Alex menatap langsung ke mata Diandra. Ada keteguhan dalam pandangannya, seolah berkata ia tidak akan membiarkannya terluka. "Lepaskan dia terlebih dahulu," katanya, suaranya tenang tapi tegas.Celia tertawa kecil. "Kau tidak dalam posisi untuk membuat tuntutan, Alex.""Kalau begitu, aku tidak menandatangani apa pun," jawab Alex sambil merogoh sesuatu dari balik jaketnya—sebuah alat kecil yang tampak seperti pemancar. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi. "Kau tahu apa ini, kan, Celia? Aku tidak datang tanpa rencana."Wajah Celia berubah, senyumnya pudar seketika. "Apa yang kau lakukan?""Ini akan mengakhiri semua permainanmu, jika aku menekan tombol ini. Jadi, sekarang lepaskan dia, atau kita semua rugi." Alex tetap berdiri tegap, meskipun tubuhnya terasa berat. Dia tidak akan mundur.Celia terlihat ragu, anak buahnya saling bertukar pandang, menunggu perintah. Diandra menahan napas, berharap Celia memilih mundur.Rod dan Celia saling menatap lalu tersenyum."Coba saja tekan, aku tidak aka
Dua hari pasca kejadian itu, Diandra sudah pulang ke apartemennya. Tapi dia belum bisa melupakan apa yang telah menimpanya dan juga pria bernama Alex itu.Sebelum masuk kuliah, Diandra menyempatkan diri membeli handphone baru ditemani oleh sahabatnya."Lain kali jangan ceroboh, kalau tidak handphone mahal ini bisa hilang lagi," ucap temannya.Diandra hanya bilang jika ponselnya hilang saat ia berbelanja ke mini market.Diandra hanya tersenyum tipis menanggapi komentar sahabatnya, Amanda. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian yang sebenarnya—terlalu rumit dan berbahaya. "Iya, aku akan lebih hati-hati," balasnya singkat sambil menyimpan ponsel baru ke dalam tas.Mereka berjalan keluar dari toko elektronik di tengah kota yang ramai. Udara musim semi terasa sejuk, tapi pikiran Diandra terus melayang pada peristiwa dua hari lalu. Amanda meliriknya dengan pandangan penasaran."Kau masih terlihat sedikit linglung. Apa kau masih kesal soal ponsel lamamu hilang?" tanya Amanda sambil membetulk
Di sebuah rumah yang terpencil, di tengah hutan pinus, seorang lelaki tengah membersihkan ikan di atas wastafel, tangannya tertutupi oleh sarung tangan yang terbuat dari plastik.Pria itu menaruh ikan tersebut ke dalam sebuah mangkuk sebelum akhirnya dibaluri oleh bumbu.Disalah satu ruangan di rumah itu seseorang baru saja membuka matanya. Asing, itulah yang ia rasakan setelah mengamati keadaan sekitar.Alex mencoba untuk bangkit, namun ia tersadar tangannya sedang terpasang cairan infus, Alex lebih berhati-hati melakukannya."Kau sudah bangun?" Seorang pria tadi datang membawa nampan berisi makanan."Pa-paman Felix!" Alex tak menyangka jika ia bertemu adik lelaki ayahnya.Felix meletakkan nampan di atas meja lalu mendekati keponakannya. "Aku mendengar apa yang terjadi di sini.""Termasuk kepergian ayah?"Felix mengangguk. "Kau, kenapa tidak mengabari paman?""Aku tidak berdaya, ayah dinyatakan hilang dalam kecelakaan dan aku bangun sudah terkurung di gudang. Seluruh fasilitas ku dic
