Kebanyakan dari penonton yang datang hari ini tertarik karena mengetahui Piano Concerto No. 2 in G Minor akan dimainkan. Ketika mereka mendengar bahwa karya tersebut tidak lain dimainkan hari itu, tentu banyak yang merasa kecewa. Mavis pun bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi.“Maaf, Bu Mavis. Kalau Ibu nggak buru-buru, apa bisa minta waktunya sebentar untuk mendengar Piano Concerto No. 2 in G Minor yang anakku mainkan?”“Anak kamu?” tanya Mavis.“Aku bisa main Piano Concerto No. 2 in G Minor,” kata Michelle dengan penuh keyakinan. “Aku belajar dari Pak Albert. Pak Albert bilang pemahamanku tentang lagu itu cukup kuat, jadi aku harap Bu Mavis bisa kasih aku kesempatan sebentar saja.”“Albert? Albert yang itu maksudnya?”“Dulu aku pernah dengar katanya Albert menerima satu murid lagi, mungkinkah murid itu maksudnya anak ini?”“Gurunya memang sudah terkenal di seluruh dunia, tapi anak kecil begitu apa benar-benar bisa memainkan Piano Concerto No. 2 in G Minor?”“Lagu itu
Hal itu membuat Michael teringat dengan sikap Michelle yang hanya diam saja selama satu bulan terakhir. Michelle tidak banyak bicara, dan itu membuat Michael berpikir kalau adiknya tidak tahu apa-apa. Padahal, justru Michelle lebih peka dari siapa pun. Sejak awal Michelle sudah tahu bahwa terjadi sesuatu pada ayahnya. Namun, pikirannya yang masih belum matang itu tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya.Setiap hari Michelle lalui dengan rasa takut dan gelisah, hingga akhirnya dia bertemu dengan sang ayah, dan rasa takut itu pun menghilang. Oleh karena itulah, Michelle bisa memainkan lagu ini dengan mudah.Setelah bagian yang membangkitkan rasa takut itu terlewati, perlahan-lahan irama lagu menjadi lebih halus. Kedua pianis berbakat yang seharusnya membawakan lagu ini tidak bisa menghayati emosi yang dibawakan oleh lagu ini secara sempurna, tapi seorang anak kecil yang baru berusia empat tahun ternyata mampu membuat mereka merasakan sensasi yang dialami oleh sang komposer
Setibanya mereka di sebuah kafe, Rachel dan Mavis duduk berseberangan sementara anak-anak asyik bermain di meja sebelah selayaknya anak-anak biasa.“Aku iri banget sama kamu,” kata Mavis. “Punya empat anak, permasalahan hidup yang paling penting otomatis selesai sudah ….”Mavis hanya memiliki seorang anak perempuan, tapi anaknya itu tidak terdidik dengan baik dan akhirnya kehilangan kesempatan untuk meneruskan takhtanya. Andaikan Mavis punya satu anak lagi, dia tidak perlu khawatir soal itu.“Anak Ibu sekarang baru 17 tahun, masih muda, hidupnya masih panjang dan apa pun bisa terjadi,” ujar Rachel berusaha menghibur. “Selama Bu Mavis bersedia memberi kesempatan untuk dia, aku yakin anak Ibu pasti bisa tumbuh menjadi penerus yang baik.”“Apa gunanya aku kasih dia kesempatan? Kabinetku sudah memberi proposal. Kalau anakku nggak bisa membuktikan bahwa dia layak sebelum masuk 18 tahun, dia akan langsung dieliminasi.”“Bicara soal perebutan kekuasaan internal, sebenarnya media di Indonesia
“Karena dia jugacuma orang biasa, yang mau menjalani hidup normal. Cuma dengan hilangnya Kelompok Hitam sampai tuntas, barulah dia bisa mendapatkan kembali kebebasannya.”“Oke. Kalau begitu, untuk sementara aku percaya sama kamu. Jadi, kapan kita bergerak?”“Untuk itu, kita masih perlu bicara tatap muka. Dalam beberapa hari ke depan, Terry North akan diam-diam menemui Bu Mavis.”Mavis merobek kertasnya, kemudian menuangkan minuman agar tulisannya tidak bisa terbaca lagi dan membuang serpihan kertas itu ke tong sampah. Setelah negosiasi selesai, Mavis bangkit dan pergi meninggalkan Rachel.“Mama, gimana? Berhasil?” tanya Darren.“Seharusnya berhasil. Penampilan kalian semua di panggung hari ini bagus banget, apalagi Michelle. Karena permainan Michelle yang bagus itu, Mama jadi bisa mendapat kesempatan untuk mengobrol sama Mavis. Malam ini kalian mau makan apa?”“Aku mau makan rendang sapi,” kata Michelle.“Rendang sapi di sini nggak otentik. Gimana kalau Mama ajak kalian belanja di supe
“Melvin, aku tahu kamu tinggal di mana! Sebentar lagi aku sampai, tunggu aku!”Mendengar itu, pembuluh darah di kulit kepala Melvin langsung mencuat keluar. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kamu kenapa bisa tahu aku tinggalnya di mana?”“Karena aku selalu memantau gerak-gerik kamu. Aku juga tahu kamu sudah tinggal bareng satu cewek dan empat orang anak,” ujar Hanna dengan nada suaranya yang berubah dingin, “Kamu tinggal bareng sama Rachel, ya?”“Jadi kamu ngirim orang lain untuk membuntuti aku?”“Untuk apa sampai sejauh itu. Aku cuma ngecek data pengeluaran dari bank kamu, dari situ aku sudah tahu kamu lagi di Singapura. Habis itu, aku minta kenalanku untuk gali informasi sedikit, aku sudah tahu kamu sama siapa saja. Ronald sibuk nyari-nyari Rachel ke mana-mana, tapi Rachel malah kabur ke luar negeri sama kamu. Kalau Ronald tahu kamu tinggal bareng sama istrinya, perusahaan keluarga kamu kira-kira bakal gimana nasibnya nanti? Oh, aku sudah sampai di depan rumah, buka pintunya.”
