Share

6. Kembali Terancam

Sejak Ethan membawanya ke tempat ini dua jam yang lalu, Cara masih belum menemukan cara untuk keluar dari tempat ini. Setelah pulang dari rumah sakit, Ethan membawanya ke penthouse pria itu –dilihat dari koleksi pakaian, tas, sepatu, jam tangan, dan dasi yang ada di ruang penyimpanan, tentu saja Ethan tinggal di tempat ini-. Salah satu bangunan yang berada di bawah naungan Anthony Group. Yang pasti dengan pengamanan tingkat tinggi.

Satu-satunya jalan keluar hanya bisa menggunakan kartu akses yang dipegang oleh Ethan. Pun begitu, ada orang-orang yang bekerja di sini yang bisa keluar masuk tempat ini. Hanya saja, semuanya terlalu setia sehingga tak ada satu pun yang percaya dengan omong kosong tentang sakit perut atau kepalanya yang pusing dan ia sangat membutuhkan bantuan dokter karena luka di kakinya terasa nyeri dan tak tertahankan. Semua sandiwaranya hanya dijawab dengan jawaban yang sama. ‘Tuan Ethan melarang Anda keluar. Meskipun –maaf- Anda sekarat.’

Cara benar-benar putus asa. Setengah membanting tubuhnya di sofa panjang. menatap lift yang ada di seberang ruangan dengan tanpa daya. Ia kembali terkurung. Hanya saja, rumah Ethan masih memiliki banyak celah baginya untuk berusaha kabur. Pun jika itu harus memanjat pagar, masuk ke dalam bagasi mobil, atau menyamar menjadi pelayan di rumah pria itu.

Satu helaan napas tanpa daya lolos dari celah bibirnya. Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang luas tersebut. Ia merasa sendirian, tapi ada banyak mata yang mengawasinya.

Suara lift berdenting yang tiba-tiba terdengar membuat napas Cara tertahan. Seluruh tubuhnya menegang menatap pintu lift yang bergeser. Dan Cara tak tahu apakah harus merasa lega dengan sosok yang berdiri sendirian di dalam lift tersebut bukan Ethan. Melainkan seorang wanita berambut pendek sebahu mengenakan dres tanpa lengan yang panjangnya hanya setengah paha. Berwarna merah maroon yang membuat kulit putih wanita itu terlihat semakin bersinar.

Wanita itu berjalan keluar dengan langkah anggun dan suara heels yang beradu dengan lantai marmer terdengar lembut memecah keheningan.

“Nona Emma?” Seorang pelayan yang entah dari mana datangnya berjalan mendekat dengan wajah tertunduk hormat. Mengulurkan tangan untuk mengambil tas wanita itu. “Maaf, kami belum menyiapkan kamar untuk Anda, tuan Ethan tidak memberitahu kami …”

“Siapa dia?” Langkah Emma terhenti ketika menyadari seseorang yang berdiri di samping sofa panjang. Matanya menyipit, mengamati penampilan Cara dari atas ke bawah dengan penuh keheranan. Terutama ketika melihat perban yang membebat kaki kiri wanita itu. “Pelayan baru?”

Pelayan tersebut menggeleng. “Tuan Ethan …”

“Ethan yang membawanya?” Ujung bibir wanita itu menyeringai. Tak melepaskan pandangan dari Cara yang juga mengamati dirinya. “Sejak kapan?”

“Tadi sore.”

Emma mendengus tipis. Memberikan tasnya pada si pelayan dan berjalan mendekati Cara. Berhenti tepat di depan Cara dengan kedua tangan bersilang dada. “Cara?”

Keterkejutan Cara berubah menjadi tatapan dingin mengenali wanita itu adalah Emma. Salah satu dari orang-orang yang merundungnya di bawah perintah Ethan. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali wanita itu meski sepuluh tahun telah berlalu.

Selain itu, wanita itu adalah mantan kekasih Zevan yang tiba-tiba terobsesi pada Ethan. Dan bagaimana wanita itu ada di sini, tentu saja karena keduanya masih berhubungan, kan?

“Kau kembali?” dengus Emma. Pandangannya bergerak turun ke kaki Cara dan seringainya bergerak lebih tinggi. “Ethan yang melakukannya? Kenapa kau masih keras kepala dan tak tahu diri.”

“Dan kau masih menjengkelkan seperti biasa.”

Emma tertawa kecil. “Ya, satu-satunya hal yang kukuasai memang jadi menjengkelkan siapa pun.”

