Ren Hui tersenyum, menatap Junjie yang menyesap teh dengan gaya elegannya. Di mata Ren Hui, Pangeran Yongle sudah jauh berubah. Tidak seperti saat pertama kali bertemu dengannya.
Pangeran Yongle dahulu dikenal sebagai pangeran yang tidak banyak berbicara, elegan, cerdas dan menjunjung keadilan. Selain itu dia juga penyendiri dan jarang memiliki teman. Bahkan hingga bertemu dirinya, pangeran itu tidak memiliki seorang selir pun di wangfu-nya.Namun, sekarang, yang duduk di hadapannya adalah Junjie. Meski masih sering menunjukkan keeleganan ala kaum bangsawan, tetapi jika mengingat bagaimana dia berdebat atau saat berebut makanan dengan bocah seusia Song Mingyu, Ren Hui menyadari Pangeran Yongle telah banyak berubah. Dia bukan lagi Pangeran Yongle yang kesepian.Meski Ren Hui sendiri pun telah mengalami banyak perubahan dalam hidup, tetapi sulit baginya untuk mempercayai begitu saja jika seseorang bisa berubah begitu banyak. Baik dirinya maupun Junjie kini mSong Mingyu membawa rumah beroda memasuki pelataran bangunan yang berada di ujung jalan, berhadapan dengan jalan utama yang menuju Kota Chunyu. Seorang pelayan pria berlarian dengan membawa payung menyambut mereka. "Tuan silakan!" Dia dengan cekatan membantu Song Mingyu menepikan rumah beroda dan menambatkan kuda-kuda. Ren Hui turun bersama Junjie dari rumah beroda dengan berpayungkan payung bi'an Hua. Dia bertanya pada pelayan itu dengan sopan, "Paman! Apakah ada kamar yang kosong?" "Tentu saja ada Tuan! Tetapi, saat ini hanya ada satu kamar tersisa. Yang lainnya sudah dipesan oleh orang-orang dari biro pengawalan dari Kota Tianxia." Pelayan itu menjelaskan dengan hati-hati dan sangat ramah. "Ah, begitu rupanya." Ren Hui tersenyum dan mengangguk mengerti. Letak desa Yuhua yang berada di antara Kota Yueliang dan Chunyu memang cocok untuk singgah sebentar untuk beristirahat, terutama bagi biro pengawalan dan pengelana. "Baiklah! Tidak apa-apa Paman. Tolong siapkan kamar dan maka
Ren Hui menutup pintu kamar dan dengan berpayungan dia melintasi taman penginapan menuju ke salah satu bangunan yang ada di sudut lain penginapan. Hujan masih turun meski sudah tidak deras lagi. Udara sangat dingin membuat siapapun enggan berkeliaran di luar."Sepi," gumam Ren Hui saat melewati aula. Para tamu sepertinya sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya ada beberapa pelayan yang sibuk merapikan aula dan satu dua tamu yang duduk memandangi hujan dan menikmati arak.Dia terus berjalan hingga tiba di depan bangunan yang tidak terlalu besar. Bangunan di sudut itu juga sepi. Hanya ada seorang pelayan wanita yang berlari menyambutnya."Tuan, silakan!" Dengan riang dan ramah gadis pelayan itu mempersilakannya untuk masuk.Meski hanya beberapa kali singgah di penginapan ini, tetapi para pelayan cukup mengenalinya. Dia mereka kenali sebagai pedagang arak yang pernah menyelamatkan sang Nyonya dari penyakit yang dideritanya."Nyonya, Tuan