Alex terdiam, mencerna semua informasi itu. "Lalu siapa sekutu yang paman maksud?"Felix tersenyum tipis. "Masih ada beberapa orang di perusahaan yang setia pada ayahmu. Mereka mungkin takut, tapi jika kau bisa menunjukkan bahwa kau punya kekuatan untuk melawan Celia, mereka akan berpihak padamu."Alex mengepalkan tangannya. "Baik, aku akan mengikuti rencana paman. Tapi ingat, aku tidak akan mundur. Celia harus membayar untuk semua yang dia lakukan."Felix menepuk bahu Alex. "Itu semangat yang ingin kulihat. Tapi ingat, sabar dan cerdas adalah kunci kemenangan. Kita tidak akan bermain dengan emosi."Alex mengangguk. Ia tahu ini bukan pertarungan yang mudah, tetapi ia sudah bertekad. Untuk ayahnya, untuk keluarganya, dan untuk keadilan, ia tidak akan mundur.Sore ini Felix mengajak Alex untuk keluar, dan ini sudah untuk ketiga kalinya. Felix melakukannya agar Alex tidak merasa bosan, meskipun ia hanya ada di dalam mobil saja."Betapa angkuhnya Celia, dia merasa sudah memiliki semuanya,
Veny meronta, tali yang mengikat pergelangan tangannya terasa semakin menjerat kulitnya. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun di tengah udara lembap dan pengap dari gudang tua itu. Bau anyir darah yang menempel di bajunya bercampur dengan bau lembap kayu yang lapuk. Matanya mencari Samy, mencari sedikit saja belas kasih, namun yang ditemuinya hanyalah tatapan dingin yang menusuk. "Samy... kumohon... lepaskan aku..." suaranya hampir tak terdengar, serak oleh keputusasaan. Namun Samy tetap berdiri kaku, tangannya mengepal, wajahnya menyiratkan kemarahan yang tak terkendali. "Aku membencimu, Veny. Kalau bukan karena dijebak... aku tak akan pernah menikahimu seumur hidupku." Kalimat itu keluar dari bibirnya dengan penuh racun. Veny tersentak, tubuhnya gemetar. Kata-kata Samy menghancurkan hatinya, lebih menyakitkan daripada luka apa pun yang mungkin ditinggalkan oleh tali di pergelangannya. Dijebak? pikirnya. Apakah dia selalu berpikir begitu? Kilas balik melintas di kepalany
Veny tengah diperiksa oleh dokter di dalam ruangan rumah sakit, di mana kondisinya terlihat cukup memprihatinkan. Lukanya yang paling serius berada di bagian mata dan dagu, dengan luka yang cukup besar dan pendarahan yang sulit dihentikan. Dokter yang memeriksanya berbicara serius kepada tim medis, menyarankan agar segera dilakukan tindakan operasi. Mereka khawatir jika tidak ditangani secepat mungkin, kerusakan di mata dan dagunya akan semakin parah dan sulit dipulihkan.Di luar ruangan, pria yang menabrak Veny berdiri gelisah, wajahnya tampak pucat dan cemas. Dia terus melirik ke arah pintu kamar tempat Veny dirawat, seolah-olah berharap melihat dokter keluar dengan berita baik. Sambil menunggu, dia berbicara melalui telepon dengan suara rendah dan terbata-bata, berusaha menyampaikan situasi yang mendesak."Aku baru saja menabrak seorang wanita. Dia sedang dalam perawatan sekarang, dan aku tidak bisa pulang malam ini," katanya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. "Aku harus memastikan
Felix menarik napas dalam, menyadari bahwa Veny berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia akan menjelaskannya dengan hati-hati, seolah ingin menenangkan wanita yang masih terbaring lemah itu. “Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku harus mengejar penerbangan untuk kembali ke Philadelphia, kotaku. Namun, ketika aku sedang menyetir, tiba-tiba kamu muncul di tengah jalan. Aku tidak sempat menghindar. Mobilku menabrakmu. Itu kecelakaan, dan aku benar-benar tidak melihatmu datang.” Felix berhenti sejenak, mencoba membaca reaksi Veny, meskipun matanya masih tertutup oleh perban. Dia melanjutkan dengan nada penuh penyesalan, “Setelah kecelakaan itu, aku segera membawamu ke rumah sakit ini. Kamu dibawa langsung ke ruang operasi karena cedera di wajahmu sangat serius. Aku merasa bersalah, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan tetap di sini sampai kamu sembuh.” Veny mendengarkan
