Song Mingyu baru menyadari kondisi Junjie sesaat setelah mereka meninggalkan perbatasan Kota Yueliang. Dia merasa aneh dengan kehadiran Yue Yingying dan juga kondisi Junjie yang tidak biasanya. Namun, Ren Hui mengatakan padanya, jika pria itu hanya kurang sehat saja.
"Aku baru tahu, kau bisa sakit juga." Song Mingyu berkelakar saat menemani pria itu duduk-duduk di teras rumah beroda.Yue Yingying tengah sibuk merebus obat di dapur. Dia jarang berbicara dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mencari bahan obat serta meramunya. Sedangkan Ren Hui seperti biasanya mencari bahan-bahan untuk arak dan obat bersama Baihua."Kau kira, aku ini dewa?" Junjie menyahut dengan kesal. Akhir-akhir ini dia mudah terbawa emosi dan kerap berselisih paham dengan Song Mingyu. Semua itu disebabkan kondisinya yang tidak seperti dulu lagi.Meski kondisinya sudah lebih baik, tetapi Yue Yinying memperingatkannya untuk tidak terlalu sering menggunakan tenaga dalamnyaRen Hui menuangkan teh ke dalam cangkir. Ekspresi wajahnya masih datar tanpa emosi, seperti biasanya. Di kedua sisi meja, duduk kedua pria yang menundukkan kepalanya. Keduanya saling mencuri pandang seperti dua bocah yang tengah dihukum oleh guru mereka."Aku ini miskin, kalian pun sama denganku. Tidak punya banyak uang. Jika rumah berodaku ini rusak, di mana kita akan tinggal? Bagaimana arak-arakku? Bagaimana Baihua?" Ren Hui berbicara dengan tegas.Song Mingyu dan Junjie kembali saling mencuri pandang. Mereka tahu benar, Ren Hui pasti akan marah karena mereka telah mengacaukan rumah berodanya. Pedagang arak itu telah berkali-kali mengeluhkan kondisi rumah anehnya yang sudah harus direnovasi. Sayangnya dia tidak memiliki uang berlebih."Kalau begitu, ikutlah denganku!" Junjie mendongakkan kepalanya. Menegakkan punggungnya dan bersedekap dengan santai. Menatap Ren Hui dengan sepasang matanya yang berkilau bak bunga persik."Ikut denganmu? Kau saja
Yue Yingying hanya melirik sekilas, sama sekali tidak tertarik pada lukisan itu. Dia lebih tertarik pada kondisi Song Mingyu dan Junjie."Reaksi kalian sekilas sama, gatal. Tetapi, sepertinya hanya kau yang berhalusinasi," gumamnya seraya melepaskan totokannya pada Song Mingyu."Ulat! Ulat!" Seketika pemuda itu berteriak histeris seraya mengibaskan lengannya. Ren Jie yang tengah menggantungkan lukisan yang basah tersiram teh sangat terkejut mendengar teriakannya.Dia pergi mengambil sesuatu dari lemari obat. Kemudian menangkap lengan Song Mingyu. "Diamlah!" ucapnya pada pemuda itu. Sikap tegas dan tanpa komprominya membuat Song Mingyu tidak berani membantahnya. Apalagi tatapan matanya yang tajam, seperti bukan tatapan Ren Hui yang teduh dan lembut seperti yang selama ini dikenalnya.Setelah memastikan Song Mingyu tenang, dengan hati-hati Ren Hui mengoleskan salep pada lengannya dengan lembut dan hati-hati. Sementara Yue Yingying memeriks
Sejenak Junjie terdiam mendengar jawaban Song Mingyu. Dia pun duduk kembali dan menatap Song Mingyu lekat-lekat. Masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setiap pemuda itu berbicara mengenai lukisan Ren Jie, sang Dewa Pedang.Song Mingyu tahu terlalu banyak hal-hal yang jarang diketahui orang lain tentang kehidupan Ren Jie. Bahkan dirinya yang dianggap salah satu orang terdekat Ren Jie pun tidak tahu sebanyak itu. Meski ada beberapa hal yang menjadi rahasia mereka berdua.Junjie mengerutkan kening dan bertanya lagi padanya,"Untuk apa kau bersikeras memberikan lukisan itu pada seseorang?"Song Mingyu menatap jauh, menerawang seakan-akan tengah menatap sesuatu yang tak terjangkau. "Aku ingin berguru pada Ren Jie, sang Dewa Pedang. Sayangnya, Ren Jie sudah mati sepuluh tahun yang lalu, meski aku tidak mempercayainya. Karena itu, aku ingin mengumpulkan tiga puluh lukisan sang Dewa Pedang. Seseorang memberitahuku bahwa dalam lukisan-lukisan itu terdapat rah
Rumah beroda Ren Hui berjalan pelan-pelan. Karena Junjie sedang sakit, kali Song Mingyu mengusiri kereta sendirian. Dia bersiul-siul riang sembari menikmati pemandangan yang sangat indah di sepanjang perjalanan menuju kota Chunyu. Menurut Ren Hui hanya tinggal melewati desa Yuhua saja, maka mereka akan tiba di tujuan."Musim gugur kali ini benar-benar sangat indah," gumamnya pelan. Angin bertiup semilir membawa terbang dedaunan kering yang memerah. Sepanjang mata memandang semburat kemerahan hingga coklat menjadi warna yang mendominasi pemandangan di sekitarnya.Bunga-bunga Krisan liar bermekaran. Mengundang kupu-kupu dan kumbang. Dan memberi rona warna yang kontras di antara semburat kemerahan dan suasana yang terasa lebih muram."Sebentar lagi kita di desa Yuhua. Kita berhenti di tepi sungai pinggiran desa saja." Ren Hui melongokkan kepalanya dari pintu teras yang setengah terbuka.Song Mingyu menganggukkan kepalanya mengerti. Setelah cukup lama
