Seolah mendapatkan tujuan baru, Allein pun mulai melangkahkan kakinya menuju area dalam pulau. Masuk kedalam hutan yang ditinggali para monster dan meninggalkan pantai yang menjadi saksi kebangkitannya. Dia optimis bisa dengan cepat meningkatkan kekuatannya, mengingat tipe kekuatannya sama seperti di kehidupannya dulu yakni sihir hitam.
Allein pernah menjadi penyihir hitam terkuat. Kini dengan pengetahuan dan pengalamannya, dia optimis tak butuh waktu yang lama untuknya meraih kembali puncak kekuatan tertingginya lagi.
Allein pun terus berjalan memasuki area hutan ini semakin dalam. Tetapi dalam pikirannya masih banyak pertanyaan mengenai sihir hitam yang mana itu sangat menganggunya dan menyebabkan dia berjalan sambil terus merenung.
"Terlalu jahat jika kubilang ini keberuntunganku, karena aku hidup kembali dengan tubuh yang cocok dengan sihir hitam. Allein Springtopia sangat menderita, dia terlalu awam terhadap sihir hitam sehingga dia tidak bisa mengontrol sihir hitam yang sudah menjadi bagian tubuhnya. Akibatnya fatal, sihir hitam itu berbalik merusak tubuhnya dari dalam. Hmmmm kemungkinan hal itu juga yang menjadi penyebab kematiannya," gumam Allein sambil terus berjalan.
"Ketika aku memasuki tubuh ini hal yang kurasakan pertama kali adalah rasa sakit di seluruh bagian tubuhku, namun aku langsung duduk dan berkonsentrasi mencoba menyeimbangkannya dengan sebagian membuang energi sihir itu keluar dari tubuhku. Sungguh, seluruh tubuhku merasakan sakit yang luar biasa tapi karena pengalamanku dulu aku berhasil melewati prosesnya."
Rrroooaaaarrrr!
Tiba-tiba sebuah suara terdengar, menyadarkan Allein dari perenungannya.
Tiga monster serigala muncul dari balik pohon yang tepat berada di depan mata Allein. Monster itu lumayan besar dengan tinggi kira kira sejajar dengan lututnya tapi hal yang membuat Allein kini waspada bukan ukuran tubuhnya melainkan ke tiga serigala berwarna abu-abu itu terlihat sangat lapar karena mulutnya selalu terbuka dan air liurnya terus menetes keluar.
Karena sudah merasa sangat lapar, ketiga monster serigala itu langsung berlari menyerang Allein secara bersamaan. Allein seolah menyambut serangan itu, dia tak banyak membuang waktu dan langsung mengeluarkan sihir hitamnya.
"Shadow hand!"
Seketika tangan tangan berwarna hitam langsung muncul dari bawah tanah dan langsung mencengkram serta menahan ke tiga serigala yang sedang berlari tersebut. Para serigala itu tampak kesulitan melepaskan cengkraman tangan hitam yang mendadak muncul dan menahan mereka tepat beberapa langkah di depan Allein.
Tangan hitam itu juga mulai mencekik leher dari masing-masing serigala membuat para serigala itu kehabisan nafas sampai akhirnya mati.
"Baiklah saatnya aku menyerap energi kalian, rasakan sihir hitamku ini!'' seru Allein.
''Black hole!"
Seketika itu lubang hitam kini muncul di bawah para serigala. Tangan hitam yang sedang mencengkram tadi kini menarik ketiga serigala itu masuk kedalam lubang hitam.
Craaattt craatt!
Darah merah segar pun menyembur seperti air mancur dari lubang hitam tepat setelah ketiga serigala itu ditarik masuk.
"Ah luar biasa inilah salah satu keindahan dari sihir hitam," ucap Allein. Energi kehidupan milik serigala yang mati itu pun kini mulai diserapnya dan mulai masuk ke dalam inti mana miliknya.
Sebenarnya teknik yang Allein beri nama black hole itu terlalu sadis karena tubuh monster yang diserapnya akan langsung meledak ketika masuk kedalam lubang hitam dan energi kehidupan dari monster tersebut akan langsung terserap oleh Allein yang merupakan penggunanya.