Veny kini menjalani hidup baru di Philadelphia, dengan identitas barunya sebagai Diandra. Ia tinggal di rumah Felix dan istrinya, Tania, yang sangat menyukainya. Transplantasi mata telah berhasil membuat penglihatannya kembali. Perubahan wajahnya semakin kentara karena mata yang semula berwarna abu-abu kini berganti amber, ditambah dagu yang telah lancip membuat wajah Veny terlihat lebih cantik dan semakin memikat, tatapannya pun tidak sendu lagi, kini berubah lebih berani. Sehingga mungkin orang yang dulu bersamanya tidak akan mengenalinya sebagai Veny. Felix dan Tania merawat Veny dengan penuh perhatian, bahkan hingga Veny melahirkan seorang putra. Kehadiran anaknya menjadi pelipur lara di tengah kenangan masa lalunya. Namun, setiap kali Veny menatap mata hitam pekat anaknya, bayangan Samy selalu terlintas di benaknya. Meskipun ia telah jauh dari masa lalu, kenangan tentang Samy tetap tak terhapuskan, terutama saat melihat bayangan pria itu dalam bola mata anaknya.Sambil mengg
Alex terdiam, mencerna semua informasi itu. "Lalu siapa sekutu yang paman maksud?"Felix tersenyum tipis. "Masih ada beberapa orang di perusahaan yang setia pada ayahmu. Mereka mungkin takut, tapi jika kau bisa menunjukkan bahwa kau punya kekuatan untuk melawan Celia, mereka akan berpihak padamu."Alex mengepalkan tangannya. "Baik, aku akan mengikuti rencana paman. Tapi ingat, aku tidak akan mundur. Celia harus membayar untuk semua yang dia lakukan."Felix menepuk bahu Alex. "Itu semangat yang ingin kulihat. Tapi ingat, sabar dan cerdas adalah kunci kemenangan. Kita tidak akan bermain dengan emosi."Alex mengangguk. Ia tahu ini bukan pertarungan yang mudah, tetapi ia sudah bertekad. Untuk ayahnya, untuk keluarganya, dan untuk keadilan, ia tidak akan mundur.Sore ini Felix mengajak Alex untuk keluar, dan ini sudah untuk ketiga kalinya. Felix melakukannya agar Alex tidak merasa bosan, meskipun ia hanya ada di dalam mobil saja."Betapa angkuhnya Celia, dia merasa sudah memiliki semuanya,
Di sebuah rumah yang terpencil, di tengah hutan pinus, seorang lelaki tengah membersihkan ikan di atas wastafel, tangannya tertutupi oleh sarung tangan yang terbuat dari plastik.Pria itu menaruh ikan tersebut ke dalam sebuah mangkuk sebelum akhirnya dibaluri oleh bumbu.Disalah satu ruangan di rumah itu seseorang baru saja membuka matanya. Asing, itulah yang ia rasakan setelah mengamati keadaan sekitar.Alex mencoba untuk bangkit, namun ia tersadar tangannya sedang terpasang cairan infus, Alex lebih berhati-hati melakukannya."Kau sudah bangun?" Seorang pria tadi datang membawa nampan berisi makanan."Pa-paman Felix!" Alex tak menyangka jika ia bertemu adik lelaki ayahnya.Felix meletakkan nampan di atas meja lalu mendekati keponakannya. "Aku mendengar apa yang terjadi di sini.""Termasuk kepergian ayah?"Felix mengangguk. "Kau, kenapa tidak mengabari paman?""Aku tidak berdaya, ayah dinyatakan hilang dalam kecelakaan dan aku bangun sudah terkurung di gudang. Seluruh fasilitas ku dic
Dua hari pasca kejadian itu, Diandra sudah pulang ke apartemennya. Tapi dia belum bisa melupakan apa yang telah menimpanya dan juga pria bernama Alex itu.Sebelum masuk kuliah, Diandra menyempatkan diri membeli handphone baru ditemani oleh sahabatnya."Lain kali jangan ceroboh, kalau tidak handphone mahal ini bisa hilang lagi," ucap temannya.Diandra hanya bilang jika ponselnya hilang saat ia berbelanja ke mini market.Diandra hanya tersenyum tipis menanggapi komentar sahabatnya, Amanda. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian yang sebenarnya—terlalu rumit dan berbahaya. "Iya, aku akan lebih hati-hati," balasnya singkat sambil menyimpan ponsel baru ke dalam tas.Mereka berjalan keluar dari toko elektronik di tengah kota yang ramai. Udara musim semi terasa sejuk, tapi pikiran Diandra terus melayang pada peristiwa dua hari lalu. Amanda meliriknya dengan pandangan penasaran."Kau masih terlihat sedikit linglung. Apa kau masih kesal soal ponsel lamamu hilang?" tanya Amanda sambil membetulk
