Mata Ethan memicing tajam ke arah Cara, yang terengah pelan sambil menahan ringisan di wajah. “Apa yang dikatakannya benar?” Cara menyentakkan wajahnya dari genggaman Ethan yang mulai melonggar. “Jangan berpura tak tahu, Ethan. Kau yang memberikannya pada Emma, kan?” Alis Ethan menyatu. “Emma yang mengatakannya?” Cara membuang wajah. Tak perlu menjawab. Sandiwara Ethan memang selalu sempurna. Tak pernah tak sempurna. Pria itu yang mendorongnya jatuh, pria itu pula yang akan mengulurkan tangan ke arahnya. Membiarkan semua orang merundungnya, lalu menjadikan dirinya menjadi istimewa dibandingkan wanita-wanita pria itu yang lain. Ethan memang pria paling manipulatif yang pernah ia kenal. Kemarahan di dadanya masih bergemuruh meski Ethan mulai tampak tenang. Entah apa yang menjadi berbeda dirinya mati karena pria itu lewat tangan Emma atau dengan tangannya sendiri. Melihat kemarahan Ethan, sepertinya mati di tangannya sendiri adalah kelancangan yang tak bisa pria itu maafkan. Bukan
“S-sakit, Ethan,” rintih Cara. Tangannya berusaha menarik tekanan Ethan yang semakin kuat.“Aku tahu.” Pegangan Ethan akhirnya melonggar. Melengkungkan seringai jahat sembari mundur satu langkah dan membiarkan perawat menangani sang istri.Cara menggigit bibir bagian dalamnya, pandangannya tertunduk. Menghindari tatapan intens Ethan dan mengamati perawat yang segera menutup luka tusukan di sana dengan plester dan kembali memasang jarum infus di tangannya yang lain.“Kalian bisa keluar,” perintah Ethan tepat ketika si perawat menyelesaikan pekerjaannya. Kembali meninggalkan mereka berduaan.“Apakah kau akan berhenti memikirkan Zevan jika aku memenjarakannya?”Cara tercekat pelan. “Apa?”“Aku tak tahan ketika mendengar mereka memanggil Zevan. Sangat mengganggu. Dan semakin aku memikirkannya, sepertinya …”Cara menggeleng dengan cepat. “Tidak, Ethan.”Ethan tertawa kecil. “Aku tak butuh ijinmu.”“Zevan tidak bersalah. Akulah yang datang padanya.”“Ck, kau memang tak bisa menahan diri unt
Cara memelintirkan lengannya dengan kesal. “Lepaskan, Zaheer.”Pegangan Zaheer semakin kuat, menghadang di antara Cara dan Zevan saat pria itu beranjak berdiri.“Bukankah keahlian Ethan memang menjadi menyedihkan?”“Katakan itu pada dirimu sendiri, Zevan. Apakah rumah utama kekurangan cermin untukmu?” Zaheer menyelipkan tawa kecil sebelum melanjutkan. “Atau kau terlalu malu menatap wajahmu sendiri?”Wajah Zevan membeku. Kata-kata Zaheer berhasil mengena di hatinya.“Meski kau cucu kesayangan kakek, kau tahu kakak masih berpikir logis untuk tidak menjadikanmu penerusnya, kan? Kenapa kau masih tak menyadari dirimu yang sebenarnya.”Zevan menggeram. Kedua tangannya mengepal.Pandangan Zaheer turun ke bawah. Tersenyum lebih tinggi. “Sejak kembali, rupanya kau kesulitan mengendalikan emosimu, ya? Apakah karena Ethan ternyata masih unggul dibandingkan dirimu? Bahkan setelah kau membuatnya berakhir di penjara.”Tatapan Zevan seketika beralih pada Cara. Yang mulai diselimuti kebengongan. “Omo