Dengan begitu inti mana milik Allein akan semakin kuat lebih cepat. Umumnya para penyihir ataupun kelas petarung lainnya meningkatkan kekuatan internalnya dengan menyerap batu sihir yang terdapat dari tubuh monster yang sudah terbunuh.
Namun, penyihir hitam memiliki keuntungan, mereka tidak harus mengeluarkan batu sihir yang ada dalam tubuh monster. Penyihir hitam bisa langsung menyerapnya dengan tubuh monster itu sekaligus. Tentu saja hal ini sangat efisien karena bisa mempercepat waktu penyerapan. Karena proses penyerapan ini berbeda dengan kelas petarung lain, kelas petarung yang lain pun menyebut proses ini dengan ‘menyerap energi kehidupan’.
Setelah dirasa energi kehidupannya sudah terserap semua, Allein pun melanjutkan perjalanannya. Tak terasa dia sudah semakin dalam memasuki area hutan ini. Namun, ada sebuah kondisi yang mau tidak mau membuat Allien menghentikan langkahnya, hari sudah mulai gelap dengan kekuatannya sekarang dia hanya akan menjadi santapan monster yang akan berburu di malam hari.
Dia pun menoleh sekitar, sepertinya tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah pohon maple besar dan beberapa pohon apel juga di dekatnya. Allein akhirnya memutuskan untuk makan beberapa buah apel itu untuk makan malamnya hari ini mengingat dia belum makan sama sekali setelah hidup kembali.
"Ah luar biasa apel ini manis sekali, jika Walter tahu ada apel manis ini dia pasti akan memetik semua apel ini dan membawanya sebagai bekal untuk dirinya sendiri." Dengan wajah penuh nostalgia Allein terus memandangi buah apel yang sudah berada dalam genggaman tangannya.
Setelah selesai memakan apel-apel tersebut Allein kemudian membaringkan tubuhnya tepat di bawah pohon maple yang tidak jauh dari pohon apel tersebut. Di bawah dedaunan berwarna kuning kemerahan yang merupakan ciri khas pohon maple itu matanya menatap langit yang kini sudah gelap. Bintang begitu bersinar terang malam ini, sungguh sesuatu yang membuat Allein merasa terpana.
Tak lama setelah itu matanya terpejam, Allein tertidur di bawah pohon maple yang besar beralaskan tanah dan daun maple yang sudah mengering. Dia tidak menyalakan api unggun untuk mengurangi rasa dinginnya malam ini. Bukan tanpa alasan, Allein takut nyala api akan menarik perhatian para monster yang akan berburu malam hari ini.
Rooooarrr roaaaarrr! "Ah sial, berisik sekali monster sialan!'' teriak Allein yang terbangun dari tidurnya dengan wajah yang kusut. Suara para monster di pagi hari ini memang sangat berisik, terlebih lagi suara tersebut terdengar dari berbagai arah seolah sedang bersahutan. Setelah terbangun dengan cara yang tidak nyaman, ekspresi Allein kini langsung tiba-tiba berubah menjadi waspada. Dia menyadari ada monster yang sedang mengawasinya dari balik pohon yang tak jauh dari tempatnya. "Keluarlah!" Allein berseru. "Grrr grrrr." Benar saja kini sesosok ogre hijau tinggi besar muncul dari balik pohon, matanya tajam memandangi Allein seolah-olah makanan untuk sarapannya pagi hari ini. Sebuah pedang yang terbuat dari tulang monster pun tergenggam di tangan kanannya. "Ini akan merepotkan." Setelah melihat ogre hijau itu Allein pun langsung berdiri dan mundur beberapa langkah. Dia sadar ogre tersebut sedang dalam keadaan lapar, menurut pengalama
Hari sudah semakin menjelang siang, matahari yang bersinar itu kini tepat berada di atas kepala Allein. Meskipun ini area hutan dengan pohon yang rindang tapi tetap saja cuaca terasa sangat panas. Tetapi itu tidak menghentikan perjalannya, dia terus berjalan mengabaikan teriknya cahaya matahari. Setelah menyerap energi kehidupan milik ogre hijau tadi, staminanya bertambah lumayan besar. Allein merasakan dengan jelas perubahan stamina di tubuh barunya itu, sekarang dia juga lebih percaya diri apabila harus berhadapan melawan ogre hijau lagi. Bruuussh bruuussh! Tiba-tiba suara terdengar, Allein yang sedang berjalan pun langsung mencari sumber suara tersebut. Tak lama setelah beberapa langkah dia berjalan menuju sumber suara itu, ternyata ada sebuah sungai dangkal yang penuh dengan bebatuan. Sepertinya beberapa kelinci bertanduk putih sedang meminum air di sungai. Melihat kedatangan Allein sontak saja membuat para kelinci itu waspada. Kini hampir semuany