Alex menatap langsung ke mata Diandra. Ada keteguhan dalam pandangannya, seolah berkata ia tidak akan membiarkannya terluka. "Lepaskan dia terlebih dahulu," katanya, suaranya tenang tapi tegas.Celia tertawa kecil. "Kau tidak dalam posisi untuk membuat tuntutan, Alex.""Kalau begitu, aku tidak menandatangani apa pun," jawab Alex sambil merogoh sesuatu dari balik jaketnya—sebuah alat kecil yang tampak seperti pemancar. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi. "Kau tahu apa ini, kan, Celia? Aku tidak datang tanpa rencana."Wajah Celia berubah, senyumnya pudar seketika. "Apa yang kau lakukan?""Ini akan mengakhiri semua permainanmu, jika aku menekan tombol ini. Jadi, sekarang lepaskan dia, atau kita semua rugi." Alex tetap berdiri tegap, meskipun tubuhnya terasa berat. Dia tidak akan mundur.Celia terlihat ragu, anak buahnya saling bertukar pandang, menunggu perintah. Diandra menahan napas, berharap Celia memilih mundur.Rod dan Celia saling menatap lalu tersenyum."Coba saja tekan, aku tidak aka
Celia tertawa kecil, tapi nada suaranya dingin. "Itu memang ide bagus, Rod. Tapi tidak sekarang. Gadis itu mungkin hanya alat baginya, atau mungkin dia memiliki nilai lebih yang bisa kita gunakan."Rod mengerutkan dahi. "Apa kau yakin? Membiarkan dia tetap hidup bisa menjadi risiko.""Segalanya harus dilakukan dengan hati-hati. Kita tidak bisa membuat langkah gegabah," kata Celia sambil menyilangkan tangan. "Aku akan mencari cara untuk membuat mereka menyerah. Jika harus menggunakan gadis itu sebagai umpan, maka begitu lah."Rod mengangguk pelan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah, Celia. Tapi jangan lupa, waktu kita tidak banyak. Jika dia terus bertahan, kau tahu apa yang harus kita lakukan."Celia menatap Rod dengan penuh keyakinan. "Aku tahu, Rod. Dan aku tidak akan membiarkan anak itu menghancurkan apa yang seharusnya menjadi milikku.""Di luar banyak penjaga, akan sangat sulit untuk mengeluarkan mu dari sini," ucap laki-laki itu setelah memperhatikan dari jendela kaca."Sepe
Dengan itu, wanita tersebut memberi isyarat pada bodyguard-nya untuk membawa Diandra keluar. "Bawa dia ke tempat aman, tapi pastikan dia tidak lupa siapa yang memegang kendali."Diandra meronta, tapi kekuatannya tidak cukup untuk melawan dua pria bertubuh besar itu. Mereka menyeretnya keluar dari ruangan dan memasukkannya ke dalam mobil hitam. Diandra mencoba menghafal jalan, tapi malam yang gelap dan jendela mobil yang gelap membuatnya sulit mengenali lokasi.Saat mobil berhenti, Diandra mendapati dirinya di sebuah tempat yang jauh lebih bersih dan terang, seperti apartemen mewah. Bodyguard itu melepaskan ikatan di tangannya dan berkata, "Kau akan tinggal di sini untuk sementara. Jangan coba-coba kabur.""Kenapa kalian melakukan ini padaku?" teriak Diandra.Bodyguard itu tidak menjawab, hanya menutup pintu keras-keras. Diandra duduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia tahu satu hal: ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini dan mencari tahu siapa pria yang ia bantu sebenarnya.