Sontak, rona wajah Karl langsung berubah dan berkata dengan ketus, “Terus, kamu sendiri punya apa? Atas dasar apa kamu memaksa Melvin untuk terus sama kamu? Cuma karena kamu sayang sama dia, apa itu berarti dia harus menerima kamu? Kalau begitu, apa kamu nggak merasa jijik sama cowok yang sembarangan bilang sayang ke kamu? Aku dan Melvin sama-sama nggak suka sama kamu, pergi sana!”“Brak!”Karl membanting pintu gerbang vila dengan sekuat tenaga.“Melvin, aku bakal bikin kamu membayar atas semua perbuatan kamu! Aku bakal kasih lihat apa akibatnya kamu dekat-dekat sama Rachel!” bentak Hanna sembari menunjuk-nunjuk hidung Melvin.“Oke, aku tunggu,” balas Melvin.Setelah itu, Melvin kembali ke dalam meninggalkan mantan kekasihnya di luar sendirian.“Si Ronald yang dia maksud itu nggak bisa diremehkan juga. Kalau dia sampai benar-benar datang kemari, bisa-bisa kita juga yang bakal kewalahan,” ujar Karl.“Ronald yang asli sekarang sudah jadi pemimpin di Kelompok Hitam. Mereka bisa melakukan
Sesudah berbelanja bahan makanan di supermarket bersama dengan anak-anak, Rachel menenteng semua barang yang mereka beli pulang ke vila.Anak-anak asyik menonton kartun di ruang tamu, sedangkan Rachel pergi ke dapur untuk mencuci dan memotong sayur. Di saat itu pula Melvin datang dan berkata, “Aku sudah ngusir Hanna pergi. Maaf, ya, Rachel. Aku nggak memantau pengeluaranku sehari-hari, makanya Hanna jadi bisa melacak keberadaanku. Untung saja dia nggak ketemu kamu langsung.”“Sebenarnya ketemu pun nggak jadi masalah. Aku cuma nggak mau bikin masalah, jadi sebaiknya aku menghindar darinya. Tapi kalau dia masih terus cari ribut, aku nggak bakal segan …. Hanna bukan orang yang bodoh. Kemungkinan dia bakal menghubungi Rendy. Aku sudah mengerjai Rendy ke sana kemari, aku yakin kali ini dia pasti bakal langsung datang.”“Kalau dia berani datang, kamu dan Ronald bakal dapat mangsa yang enak. Sekalian saja beresin dia.”Saat ini Ronald sedang dalam kondisi hilang ingatan. Melihat seseorang yan
Saat Rachel menoleh ke belakang, dia melihat keempat anaknya, termasuk Melvin, Karl, dan Peter sedang mengelilingi komputer mendengarkan percakapannya.Sontak wajahnya pun memerah dan berkata, “Sudah cukup, jangan bahas soal itu lagi. Aku tutup dulu.”“Kalau begitu nanti malam aku mampir sebentar. Rachel, aku kangen, aku mau ketemu kamu ….”Rona wajah Rachel makin memerah dan detak jantung berdebar makin kencang mendengar gombalan yang sungguh memalukan itu. Khawatir jantungnya bisa-bisa berhenti berdetak, dia langsung mematikan teleponnya.“Eh, kenapa ditutup?”“Ma, Papa masih belum selesai ngomong. Kenapa sudah ditutup?”Rachel menarik napas panjang sambil berjalan ke ruang tamu dengan menggosokkan wajahnya. Dia memasang raut wajah tegas dan menegur anaknya, “Lain kali nggak boleh menguping pembicaraan Mama.”“Ma, telinga Mama merah,” kata Michelle.“Waah, Mama malu, ya?” tanya Darren.“Papa bilang kangen sama Mama. Mama pasti malu,” ujar Eddy.Rachel, “….”“Jadi hari ini Papa bakal