Share

5. Kembali Terulang

‘Minum.’ Ethan mengulurkan dua butir obat berwarna putih yang ada di telapak tangannya.

Cara melirik tak tertarik pil tersebut. Ia tak cukup tolol untuk tidak bisa menebak benda apa itu. Begitu ia mengakui bahwa anak dalam kandungannya adalah anak Zevan, tentu saja Ethan terbutakan oleh kecemburuan pria itu dan tak menunggu lama bagi pria itu untuk melenyapkan anak dalam kandungannya. Kebenciannya yang begitu mendalam pada pria itu, membuatnya semakin besar kepala untuk mempermainkan perasaan Ethan.

‘Kau tahu apa yang kuinginkan.’

‘Benarkah?’

‘Bukankah bulan depan umurmu 17. Kau ingin menjadi orang tua di usiamu sekarang?’

Cara mendengus tipis. Menampar tangan Ethan hingga dua pil tersebut jatuh ke lantai. ‘Bukan karena anak ini anak Zevan?’

Wajah Ethan membeku. Bibirnya menipis keras ketika lagi-lagi nama Zevan di sebut. Ethan mengambil dua pil itu, lalu menangkap rahang Cara dan memaksa kedua pil tersebut masuk ke dalam mulut gadis itu.

Cara tak memberontak, selain karena kekuatan Ethan yang jauh lebih besar dibandingkan dirinya, ia tahu apa yang Ethan dan dirinya inginkan. Dengan tujuan yang berbeda. Ia membiarkan dua pil itu melewati tenggorokannya, kedua matanya yang dipekati kebencian melekat pada amarah di manik Ethan yang berwarna abu gelap tersebut.

Dan ketika Ethan menyadari kesalahan terbesarnya, wajah pria itu seketika memucat. ‘Anak itu milikku?’ desisnya tajam.

Cara tersenyum. Ya, tentu saja anak itu milik Ethan. Hanya pria berengsek seperti Ethan yang telah melecehkan tubuhnya.

*** 

“Tidak ada tanda-tanda kehamilan.” Kalimat yang keluar dari sang dokter membuat kebencian Cara pada Ethan semakin menggunung. Setelah menembak kakinya dan membiarkan dokter mengurus luka tembakannya, Ethan menyeretnya ke ruangan dokter kandungan. Hanya untuk memastikan bahwa apa yang dikatakan oleh Zevan adalah sebuah omong kosong.

Ethan tersenyum tipis. Melirik ke arah Cara dengan penuh kepuasan. “Aku hampir percaya omong kosongnya.”

Cara membuang mukanya ke samping setelah melemparkan tatapan dinginnya pada pria itu. Jika tahu Ethan akan menggila karena kata-kata Zevan, seharusnya ia benar-benar mengandung anak Zevan. Hanya saja …

Cara menepis ingatannya, menyingkirkan tangan sang dokter dari perutnya dan bangun terduduk. Tetapi ia kesulitan turun dari ranjang dengan kakinya yang dibebat perban. Meski kakinya dibius untuk mengeluarkan peluru dan dijahit, tetap saja kakinya masih terasa nyeri.

Hari-harinya belum pernah terasa melelahkan seperti ini. Sejak sepuluh tahun yang lalu hingga ia mendatangi gedung perkantoran Ethan.

Ethan mengangguk pada sang dokter, yang langsung menjauh. Begitu pun dengan perawat yang membantu Cara.

“Sekarang kau berhati-hati?” dengus Cara saat keduanya keluar dari ruangan dokter. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di kakinya karena pengaruh bius yang mulai berkurang dan lebih memilih berjalan dengan kaki pincang daripada harus digendong oleh Ethan.

Ethan tak mengatakan apa pun. Keduanya saling tatap dan bersama-sama mengembara ke ingatan masa lalu keduanya. Ada luka yang sempat melintas di kedua manik abu gelap tersebut.

Seolah belum cukup kegilaan yang dilakukan oleh Ethan, setelah membuatnya keguguran, pria itu malah menyeretnya ke hadapan pendeta. Mengucapkan sumpah pernikahan dengan pistol menempel di kepala.

“Tidak.” Ethan berhasil menguasai ekspresi wajahnya dengan baik. “Jika kau benar hamil, kali ini akan tak akan ragu untuk mencekokimu dengan pil yang sama.”

Amarah di wajah Cara semakin kental. Menyentakkan tangan Ethan dari wajahnya dan berjalan lebih dulu dengan langkah terpincang.

Ethan tertegun di tempatnya. Seringai di ujung bibirnya perlahan meluruh. Teringat ketika ia berdiri di depan pintu ganda berwarna putih dan seorang perawat melangkah keluar. Memberitahunya bahwa Cara hampir kehabisan darah sementara stok darah di rumah sakit sedang kosong.