"Ah, persediaanku habis, hufft, sepertinya aku harus belanja malam ini."Diandra menutup pintu lemari pendinginnya, beranjak ke kamar mengambil jaket untuk menghalau udara dingin malam ini.Hidup di kota besar tanpa kekurangan membuatnya sangat bersyukur. Diandra memilih untuk berjalan kaki menuju minimarket terdekat.Sambil menatap hiruk pikuk kendaraan yang malam itu terlihat cukup ramai. Diandra melewati beberapa gang yang sedikit gelap.Ia pun mempercepat langkahnya."Dasar bodoh, pengemis tak berguna." Seseorang mengumpat mengundang tatap Diandra.Dia melihat seorang pengemis dirundung dan di sepak bergantian."Hei, bisu, kau belum mau menjawab?" ucap mereka lagi.Diandra mengabaikan itu, dia takut berurusan dengan preman jalanan sedangkan dia hanya seorang wanita."Mana uangmu?" Suara tanya di ikuti dengan tendangan membuat lelaki yang tersungkur itu meringis kesakitan.Diandra yang sudah lewat itu berbalik ke belakang, sungguh ia kasihan melihat laki-laki itu."Nona, saat ini s
"Samy menolakku, semua yang kulakukan sia-sia dan apa ibu tau? Ternyata Veny lah gadis kecil yang menyelamatkannya dulu." Moza bercerita setelah seharian menangisi kegagalannya."Apa yang kau lakukan selanjutnya?" Alma akan mendukung apapun keputusan anaknya kali ini."Aku ingin pergi jauh, Bu." Moza terlihat sangat sedih. Cinta yang diperjuangkannya selama ini tidak berbalas indah.Samy terlalu sulit untuk digapai oleh cintanya.Alma mengangguk. Mereka memutuskan untuk pindah jauh tanpa ada yang tau keberadaan mereka.Waktu terus berlalu, tak ada seharipun yang terlewati tanpa rasa syukur oleh Veny dan Samy. Mereka baru saja menyambut kelahiran putri mereka yang akan di beri nama Diandra Brown.Matanya mewarisi mata Veny sebelum di operasi waktu itu, yaitu abu-abu."Dia cantik sepertimu!" Samy yang menggendong bayi itu memperlihatkannya pada Veny."Kau ingin memberinya nama apa?" Veny bertanya."Kau mengizinkannya?" Samy berbinar tak percaya.Veny mengangguk. "Kenapa tidak, kau daddy
"Menurutmu, jika kau telah menyelamatkan nyawa seseorang, apa yang pantas sebagai balasannya?" Moza mulai memainkan emosi Veny."Moza, hentikan!" Samy takut istrinya sedih karena hal itu, namun di luar dugaan Veny menjawabnya dengan tenang."Tergantung dari orang yang menyelamatkan itu, dia ikhlas menolong atau karena sesuatu."Jawaban Veny membuat Moza terdiam, tapi dia tidak akan kalah semudah itu. "Aku pikir kau harus tau kalau Samy dulu nyaris mati jika saja aku tidak menyelamatkannya."Samy menatap istrinya berharap Veny tidak meninggalkannya.Di luar dugaan, Veny masih terlihat tenang sampai Moza mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya."Benda ini milik seseorang yang diselamatkan itu, dia berjanji akan selalu ada untukku." Moza menaruh robot itu di atas meja.Hening cukup lama, saat Veny terus menatapnya membuat Samy sangat ketakutan, berbeda dengan Moza yang justru seolah senang karena merasa dirinya akan menang."Oh, jadi kau pencurinya?"Moza terkejut mendengar pertanyaa