Nyonya Gao berdiri di teras mengantarkan kepergian Ren Hui. Dia masih menatap pria itu, hingga punggungnya menghilang di kegelapan malam. "Liuxing, muridmu itu sepertinya mulai menikmati kehidupan yang sesungguhnya," gumamnya seraya tersenyum kecil. Saat hendak berbalik kembali ke kamarnya, seorang pelayan pria berlarian di bawah rintik hujan menghampirinya. "Nyonya! Biro pengawal Kupu-kupu Emas dari Kota Tianxia baru saja tiba!" Dia melapor seraya menunjuk serombongan pria yang berkerumun di aula utama penginapan. "Layani mereka dengan baik!" Nyonya Gao berpesan kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya. Hujan masih turun rintik-rintik. Malam pun semakin larut. Namun, suasana di Pondok Bambu Hijau nampak sibuk dengan kedatangan tamu yang memang sudah memesan tempat beberapa hari sebelumnya. Biro pengawal Kupu-kupu Emas merupakan sebuah perusahaan ekspedisi yang terkenal di Kota Tianxia. Mereka
Ren Hui tersenyum mendengar pertanyaan Junjie. Menatap pria di hadapannya dan tercenung sejenak. Selama beberapa waktu ini mereka jarang bisa bercakap-cakap berdua saja.Song Mingyu dan Yue Yingying menjadi salah satu alasannya. Mereka tidak ingin kedua orang itu mencurigai hubungan dan identitas mereka. Bagi Song Mingyu, mereka hanyalah pengelana yang tidak sengaja bertemu dan sepakat untuk melanjutkan perjalanan bersama.Sedangkan bagi Yue Yingying semua itu tidak penting baginya. Namun, Ren Hui mengkhawatirkan Junjie jika wanita cantik itu mengetahui indentitas sebenarnya pria tampan yang kini tengah berada dalam kondisi yang tidak baik."Seperti yang kau lihat, aku menjalani hidupku dengan bahagia. Berkelana dari satu kota ke kota lainnya. Menyuling arak kemudian menjualnya atau kunikmati sendiri. Menanam sayuran dan bunga, memasak serta menemani Baihua bermain. Bukankah itu hidup yang bahagia?" Ren Hui tersenyum dan menuangkan arak ke dalam cangkirnya
Hujan berhenti di pagi harinya. Suasana menjadi cerah meski hujan semalam menyisakan hawa dingin yang menggigit. Namun, semakin siang suasana semakin cerah. Langit biru terbentang dan matahari bersinar terang. Cuaca pun sedikit menghangat.Ren Hui mengajak Junjie untuk berjemur di halaman. Sementara Song Mingyu memilih berjalan-jalan di sekitar penginapan itu bersama Baihua. Ren Hui meminta pemuda itu untuk memetik bunga Yuhua. Dia berencana untuk membuat arak istimewa dari bunga langka itu."Ren Jie, kenapa kita tidak melanjutkan perjalanan saja? Bukankah cuaca cukup bagus hari ini?" Junjie bertanya seraya menunjuk matahari yang bersinar cerah."Cuaca seperti ini hanya sebentar saja. Nanti hujan turun lagi." Ren Hui menjelaskan. "Ayo kesana! Temani aku memetik bunga Yuhua. Dan kau bisa berjemur di sana." Ren Hui menunjuk jalur yang menuju hutan bambu yang mengelilingi penginapan.Dengan telaten dibantunya Junjie melepaskan mantelnya. Hawa dingin
Gui Mu duduk berhadapan dengan Nyonya Gao. Seorang pelayan menuangkannya teh untuk mereka. Setelah itu berpamitan dalam diam, mengundurkan diri."Nyonya Gao, jika kau tidak keberatan, aku ingin menggunakan satu kamar lagi untuk menyimpan barang di dalam kereta." Tuan Gui Mu membuka percakapan begitu pelayan meninggalkan mereka berdua."Tentu saja. Tetapi, masalahnya hanya ada satu kamar tersisa." Nyonya Gao menyahut dengan santai. Baginya selama ada uang dan tidak membuat penginapan maupun desa mengalami masalah maka semua bisa diatur."Tidak mengapa, Nyonya. Itu sudah cukup. Karena kali ini kami membawa sesuatu yang mungkin menarik perhatian banyak pihak." Tuan Gui Mu menghela napas pelan."Tuan Gui, kapan biromu membawa barang yang biasa-biasa saja? Bukankah ini sudah sering terjadi? Mengapa kau begitu cemas?" Nyonya Gao tersenyum menggodanya.Biro Kupu-kupu Emas memang kerap membawa sesuatu yang kadang menarik perhatian, terutama para