Suasana pemakaman tersebut diselimuti keheningan yang begitu intens. Isak tangis dan wajah duka menyelimuti semua orang. Terutama Zevan, yang masih tersungkur di tanah lembab tersebut. Kepala tertunduk, menyembunyikan wajah yang diselimuti air mata dan beberapa lebam hasil dari baku hantam di rumah sakit tadi pagi. Seolah tak hanya semua orang yang melayat yang merasakan kehilangan tersebut, langit bahkan ikut mendung dan rintik hujan membasahi pakaian hitam semua orang. Sebagian besar orang sudah meninggalkan area pemakaman. Menyisakan beberapa anggota keluarga inti “Jangan memikirkannya, sayang,” bisik Ethan dalam desisan tajamnya. Membekukan kaki Cara yang sudah bergerak. Mata Cara terpejam. Tak tahan menyaksikan kepiluan serta isakan zevan yang begitu mengiris hatinya. Sejak tadi dorongan untuk mendekati dan memeluk pria itu sangat sulit untuk ditahan. “Kumohon, Ethan. Hanya sekali ini saja.” Cara tak peduli jika harus memohon pada pria berengsek di sampingnya ini. Zevan se
“Ayah kandungku berhutang hidup pada ibuku. Jika bukan ibuku yang melakukannya, Ethan tak mungkin memiliki kekuatan untuk menjadi penerus kakek. Pernikahan sah mereka tak lebih dari sekedar kertas dan kesepakatan bisnis.” “Lembaran kertas itulah yang membedakanmu dan Ethan, Zevan,” penggal Arman. “Kau suka atau tidak. Jangan membenarkan hal yang bahkan tidak kau ketahui dengan baik.” Wajah Zevan membeku. Ketegasan Arman semakin mengental, berhasil membuatnya kembali terbungkam. Rasa panas kembali terasa di kedua ujung matanya. “Masa lalu ibumu, ibu Ethan dan ayah kalian. Semua itu bukan hal yang harus kau urus sejauh ini, Zevan. Hari ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan semua itu. Kakek juga sudah memperingatkan tentang batasan yang harus kau patuhi, bukan?” Zevan kembali memaksa kepalanya mengangguk. Menghapus air mata di ujung mata dengan punggung tangan lalu menyusul naik ke dalam mobil tanpa satu patah pun bantahan. Ia tahu kapan harus berhenti mencoba peruntungannya
Ethan mempertahankan senyum penuh ketenangannya dengan sangat baik. Reaksi Cara sudah ia perkirakan. Keterkejutan dan kepucatan Cara adalah campuran ekspresi yang paling ia sukai di wajah cantik dan polos itu. Juga kegugupan yang membuatnya semakin gemas pada Cara.“Akses ke dalam hatiku?” ulang Cara dengan suara yang bergetar.“Hmm.” Ethan mengulurkan tangan. Punggung jemarinya mengelus di sepanjang rahang wanita itu dengan sentuhan seringan bulu. Sementara wajah Cara begitu tegang, pun begitu tak beringsut menolak sentuhannya.“Apa maksudmu, Ethan?”Kali ini Ethan memutar tubuh. Mengarahkan seluruh perhatiannya pada wajah sang istri yang tak bisa lebih pucat lagi. “Aku ingin memperbaiki pernikahan kita.”“Memperbaiki?” Cara nyaris tak bisa menahan dengusan lolos dari celah bibirnya. “Tak ada apa pun yang perlu diperbaiki, Ethan. Aku bahkan tak pernah benar-benar ingat pernikahan kita selain pistol yang kau tempelkan di kepalaku. Bahkan sekarang, kau tahu alasanku ada di tempat ini.