Ya, setelah menelan pil itu, mendadak perut Cara sakit dan ketika Ethan melihat ke bawah, darah sudah menggenang di sekitar sepatu gadis itu.

*** 

Luka di kepala Zevan tidak cukup parah meski membutuhkan beberapa jahitan. Setelah mengamankan Cara, ia kembali ke rumah sakit. Langsung ke ruang direktur rumah sakit, Zaheer.

“Kali ini kau berlebihan, Ethan. Jika kakek tahu ini perbuatanmu, kau tahu kita semua akan terlibat masalah.” Zaheer tak berhenti menggusur rambut bergelombangnya. Berjalan mondar-mandir di depan Ethan yang duduk bersilang kaki di sofa tunggal. Sementara Mano yang duduk di sofa panjang terlihat lebih tenang.

“Sejak awal dia yang melibatkan diri dalam urusanku,” jawab Ethan ringan. “Lagipula … dia tidak mati, kan?”

Zaheer berhenti melangkah. “Dan bagaimana kalau Zevan melapor pada kakek?”

“Aku hanya perlu menunjukkan surat pernikahanku dan Cara.”

“Yang tak diakui orang tuamu. Ck, kau bahkan menikah saat pikiranmu dipenuhi emosi dan jiwa mudamu yang gila, Ethan. Mereka tak akan menganggap apalagi menerima pernikahan itu.”

“Dan bukan berarti lembaran itu palsu, kan? Aku sudah mendaftarkannya.”

“Kau pikir orang tuamu tak bisa menghapusnya?” timpal Mano.

Ethan tak menjawab.

“Apakah obsesimu pada Cara masih …” Tatapan tajam Ethan seketika menghentikan kalimat Mano. Membasahi tenggorokannya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ehm, kupikir kali ini hanya bermain-main seperti biasanya. Maaf.”

Ethan melirik jam di pergelangan tangannya. “Beritahu aku perkembangannya,” pintahnya sembari berdiri.

“Mau ke mana kau?” Kepala Mano berputar, mengikuti langkah Ethan yang keluar dari ruangannya, tanpa memberinya jawaban.

Zaheer mengambil tempat duduk di seberang meja setelah Ethan menghilang dari pandangan mereka. “Apakah menurutmu Emma tahu tentang pernikahan Ethan?”

Mano menggeleng tak tahu. “Apakah itu akan menjadi masalah?”

Zaheer tak tahu jawaban ya atau tidak yang lebih baik. “Pernikahan mereka akan diselenggarakan tahun ini, kan?”

“Apakah Ethan yang mengatakannya?”

Zaheer menggeleng. “Tante Viola. Hanya saja aku mendengarnya dari mama.”

“Dan kau tahu hubungan mereka dengan Ethan sedang bermasalah. Ethan sudah meninggalkan rumah sejak … lima?” Salah satu alis Mano terangkat penuh tanya. “Enam tahun?”

“Tujuh. Sejak dia keluar dari penjara. Tujuh tahun yang lalu.”

“Ah, ya.” Mano mengingat dan menganggukkan kepala.

*** 

Tujuh tahun yang lalu.

Mano mengulurkan jam tangan, dompet, dan kunci mobil pada Ethan yang baru saja keluar dari ruang ganti untuk mengganti baju tahanannya dengan setelah tiga pasang. “Kau ingin langsung pulang? Sepertinya kau butuh bercukur dan memperbaiki potongan rambutmu.”

Ethan memasang jam tangannya. “Kau sudah menemukan mereka?”

Zaheer menggeleng. “Kupikir ada seseorang yang membantu Zevan.”

“Ibunya?”

Zaheer menggeleng. “Aku sudah mengamati semua akses dan aktifitasnya. 24 jam sehari.”

Bibir Ethan menipis tak suka. “Kalau begitu kau bisa berhenti.”

Mata Zaheer membeliak. “Apa?”

“Sudah tiga tahun kau mencari mereka dan tak juga membuahkan hasil yang memuaskan, kan? Maka biarkan saja mereka pergi.”

Mano mendekat, tak kalah terkejutnya dengan perintah Ethan. “Tapi mereka yang membuatmu harus mendekam di sana selama tiga tahun ini, Ethan.”

Ethan terdiam. Memasukkan dompet ke dalam sakunya. Ujung bibirnya menyeringai ketika berucap lirih. “Ini lebih baik untuk mereka. Karena jika ditangkap semudah ini, mereka tak akan menyukai apa yang akan kulakukan pada mereka.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status