Allein kini sedang fokus, matanya terus memandangi setiap bagian dari pedang perak yang mengkilap dan terlihat sangat mewah itu. Berat dan panjang dari pedang itu sangatlah proporsional, setidaknya itulah yang di rasakan Allein saat menggenggamnya.Dia langsung menyadari jika ini adalah pedang yang berkualitas. "Siapa manusia yang sudah jadi kerangka ini?" Allein merasakan kebingungan sambil menatap kerangka manusia tersebut dengan penuh rasa penasaran.''Aku tahu bahwa bukan orang sembarangan yang bisa mempunyai pedang seperti ini. Kualitas pedang ini hampir sama dengan kualitas pedang buatan para dwarf untuk para ksatria di aliansi pada saat perang melawan iblis dulu.''Rasa penasaran kini terus mengisi kepalanya. Pedang perak yang kini di genggamnya, identitas tengkorak manusia dan apa itu ksatria suci, semuanya menjadi tanda tanya untuk Allein.''Haaaaahh, akan kucari tahu nanti saja ketika aku sudah kembali ke benua Skoupidia. Untuk sekarang aku akan
Para ogre hijau itu tampak waspada dengan kemunculan Allein. Hal itu karena mereka melihat salah satu pedang tulang milik salah satu kawan mereka yang kini berada di genggaman tangan Allein. Para ogre hijau mulai mengambil posisi bersiap. Mereka saling menatap satu sama lain, seolah sedang merencanakan sesuatu untuk membunuh Allein. "Shadow aura!" Namun, sebelum mata mereka kembali menatap ke arah musuhnya. Allein langsung berlari menyerang dengan kecepatan penuh ke arah ogre hijau itu. Kali ini dia langsung menggunakan shadow aura untuk menguatkan fisiknya. Para ogre hijau tersebut langsung kaget melihat Allein yang berlari dengan kecepatan tinggi untuk menyerang mereka. Salah satu ogre hijau pun dengan refleks berlari menyambut Allein. Ogre hijau itu sepertinya berencana akan menghadang serta menghentikan Allein yang sedang berlari. Tangan besar ogre hijau pun mulai terkepal, dia te
Melihat Allein yang sudah tersudutkan, ogre hijau itu terus menyerang secara bertubi-tubi. Kini setiap pukulan yang dilancarkan ogre hijau tentu menjadi semakin menyulitkannya. Benar saja, pukulan yang semakin bertubi-tubi itu mulai membuat Allein tidak bisa mempertahankan pijakannya. Tubuhnya kini benar-benar tersudutkan, bahunya sudah bersandar pada pohon dibelakangnya. Dengan posisinya sekarang Allein sangat kesulitan, dia tidak punya pijakan yang cukup untuk melakukan gerakan berpedangnya dengan baik. Kemungkinan hanya dengan beberapa pukulan lagi dari sang ogre hijau maka Allein benar-benar tidak bisa menangkisnya lagi. “Cih! aku tidak punya pilihan lain. Shadowblade!!” Sambil menggertakkan giginya, Allein mengeluarkan salah satu teknik sihir miliknya dari kehidupan sebelumnya. Selain menyelimuti tubuhnya, kali ini sihir hitam juga menyelimuti pedang tulang yang digenggamnya. Perlahan wa
Allein berdiri mematung di bawah bukit kecil sambil menatap pedang tulang yang kini sudah patah. Sudah enam bulan berlalu sejak ia berhasil membunuh ketiga ogre hijau, yang secara bersamaan dengan momen pertama kali ia menggunakan shadow blade. Tentu saja dalam enam bulan ini dia terus menerus melawan monster dan melatih teknik shadow blade beserta dengan teknik berpedang maupun teknik sihir miliknya yang lain. Tak terlewat meski satu hari pun ia terus berlatih. Sebenarnya Allein sudah memprediksi pedang tulang itu akan cepat rusak, karena material pedang yang cocok untuk penyihir hitam seperti dirinya hanyalah adamantium. Jika pedang tersebut bukan dari material adamantium maka akan cepat rusak, karena sihir hitam memiliki sifat korosif terhadap material apapun selain adamantium. "Pedang hitamku apakah masih ada saat ini? Dengan kekuatanku sekarang aku belum bisa memanggilnya, tapi kuharap pedang itu masih