“Zevan?” Cara memastikan pintu kamar mandi tertutup rapat sebelum menjawab panggilan pria itu. Melirihkan suaranya. “Bisakah kau menghubungiku setengah jam lagi, aku sedang di ruangan Ethan.” “Ya, baiklah.” Panggilan pun kembali terputus dan Cara melangkah keluar. Wajahnya hampir menabrak dada bidang Ethan yang berdiri tepat di depan pintu. Tubuhnya terhuyung ke belakang, nyaris terjungkal jika bukan karena pinggangnya ditangkap lengan pria itu. “Hati-hati, sayang. Kau tahu aku tak suka tubuhmu lecet, apalagi karena kecerobohanmu sendiri.” Cara menyentakkan lengan Ethan dari tubuhnya. “Dan apa yang kau lakukan di depan pintu kamar mandi?” Ethan terkekeh. “Memastikan istriku baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja.” Cara menyelipkan tubuhnya ke samping Ethan. “Kau sudah selesai makan, kan?” Ethan tak mengangguk. Tak perlu mengangguk karena Cara langsung membereskan semua yang ada di meja dan keluar tanpa perlu ijinnya lalu keluar dari ruangannya. *** Cara mengabaikan tatapan pen
Dua jam sebelumnya …Pintu kamarnya diketuk tepat ketika tubuh Cara menghilang di balik pintu kamar mandi. Tak menunggu jawaban darinya untuk dibuka dengan kasar. “Kenapa kau tak menjawab panggilanku, Ethan. Aku menghubungimu sejak dua jam yang lalu.”Ethan menghela napas dengan jengah. Menatap Emma yang berdiri tepat di depannya dengan kesal dan ada kepanikan yang menghias di kedua mata wanita itu. “Ada apa lagi?”“Kakek dan orang tuaku sedang menuju kemari. Mereka ingin membawaku ke rumah sakit.”“Rumah sakit?”Emma menjilat bibirnya yang mendadak kering. “Aku tak tahu bagaimana foto kita berdua yang sedang berciuman menyebar. Itu bukan hal yang penting, semua orang tahu kita memang bertunangan. Tapi … beberapa hari yang lalu aku pergi ke rumah sakit karena tiba-tiba aku merasa tak enak badan. Dokter memintaku ke dokter kandungan, aku tak tahu apa tujuannya.”“Kau hamil?” Salah satu alis Emma terangkat. “Yang pasti bukan anakku, kan? Aku tak pernah tidur denganmu. Dan tak mungkin se
Ponsel Ethan yang berdering menyela di tengah kesibukan dokter yang memeriksa Cara. Pria itu mengabaikannya, tak melepaskan pengamatannya dari sang dokter. Namun, deringan yang tak kunjung berhenti tersebut tampak mengganggu, Ethan terpaksa mengurus panggilan terebut. Berjalan keluar menjauh. “Ada apa lagi, Bianca?” Cara masih bisa mendengar nada kesal yang diucapkan Ethan sebelum pria itu benar-benar menjauh. Hingga perhatiannya dialihkan oleh pertanyaan dokter tentang apa saja yang ia rasakan. “Mual dan pusing. Sepertinya saya hanya kecapekan, Dok.” “Riwayat penyakit maag?” “Tidak ada. Tapi beberapa hari ini saya kurang berselera makan. Mungkin karena itu.” “Hubungan dengan suami?” Cara menatap sang dokter, tak mengerti. “Ya, hubungan suami istri.” Cara semakin tak mengerti kenapa itu ada hubungannya dengan sakintnya. Dokter wanita itu tersenyum. “Apakah Anda melewatkan tamu bulanan Anda?” Wajah Cara yang sudah pucat tiba-tiba membeku. Menatap kedua mata sang dokter denga
“Dia yang memaksa masuk menggunakan kartu aksesku, Ethan.” Emma mengulurkan kartu hitam mengkilat yang ada di tangannya. “Sepertinya aku harus mengembalikannya padamu, kan? Pengawalmu baru saja membawa barang-barangku ke mobil.” Ethan terdiam. Menatap kartu tersebut tetapi ada hal lain yang memenuhi pikirannya. Alis Emma menyatu melihat Ethan yang tampak lebih diam dari biasanya, dan yang satu ini pasti ada hubungannya dengan kemunculan Bianca yang begitu tiba-tiba tersebut. “Kenapa? Kau baik-baik saja?” Ethan melirik dengan ujung matanya. “Keluarlah. Urusan kita sudah selesai.” Emma terdiam sejenak. “Tidak. Belum, Ethan.” Ethan menghela napas sambil mengambil kartu yang diberikan Emma dan memasukkannya ke dalam laci. “Jika itu tentang perasaanmu. Lupakan, Emma. Aku tak butuh mendengar hal konyol semacam ini lagi.” Wajah Emma memerah, kecewa sekaligus malu. “Kau tak perlu memikirkan apa yang pernah Bianca lakukan untuk hidupmu, Ethan. Saat itu kau masih anak-anak dan dia meman