Ren Hui tersenyum, menatap Junjie yang menyesap teh dengan gaya elegannya. Di mata Ren Hui, Pangeran Yongle sudah jauh berubah. Tidak seperti saat pertama kali bertemu dengannya.Pangeran Yongle dahulu dikenal sebagai pangeran yang tidak banyak berbicara, elegan, cerdas dan menjunjung keadilan. Selain itu dia juga penyendiri dan jarang memiliki teman. Bahkan hingga bertemu dirinya, pangeran itu tidak memiliki seorang selir pun di wangfu-nya.Namun, sekarang, yang duduk di hadapannya adalah Junjie. Meski masih sering menunjukkan keeleganan ala kaum bangsawan, tetapi jika mengingat bagaimana dia berdebat atau saat berebut makanan dengan bocah seusia Song Mingyu, Ren Hui menyadari Pangeran Yongle telah banyak berubah. Dia bukan lagi Pangeran Yongle yang kesepian.Meski Ren Hui sendiri pun telah mengalami banyak perubahan dalam hidup, tetapi sulit baginya untuk mempercayai begitu saja jika seseorang bisa berubah begitu banyak. Baik dirinya maupun Junjie kini m
Song Mingyu membawa rumah beroda memasuki pelataran bangunan yang berada di ujung jalan, berhadapan dengan jalan utama yang menuju Kota Chunyu. Seorang pelayan pria berlarian dengan membawa payung menyambut mereka. "Tuan silakan!" Dia dengan cekatan membantu Song Mingyu menepikan rumah beroda dan menambatkan kuda-kuda. Ren Hui turun bersama Junjie dari rumah beroda dengan berpayungkan payung bi'an Hua. Dia bertanya pada pelayan itu dengan sopan, "Paman! Apakah ada kamar yang kosong?" "Tentu saja ada Tuan! Tetapi, saat ini hanya ada satu kamar tersisa. Yang lainnya sudah dipesan oleh orang-orang dari biro pengawalan dari Kota Tianxia." Pelayan itu menjelaskan dengan hati-hati dan sangat ramah. "Ah, begitu rupanya." Ren Hui tersenyum dan mengangguk mengerti. Letak desa Yuhua yang berada di antara Kota Yueliang dan Chunyu memang cocok untuk singgah sebentar untuk beristirahat, terutama bagi biro pengawalan dan pengelana. "Baiklah! Tidak apa-apa Paman. Tolong siapkan kamar dan maka
Ren Hui menutup pintu kamar dan dengan berpayungan dia melintasi taman penginapan menuju ke salah satu bangunan yang ada di sudut lain penginapan. Hujan masih turun meski sudah tidak deras lagi. Udara sangat dingin membuat siapapun enggan berkeliaran di luar."Sepi," gumam Ren Hui saat melewati aula. Para tamu sepertinya sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya ada beberapa pelayan yang sibuk merapikan aula dan satu dua tamu yang duduk memandangi hujan dan menikmati arak.Dia terus berjalan hingga tiba di depan bangunan yang tidak terlalu besar. Bangunan di sudut itu juga sepi. Hanya ada seorang pelayan wanita yang berlari menyambutnya."Tuan, silakan!" Dengan riang dan ramah gadis pelayan itu mempersilakannya untuk masuk.Meski hanya beberapa kali singgah di penginapan ini, tetapi para pelayan cukup mengenalinya. Dia mereka kenali sebagai pedagang arak yang pernah menyelamatkan sang Nyonya dari penyakit yang dideritanya."Nyonya, Tuan
Nyonya Gao berdiri di teras mengantarkan kepergian Ren Hui. Dia masih menatap pria itu, hingga punggungnya menghilang di kegelapan malam. "Liuxing, muridmu itu sepertinya mulai menikmati kehidupan yang sesungguhnya," gumamnya seraya tersenyum kecil. Saat hendak berbalik kembali ke kamarnya, seorang pelayan pria berlarian di bawah rintik hujan menghampirinya. "Nyonya! Biro pengawal Kupu-kupu Emas dari Kota Tianxia baru saja tiba!" Dia melapor seraya menunjuk serombongan pria yang berkerumun di aula utama penginapan. "Layani mereka dengan baik!" Nyonya Gao berpesan kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya. Hujan masih turun rintik-rintik. Malam pun semakin larut. Namun, suasana di Pondok Bambu Hijau nampak sibuk dengan kedatangan tamu yang memang sudah memesan tempat beberapa hari sebelumnya. Biro pengawal Kupu-kupu Emas merupakan sebuah perusahaan ekspedisi yang terkenal di Kota Tianxia. Mereka
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"