Melihat raja ogre yang sudah pasrah dalam cengkraman shadow hand, Allein tanpa ragu langsung menusukkan pedang peraknya ke arah dada raja ogre.Tusukan itu tepat mengenai jantung sang raja ogre. Setelah dirasa raja ogre sudah mati, Allein langsung mencabut pedangnya kembali dan melepaskan cengkraman shadow hand. Bruuk! Tubuh raja ogre langsung jatuh ke tanah. black hole langsung muncul dan menyedot tubuh raja ogre. Tapi tak ada pancuran darah seperti biasanya. Kali ini Allein langsung duduk bersila di depan black hole yang masih terbuka. Ia memejamkan matanya seolah sedang berkonsentrasi akan sesuatu. Beberapa menit kemudian Allein membuka matanya dan langsung berdiri kembali. "Bangkitlah!" Dia berteriak cukup keras ke arah black hole yang masih tetap terbuka. Raja ogre yang sudah mati tadi itu kini secara perlahan keluar. "Grrrrrrr." Suara geraman terdengar dari mulut
Suhu di rumah kayu terasa sedikit panas dan udara terasa menyesakkan. Hawa membunuh terasa hampir ke semua sudut ruangan. Allein marah besar saat ini, dia tidak pernah menduga kejadian yang tragis bisa menimpa kawan baiknya. Semakin dalam dia memikirkannya kepalanya semakin terasa panas dan hatinya terasa sakit. "Fyuuuhhhh...." Udara keluar dari mulutnya. Allein mengambil tarikan nafas yang dalam, mencoba menurunkan emosinya. Dia kembali melihat sekeliling ruangan. Namun, tak ada yang membuatnya tertarik lagi. Daging panggang yang sebelumnya terlihat lezat pun kini seolah seperti makanan basi. Allein sudah kehilangan selera makannya. Dia akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah kayu ini, mencoba mencari udara segar yang setidaknya bisa sedikit menjernihkan pikirannya. Setelah keluar dari rumah kayu, Allein langsung berjalan ke bagian tengah markas ini. Yang kebetulan juga di tengah markas
Meskipun matahari belum bersinar terang tapi Allein terlihat cukup bersemangat menunggu Killian di depan penginapan. Selain untuk menunggu Killian, ada alasan lain mengapa dirinya sampai menunggu pagi-pagi sekali seperti ini. Alasannya sederhana, ia ingin sedikit mengamati suasana kota kecil ini di pagi hari. Di hadapannya kini sudah banyak orang-orang yang memulai aktivitasnya. Orang-orang terlihat mulai silih berganti mengangkut gandum dan beberapa tanaman obat, ada juga yang sedang membersihkan kereta bicorn dan memberi makan bicorn. Selain itu, Ada pula beberapa kereta bicorn yang sudah berlalu lalang di hadapannya. Kebanyakan dari mereka adalah manusia, adapun elf dan dwarf jumlahnya bisa di bilang sedikit. Dan kebanyakan dari mereka bukanlah kelas petarung, setidaknya begitulah yang Allein rasakan lewat instingnya. Dengan melihat pemandangan ini, tentu membuat Allein bisa mengambil kesimpulan jika kota kecil ini cukup aman. Waktu pun berlalu, suasana mulai semakin ramai,
Ada banyak orang-orang yang sedang makan atau pun mengobrol di dalam penginapan ini. Allein yang kini sudah masuk penginapan mulai merasa agak canggung. Sudah delapan tahun lamanya ia hidup sendirian di sebuah pulau, meskipun ia pernah berinteraksi dengan beberapa orang sebelum sampai disini, nyatanya ia agak canggung ketika melihat puluhan orang secara sekaligus. “Tuan, apa anda akan menginap disini?” Tiba-tiba seorang wanita elf menyapanya. Sepertinya wanita elf ini adalah salah satu pegawai penginapan. Terlihat dari pakaian maid yang dia kenakan dan Allein juga bisa merasakan lewat instingnya jika wanita elf ini bukanlah seorang kelas petarung. “Ya ... aku akan menginap disini,” jawab Allein. Mendengar hal tersebut, wanita elf itu pun menyuruh Allein untuk pergi ke meja reservasi yang ada di samping kiri ruangan ini. Allein pun segera pergi ke meja tersebut dan di sana ia bertemu dengan seorang pria muda yang terlihat seumuran dengannya. “Tuan, apa yang anda butuhkan?” Pria