“Aku berhasil menemukannya. Setelah satu atau dua minggu menyelam di sana.”Cara masih membeku dalam keterkejutannya. Untuk waktu yang cukup lama. Menatap benda dengan hiasan permata tersebut. Ia sudah lupa bagaimana bentuk cincin yang Ethan selipkan di jari manisnya dengan penuh pemaksaan tersebut.“Apakah itu artinya pernikahan kalian juga …”“Ya, aku menggunakan pistol yang menempel di kepalanya untuk memaksanya mengucapka sumpah pernikahan.” Ethan menatap lurus kedua mata Cara. “Matanya yang jernih dipenuhi air mata. Bibirnya bergetar karena ketakutan dan wajahnya yang sepucat mayat tampak begitu cantik di mataku. Tapi …” Ethan sengaja mengulur kalimatnya, mengamati lebih lekat wajah Cara sebelum kemudian menyambar satu ciuman singkat di bibir wanita itu. “Dia memang selalu terlihat cantik. Tepat seperti yang dikatakan oleh Mano. Kau setuju?”Bianca menatap Cara dengan senyum yang lebih lebar. Menyembunyikan ribuan tanya yang mendadak muncul di benaknya. “Kau menyelam?”Ethan meng
Cara menatap punggung Ethan dan Zaheer yang menghilang di antara kerumunan para tamu. Acara sudah berubah menjadi lebih santai. Para undangan membentuk kerumunan. Saling mengobrol antara keluarga, teman lama, atau sekedar kolega. Hanya dirinyalah yang tak memiliki siapa pun untuk diajak bicara, apalagi mengobrol dan bercanda tawa.Tak ingin terlihat lebih tolol, Cara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mencari-cari sesuatu yang bisa dikerjakannya di tengah keramaian pesta ini. Dan rasa lapar yang mendadak datang membawa kakinya menuju meja prasmanan di seberang ruangan. menemukan pie telur di tepi meja. Tangannya terulur, tetapi pemilik tangan lain yang terulur seketika membuatnya membeku.“Kau memiliki keberanian yang besar datang ke tempat ini?” Irina meletakkan pie telur di tangannya ke piring milik Cara. Tatapannya dingin, begitu pun ujung bibirnya yang membentuk senyum datar. Seperti yang selalu dimiliki Ethan ketika tak menyukai keputusannya untuk tidak membalas perasaan pria i
“Ada apa dengan malam ini?” Cara menurunkan gaun pesta yang baru saja dibawa Ethan masuk. Lengkap dengan sepatu dan penata rias yang akan datang beberapa saat lagi. “Kita perlu memberikan selamat untuk pertunangan Emma dan Zevan, kan? Bagaimana pun dia adalah saudaraku.” Cara baru teringat. Zevan sempat memberitahunya tentang kesepakatan dalam pernikahan tersebut ketika keduanya tak sengaja bertemu di lobi dua hari yang lalu. Pria itu baru saja mengunjungi butik yang kebetulan berada di sekitar gedung Ethan. “Kau lupa?” Ethan meletakkan kedua tangannya di pinggang Cara, membawa tubuh wanita itu menempel di tubuhnya. Tak ada lagi penolakan dari wanita itu, bahkan wanita itu sudah mulai terbiasa dengan sentuhan-sentuhan ringannya. Pun begitu, masih saja ada jarak jika itu pembicaraan tentang Zevan. Cara menggeleng pelan. “Aku terlalu sibuk. Aku tak ingat kalau acaranya malam ini. Dan aku tak yakin keberadaanku dibutuhkan di tempat itu. Itu acara yang ….” “Aku membutuhkanmu