Ren Hui berdiri terpaku di depan pintu kamar yang setengah terbuka. Begitu juga Junjie dan Song Mingyu. Belum lepas dari keterkejutan karena suara barang terjatuh, tiba-tiba saja hujan turun. Bak tak diundang, air seperti ditumpahkan ke permukaan bumi dengan derasnya."Ayo cepat! Masukkan barangnya ke dalam kamar!" Salah seorang pria, sepertinya pemimpin biro itu, berteriak memerintahkan para anak buahnya untuk bergerak cepat.Namun, mereka cukup kesulitan karena benda itu terlihat sangat berat. Mereka telah berusaha sekuat tenaga, tetapi benda itu hanya bergerak sedikit saja.Ren Hui pun bergegas membantu mereka. Begitu juga Song Mingyu dan Junjie. Song Mingyu sengaja menggunakan tenaga dalamnya meski tanpa kentara. Akhirnya, benda itu pun bergegas dan dapat dipindahkan ke dalam kamar."Tuan, terima kasih atas bantuannya." Pemimpin biro mendekati mereka dan mengucapkan terima kasih kepada mereka bertiga."Ti
Song Mingyu menatap Junjie dengan serius. Dia ingin bertanya ada apa dengan Ren Hui. Namun, Junjie pun bersikap sama dengan Ren Hui tadi. Duduk terpekur, tidak berbicara sama sekali."Jika barang itu di tangan Biro Kupu-kupu Emas, maka dapat dipastikan itu dimiliki oleh seseorang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, atau kekayaan. Atau mungkin ketiganya." Junjie membatin dalam hatinya.Song Mingyu sungguh kesal melihatnya terpaku diam tak menganggapnya ada. Dia pun pergi meninggalkan gazebo tanpa disadari Junjie. Pemuda itu berjalan-jalan di sekitar taman. Namun, hanya menelusuri selasar saja karena hujan masih turun dengan deras."Peti tadi berat sekali." Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap.Song Mingyu berhenti berjalan dan tanpa sadar menyembunyikan diri di balik tiang gazebo. Tak jauh darinya bersembunyi, empat orang yang dikenalinya sebagai orang-orang yang tadi mengangkat peti dari dalam kereta. Sepertinya mereka tengah membicarakan
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh
Beberapa bulan berlalu, dan keadaan di Kekaisaran Shenguang perlahan kembali stabil. Permaisuri Wu masih duduk di tahtanya, tetapi kekuatan keluarganya telah menyusut drastis. Salah satu pukulan terbesar adalah eksekusi Wu Zhengting, penguasa Kota Chunyu sekaligus adik kandung Permaisuri Wu. Dengan kejatuhan ini, pengaruh keluarga Wu dalam pemerintahan kian meredup, seolah-olah musim semi baru tengah bersemi di dalam istana.Di sisi lain, Nona Muda Pertama Chao, Chao Ping, kembali ke ibu kota dalam keadaan selamat. Namun, ia tidak berusaha memperbaiki perjanjian pertunangannya dengan Chu Wang. Ia hanya datang mengunjungi Perdana Menteri Kiri sebagai seorang sahabat lama."Perjalanan ke Hóngshā telah membuka mata dan hatiku. Hidup tidak hanya berputar pada cinta dan pasangan hidup. Aku telah melihat banyak hal, dan semua itu mengubah cara pandangku," katanya pelan. Ada keteguhan dalam suaranya, seolah ia telah menemukan arah hidup yang lebih luas dari sekadar status