Sudah satu hari berlalu sejak Allein meninggalkan rumah pria tua itu. Sedari kemarin ia terus melangkahkan kakinya menyusuri hutan dan bukit. Dedauan demi dedaunan yang berwarna kuning keemasan yang ia lihat selama perjalanan terus memberikannya perasaan nostalgia. Ia tentu sangat familiar dengan wilayah paling barat di Benua Skoupidia ini. Dua ribu tahun lalu ia pernah berpetualang ke wilayah ini bersama dengan ketiga sahabatnya. Namun, ada perbedaan besar dengan dua ribu tahun lalu yaitu tak begitu banyak monster yang ia temui. Memang ada beberapa monster yang sempat menyerangnya, namun jika dibandingkan dengan dua ribu tahun lalu jumlahnya jauh lebih sedikit. Entah apa alasannya, Allein juga tidak mengetahuinya. Segala sesuatu sudah berubah, tak bisa dipungkiri jika para monster pun begitu. Allein kini berhenti sejenak, di depan matanya ada perbukitan yang cukup tinggi. Ia pun kembali melihat peta kerajaan Falltopia pemberian pria tua. “Hmm ... di balik perbukitan ini ada
Hari pun berganti. Matahari hampir berada di tengah-tengah langit yang berwarna biru. Itulah pemandangan yang Allein lihat ketika dia mulai membuka matanya. “Sepertinya ini sudah siang hari,” ucapnya sambil menggosok kedua matanya. Akhir-akhir ini Allein memang memiliki kebiasaan untuk bangun siang hari. Ia pun mulai melihat sekeliling dan sama seperti kemarin suasana disini bisa dibilang sepi. “Bocah, bagaimana tidurmu?” ucap pria tua seraya keluar dari rumah kayu. Nampaknya alasan pria tua itu keluar karena mendengar ucapannya tadi. “Tidurku cukup nyenyak ...,” jawab Allein. Pria tua itu kemudian mendekat ke arahnya sambil memberikan dua buah gulungan yang terbuat dari kulit monster. “Ambillah ... ini adalah surat rekomendasi dan peta kerajaan Falltopia. Untuk surat rekomendasi ini kau jangan memberikannya kepada siapapun selain kepada temanku.” “Baiklah ....” Allein langsung menyimpan gulungan surat rekomendasi itu kedalam salah satu saku bajunya karena memang ukurannya ag
Melihat daging kerang api yang sudah hampir matang, pria tua itu tiba-tiba mengeluarkan sebuah bumbu dari cincin penyimpanan miliknya dan kemudian menaburkannya ke atas daging kerang api. “Apa yang anda taburkan?” tanya Allein yang penasaran melihat tingkah pria tua tersebut. “Ini adalah bumbu rahasia buatanku. Percayalah setelah ditaburi oleh bumbu rahasiaku ini makanan akan jauh lebih enak!” jawab pria tua itu dengan wajah penuh percaya diri. “Jadi begitu ....” Allein sama sekali tak tahu bumbu rahasia apa yang pria tua itu taburkan. Ia pun memilih diam dan tak bertanya lebih lanjut, tetapi ia menjadi sangat penasaran dengan rasa dagi kerang ini ketika sudah matang nanti. Beberapa menit pun berlalu, dan daging kerang itu nampaknya sudah matang. Allein yang sudah sangat lapar pun langsung mencoba memakannya. Ketika daging itu masuk kedalam mulutnya, rasanya diluar dugaan. Rasa daging kerang itu jauh leih enak dibanding dengan daging kerang yang pernah ia makan dua ribu tahun