Cara tak membalas, kembali duduk.

“Hati-hati, Cara.” Emma membeliakkan mata, memasang ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Jika kau menjatuhkan diri sekuat itu, aku cemas sofanya akan rusak. Kau tahu harga sofa ini tak bisa dibandingkan dengan dirimu, kan?”

Wajah Cara seketika merah padam.

“Dan lihatlah pakaian yang kau kenakan? Apakan kalian semiskin itu dalam pelarian sehingga membeli pakaian yang layak saja tidak mampu? Kau mengotori sofaku. Kau tahu harga perawatannya bahkan lebih mahal dibandingkan biaya perawatan tubuhmu untuk seumur hidupmu.”

“Dan rupanya uang sebanyak itu tak cukup untuk membersihkan mulutmu yang kotor, ya?” balas Cara tak kalah menjengkelkannya.

Senyum Emma membeku, tatapannya menajam. Satu tamparan mendarat di pipi Cara. Wajahnya berputar ke samping dengan keras. Dan ketika wanita itu kembali mengangkat kepala, ia membalas tamparan tersebut dengan tamparan yang tak kalah kuatnya.

Mata Emma melotot sempurna. Telapak tangannya memegang pipinya yang memerah. “Beraninya kau menyentuhkan tangan kotormu itu padaku, hah?”

“Bukankah kau yang lebih dulu menyentuh kotoran ini? Seharusnya kau tahu inilah yang akan kau dapatkan.”

Emma menggeram. Ketegangan di antara kedua wanita itu semakin memuncak. Dagu Cara terangkat, sama sekali tak gentar dengan kemarahan Emma yang berhasil membuat pelayan di dekat mereka beringsut ketakutan.

“Ada apa ini?” Suara Ethan menyela di antara keduanya. Berjalan mendekati kedua wanita yang saling bersitegang tersebut. “Emma? Kau di sini?”

“Kau yang membawa wanita kotor ini ke tempat kita?” delik Emma menunjuk kea rah Cara. Kemudian menunjukkan pipinya yang memerah. “Lihatlah apa yang telah berani dia lakukan padaku, Ethan. Dia menyentuhkan tangan kotornya di pipiku,” kesalnya setengah merengek.

Ethan menatap bekas tamparan di wajah Emma sejenak dan beralih ke pipi Cara yang juga sama memerahnya, lalu kembali pada wajah Emma. Lebih lama dari sebelumnya. Kerutan tersamar di keningnya. Cara yang ia kenal sepuluh tahun yang lalu tak akan berani melakukan hal semacam itu.

“Kau tak memberitahuku akan datang.”

“Apa?” Mata Emma membulat tak percaya dengan pertanyaan Ethan yang tak ada hubungannya dengan masalah besarnya.

“Jika kau memberitahuku lebih awal, aku akan pulang lebih cepat dan hal semacam ini tak perlu terjadi, kan?”

Kedua bola mata Emma nyaris keluar dari rangkanya dengan jawaban Ethan yang tak memuaskannya.

“Jangan manja, Emma. Kenapa aku harus melapor padaku untuk hal semacam ini.”

Mulut Emma yang menganga seketika terkatup rapat. Pun begitu kedua matanya menyiratkan kedongkolan yang begitu pekat. “Kenapa kau membawanya ke sini? Bukankah kau bilang kau sudah melepaskan mereka? Kau sudah melupakan mereka, kan?”

Ethan mengangguk, menatap Cara dan menjawab, “Melepaskan? Bagaimana mungkin aku melupakan mereka, Emma? Aku hanya mengatakan jika mereka kembali, mereka tak akan menyukai apa yang akan kulakukan pada mereka.”

Cara menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba kering. Ia tak peduli pada apa yang dilakukan Ethan padanya, tapi kata mereka yang dipakai oleh Ethan merujuk pada Zevan juga. Dan pria itu terlibat masalah besar ini karena dirinya. bagaimana mungkin ia tak memedulikan

Emma tak tahu apakah harus merasa senang dengan ancaman tersebut. Satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah melenyapkan Cara dari hidup Ethan. Sehingga tak ada siapa pun yang akan menghalangi dirinya memiliki pria itu. Sementara yang diinginkan Ethan, rupanya masih wanita sampah ini.

“Jadi, kenapa kau tiba-tiba datang? Untuk memberiku kejutan?” Ethan kembali pada Emma setelah puas menikmati kepucatan Cara.

