah tiga bulan sejak Darrel, Lean, Dims, dan Jose tinggal bersama di asrama mereka. Hubungan mereka semakin erat, bagaikan keluarga kecil di tengah kerasnya dunia dalam akademi. Seperti biasa, asrama mereka berubah menjadi tempat penuh keriuhan setiap kali mereka berkumpul. Lean dengan guyonan khasnya, Dims yang sering memancing tawa dengan cerita anehnya, dan Jose yang meskipun pendiam, selalu menambahkan komentar tajam yang membuat suasana semakin hangat.Hari-hari mereka berlalu dalam rutinitas: kelas teori, latihan fisik, hingga pekerjaan rumah yang seolah tiada habisnya. Namun, sebuah pengumuman dari Profesor Aldrin di ruang kelas membuat suasana berubah drastis.“Perhatian semuanya!” Profesor Aldrin berdiri di depan kelas dengan ekspresi serius. “Dalam tiga hari, kalian akan menghadapi Ujian Tengah Semester. Seperti biasa, ujian ini akan dibagi menjadi dua bagian: teori dan praktik. Kalian akan diuji bukan hanya dari apa yang kalian pelajari di kelas, tapi juga dari kemampu
Beberapa hari setelah persiapan intensif, Darrel dan teman-temannya kembali ke kelas dengan suasana hati campur aduk. Latihan dan belajar tanpa henti membuat mereka lebih percaya diri, meskipun tekanan tetap terasa. Pagi itu, ruangan dipenuhi siswa dengan wajah tegang.Profesor Aldrin berdiri di depan kelas, tangannya memegang setumpuk kertas ujian. Dengan suaranya yang khas, ia mengumumkan, “Hari ini, kalian akan menghadapi ujian teori. Soal-soal ini mencakup semua materi yang sudah kita bahas sejak awal semester. Saya harap kalian sudah mempersiapkan diri.”Kertas ujian dibagikan satu per satu. Ruangan yang tadinya dipenuhi bisik-bisik cemas kini hening, hanya suara kertas dan goresan pena yang terdengar.Darrel duduk dengan tenang, tatapannya fokus pada soal-soal yang ada di depannya. Lean, di sebelahnya, tersenyum kecil, terlihat seperti menikmati tantangan ini. Dims, dengan wajah penuh kerutan, memutar pena di tangannya, tampak bingung dengan beberapa soal. Jose menatap serius
Tiba-tiba seorang gadis angkat bicara, dengan tatapan serius ia langsung meraik perhatian dan membuat suasana kembali sunyi.Semua orang menoleh ke arah gadis itu. Darrel memandangnya dengan rasa familiar. Setelah beberapa saat, ia mengingat siapa gadis itu—sosok yang pernah menabrak Lean di koridor beberapa waktu lalu. Rambut hitam panjang gadis itu tergerai rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Marcel.“Apa yang ingin kau katakan, Yurie?” tanya Profesor Aldrin dengan nada penasaran.Yurie melangkah maju, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan. “Profesor, saya melihat sesuatu saat ujian berlangsung. Saya tidak ingin masalah ini berlanjut, dan saya rasa ini saat yang tepat untuk berbicara.”Marcel tampak gelisah, wajahnya yang sebelumnya penuh percaya diri kini menunjukkan tanda-tanda ketegangan. “Apa maksudmu, Yurie?”Yurie menatap Marcel dengan tajam. “Aku melihat Lia mengambil sesuatu dari bawah kursi Lean saat ujian berlangsung. Dan aku melihat Marcel memeri
Keesokan harinya, mentari pagi akhirnya berhasil menerobos sisa-sisa awan kelabu, membawa cahaya cerah yang menyelimuti seluruh akademi. Para siswa telah berkumpul di lapangan latihan, wajah mereka mencerminkan campuran antusiasme dan ketegangan.Profesor Aldrin berdiri di depan mereka, dengan postur tegas seperti biasanya. Di sebelahnya, sebuah papan besar menampilkan nama-nama siswa yang akan bertarung satu lawan satu, dipasangkan secara acak."Selamat pagi, siswa-siswa hebat Akademi Kekaisaran Rafencroft!" seru Profesor Aldrin dengan suara lantang, menarik perhatian semua orang. "Hari ini, kalian akan menghadapi ujian praktek bertarung. Tunjukkan kemampuan terbaik kalian, karena ujian ini tak dinilai hanya dari menang atau kalah. Ingat, saya akan menilai berdasarkan teknik, strategi, dan keberanian kalian!"Siswa-siswa mulai saling melirik, beberapa tampak gugup sementara yang lain tak sabar untuk memulai."Aku harap aku tidak harus bertarung serius denganmu, Lean," gumam Rem pela
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si