“Kenapa kau tak memindahkannya di sini saja, Ethan. Aku tahu sejak awal kau berniat memindahkan si kembar di tempat ini, kan?” Cara mengamati wajah Ethan dengan hati-hati sebelum melanjutkan. “Jika tidak, kau tak mungkin mempersiapkan kamar untuk mereka di lantai dua.” Ethan memberikan senyum tipis. Tak akan menyangkal. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” “Kau lupa, aku selalu melakukan apa pun yang kusuka.” Jawaban klasik khas Ethan, Cara membatin. “Lalu apa yang harus kulakukan agar kau berubah pikiran?” “Kau tahu apa yang kuinginkan Cara.” Ethan memutar wajah menghadap Cara. Wanita itu bersandar miring di kepala ranjang dengan tangan memegang selimut di dada. Menghalangi pandangannya dari ketelanjangan tubuh wanita itu. Tangannya terulur, menarik turun selimut tersebut. “Berhenti berselingkuh di belakangku.” Cara menelan ludah. Ketegangan bercampur wajahnya yang merah padam akan tatapan intens Ethan yang mengamati dadanya. Ethan mengucapkannya dengan penuh ketenangan, t
Braakkk ….Telapak tangan Ethan menggebrak meja dengan keras.“Hanya karena aku menyukaimu, bukan berarti kau bisa mengabaikan pekerjaanmu seperti ini, Cara. Aku sudah mengatakan untuk mempersiapkannya sebelum tuan Heri datang. Bagaimana mungkin kau melakukan keteledoran semacam ini, hah?”Cara tetap bergeming. Tahu Ethan tak membutuhkan alasan konyol berkasnya tertumpah kopi apalagi mesin print yang mendadak kehabisan tinta.“Ini peringatan pertama, Cara. Dan sebaiknya kau tahu kalau kesempatan lain tak pernah ada untuk siapa pun.” Ethan melempar berkas di depannya ke hadapan Cara. “Keluar.”Cara mengambil berkas tersebut dan berjalan keluar. Ethan bukannya tak tahu Joannalah yang membuat masalah dengan Cara, tapi keterdiaman Cara yang seolah tak membutuhkan bantuannyalah yang membuatnya kesal. Dan campur tangan Emma yang masih saja berusaha mengusik Cara kali ini benar-benar melewati batas,“Aku tak butuh mengetahui apa yang diberikan Emma untuk membuat Cara berada dalam masalah. T
“Apa kau benar-benar akan membawa mereka ke sini?” Cara mencoba memberanikan diri mempertanyakan janji Ethan tersebut. Keduanya masih bergelung di tempat tidur. Ethan membiarkan lengannya dijadikan bantalan untuk kepala Cara, sementara kedua tubuh telanjang mereka masih saling menempel di balik selimut.Ethan tak mengatakan apa pun. Satu-satunya hal yang ia pedulikan saat ini adalah Cara yang masih berada dalam pelukannya. Biasanya wanita itu akan langsung beringsut menjauh begitu ia selesai menuntaskan hasratnya pada tubuh Cara. Dan untuk pertama kalinya, Cara tak menjauh. Meski memang wanita itu memiliki tujuan setelah menyenangkannya, tetap saja wanita berada dalam pelukannya. Sekarang.“Kau tak menjawab pertanyaanku,Ethan.”Ethan tersenyum, sedikit menurunkan wajahnya untuk mendaratkan satu kecupan di ujung kepala. “Kenapa kau begitu terburu-buru. Jangan merusak kesenanganku dengan pertanyaanmu itu, Cara. Kau membuatku salah paham dan berpikir kau melakukan semua ini untuk mereka.
“Terima kasih banyak. Sekarang aku tak perlu mencemaskan seseorang akan menyelinap masuk ke dalam apartemen kami.” “Apa kartu akses yang kalian bilang adalah kartu akses yang itu?” Tatapan Cara menusuk tajam pada Emma. Tak perlu mencerna lebih lama untuk menebak apa yang tengah mereka perbincangkan. Emma melengkungkan senyum tanpa penyesalannya. “Jadi kartu akses itu kau yang memberikannya pada Zevan?” Emma mengedikkan bahunya. Dengan senyum yang semakin lebar. “Kau benar-benar licik, Emma.” Cara mendorong Emma hingga wanita itu terhuyung, tetapi Joanna dan Bella dengan sigap menahan Emma. “Apa yang kau lakukan, Cara? Beraninya kau menyentuhkan tangan kotormu itu pada nona Emma,” bela Joanna dengan mata mendelik sempurna. Mendorong tubuh Cara lebih kuat sebagai balasan. “Tak hanya menggoda tunangan nona Emma, sekarang kau bahkan bersikap kasar pada beliau. Di mana akal sehatmu, hah? Apa kau benar-benar tak punya rasa malu?” Cara menepis tangan Joanna yang hendak mendorongnya