Emma tersenyum dengan pertanyaan tersebut. “Ya, tapi sepertinya kau tidak terkejut. Aku berencana menyiapkan makan malam romantis untuk menyambut kedatanganmu. Tapi …” Emma melirik sinis ke arah Cara. “… lagi-lagi dia selalu merusak rencanaku.”

“Hanya itu?” Salah satu alis Ethan terangkat. Tak tertarik.

Mulut Emma merapat oleh kekecewaan. Tapi kembali tersenyum ketika melanjutkan. “Juga … mamamu memanggilku. Untuk persiapan rencana pernikahan kita.”

Ethan mengerjap. Keterkejutan melintasi wajahnya, yang dengan cepat ia kuasai. Mamanya lagi-lagi membuat langkah yang begitu lancang.

“Karena itu akan menjadi pernikahan kita, aku harus mempersiapkan semuanya dengan sangat hati-hati dari jauh hari. Aku ingin pernikahan ini menjadi momen yang  …”

“Kita akan membahasnya.” Tangan Ethan terangkat, menghentikan Emma sebelum wanita itu bicara lebih banyak. “Pergilah ke kamarmu.”

“T-tapi ….” Tatapan tajam Ethan membungkamnya. Ia tahu saatnya untuk menutup mulut dan beranjak dari tempat ini sekarang juga. Dengan kesal, ia berjalan menuju tangga spiral yang ada di tengah ruangan.

“Sekarang, urusanku denganmu.” Ethan menatap Cara. Yang beringsut menjauh begitu ia memberikan seluruh perhatiannya pada wanita itu.

“Apa yang kau inginkan?” Cara berhasil mengeluarkan suaranya dengan tanpa getaran sedikit pun meski tatapan Ethan sudah cukup membuatnya ketakutan.

Ethan bergerak maju. Dagu wanita itu yang terangkat semakin mengusik dirinya untuk bermain-main dengan keberanian yang berusaha Cara dapatkan. Sayangnya, berapa pun banyaknya keberanian Cara. Ia akan menyadarkan wanita itu bahwa semua itu hanyalah kesia-siaan saja.

“Kau selalu tahu apa yang kuinginkan darimu, Cara.” Ethan berjalan maju, dengan gerakan sepelan mungkin hanya untuk membuat ketakutan Cara semakin meningkat dan ekspresi wanita itu tidak bisa berbohong.

Kaki Cara membentur sofa dan tubuhnya jatuh terduduk. Mengabaikan rasa nyeri yang menjerit di kakinya ketika tubuhnya berusaha melompat turun. Menghindari Ethan yang hendak menghambur ke arahnya.

Ia berhasil berdiri dan kakinya sudah bergerak membuat lompatan yang lebar ketika Ethan menyambar pinggang. Memanggul tubuhnya di pundak dan berjalan menuju pintu kamar utama yang berada tak jauh di belakang tangga spiral.

Tubuh mungil Cara dibanting di tempat tidur yang luas dan Ethan langsung menindihnya. Memaku kedua tangannya di atas kepala sementara tubuh kekarnya meredam pemberontakan Cara dengan mudah.

“Kita belum selesai bicara, sayang,” bisik Ethan tepat di atas wajah Cara. Memaksa pandangan wanita itu mengarah padanya. “Sepertinya ada sesuatu yang belum terjernihkan di antara kita, Cara. Bukankah suami istri harus saling terbuka?”

“Sungguh kau akan mengatakannya sekarang? Setelah kau membahas pernikahanmu dengan Emma beberapa saat yang lalu.”

“Aku tak peduli tentang pernikahan,” gusar Ethan sama sekali tak tertarik. Keningnya berkerut, oleh sesuatu yang terasa mengganggu. “Aku menemukan hasil tes darah Zevan dan ada kejanggalan di sana.”

“Apa maksudmu?”

“Kenapa golongan darahnya Rh-null?”

“Kau melakukan ini hanya untuk menanyakan hal sialan itu?”

“Kenapa golongan darahnya sama dengan golongan darahmu? Ketika kau kehabisan darah karena pendarahan sepuluh tahun yang lalu?”

Kemarahan di wajah Cara seketika memucat. Kepanikan membuat seluruh tubuh Cara menegang. Menyadari keteledorannya.

“Saat itu dia tidak bisa menjadi pendonor untukmu, kan?” Tatapan Ethan menyipit. Menguliti setiap ekspresi yang muncul di permukaan wajah Cara. “Karena dia AB-“

Napas Cara tercekat dengan keras.

“Apakah keguguran itu benar-benar terjadi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status