Satu hari kemudian. “Itu kan?!” Ada sedikit kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah Allein. Alasannya sederhana, daratan sudah mulai terlihat dengan kedua matanya. Tanpa menunggu lama, ia pun segera memerintahkan Bran agar berhenti. Ia pun langsung mengeluarkan perahu pemberian Tassia. Perahu pun keluar dari cincin penyimpanan dan kemudian jatuh di atas lautan. Tanpa menunggu waktu lama, Allein langsung melompat dari punggung Bran ke atas perahu tersebut, dan setelah itu ia pun langsung mengembalikan Bran ke dalam bayangannya. Hal ini ia lakukan agar tidak menarik perhatian. Ia merasa akan sedikit merepotkan jika ada seseorang yang melihat undead Wyvern. Ia pun kembali memasukan batu mana ke dalam alat sihir yang ada di perahu. Sebelumnya ia memang mencabut batu mana tersebut saat memutuskan untuk menunggangi Bran. Perahu pun kembali melaju. Pantai semakin terlihat jelas. Allein terus melihat ke arah sana. Dirinya sudah tak sabar ingin segera menginjakan kakinya di pantai
Sudah dua hari sejak Allein meninggalkan pulau tersebut, kini dirinya sudah tak menggunakan perahu yang Tassia berikan Alasannya sederhana yakni perahu tersebut terlalu lambat. Dalam dua hari kebelakang ia sudah mengamati baik-baik kecepatan dari perahu yang Tassia berikan, dan berdasarkan pengamatannya itu setidaknya akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai ke Benua Skoupidia. Maka dari itu, ia pun memilih terbang menunggangi Bran dan memasukan perahu tersebut ke dalam cincin penyimpanan miliknya. Ia juga sudah berencana untuk memangkas waktu perjalan. Selain sudah sangat penasaran dengan Kerajaan Falltopia yang akan menjadi tujuannya, ia juga mulai merasa bosan dan lapar Ia sedikit menyesal karena tidak membawa persediaan makanan yang banyak. Selama dua hari ini pun ia kesulitan mencari makanan. Memang ada ikan dari lautan, tapi tak ada pulau kecil yang ia temukan sama sekali untuk tempat memasaknya. Allein memang bisa memasaknya dengan api hitam yang bisa ia gunak
Setelah mereka mendeklarasikan pertemanan tersebut, Tassia pun mengeluarkan sebuah perahu dari cincin penyimpanannya. Perahu tersebut tidak begitu besar, sehingga bisa masuk dalam cincin penyimapanan milik Tassia. Beberapa hari yang lalu Tassia menceritakan jika dirinya pergi ke pulau ini dengan menggunakan dua perahu. Satu perahu memiliki kapasitas untuk dua sampai empat orang. Dan semalam Wanita elf itu bilang akan memberikan satu perahu kepada Allein hari ini. Allein hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Ia sebenarnya tak menyangka jika wanita elf ini akan benar-benar memberikannya sebuah perahu. Tassia membalas senyumannya dan setelah itu langsung mengeluarkan sebuah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa dari cincin penyimpanannya. “Lein, ambilah ini.” Dengan wajah yang cukup canggung Allein pun menerima batu tersebut dari Tassia. Batu yang diberikan Tassia tersebut adalah mana stone atau batu mana. Tassia sudah menjelaskan pada Allein semalam jika perahu yang
Trangg trangg trangg! Suara benturan dari kedua senjata terus terdengar di pagi hari ini. Allein yang baru saja membuka matanya pun melihat sekeliling. Ternyata itu adalah Derald dan Neiryl yang sedang berlatih. “Seperti biasa anda selalu yang terakhir bangun,” ucap Tassia. Wanita elf itu duduk persis di sebelahnya. “Haha, ya begitulah. Derald dan Neiryl sepertinya semakin rajin berlatih ....” “Ya, mereka berdua termotivasi oleh cerita anda.” Allein hanya tersenyum, ia tak menyangka jika pengalamannya tentang pulau ini yang ia ceritakan beberapa hari yang lalu akan membuat mereka berdua begitu bersemangat. Sudah hampir satu minggu dirinya bertemu dengan keempat orang tersebut. Dan selama beberapa hari kebelakang ia dan keempat orang tersebut saling berbagi informasi. Singkatnya, dalam beberapa hari kebelakang ia mendapat banyak informasi mengenai benua Skoupidia. Informasi yang ia dapatkan kebanyakan hanya pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada di Benua Skoupidia, seperti at