Di ruang rawat inap ….Tercium bau disinfektan yang sangat menusuk hidung, dan suara infus yang menetes juga tak henti-hentinya mengisi kesunyian di kamar tersebut.Rendy duduk di tepi ranjang sembari menatap wanita yang terbaring lemas di atas ranjang. Pagi ini Rendy meminta anak buahnya untuk melapor ke mana Rachel pergi, dan dia mendapati kabar kalau Rachel pergi ke bandara bersama anak-anak. Sebenarnya mau itu anak-anak ataupun Rachel, mereka tidak penting bagi Rendy sehingga Rendy pun tidak terlalu peduli dengan mereka. Namun siapa yang mengira dia malah mendapatkan kabar bahwa Rachel dirawat di rumah sakit.Bukankah seharusnya Rachel sudah berada di dalam pesawat? Kenapa dia bisa pingsan di bandara? Lalu, bagaimana dengan keempat anak itu? Apakah mereka sudah naik pesawat atau masih berada di bandara? Kalau mereka sudah pergi, siapa yang membawa mereka ke luar negeri?Rendy refleks menyalakan sebungkus rokok dan saku karena kebiasaan yang dia miliki selama ini. Selama ini dia ber
Kala itu Rendy baru menyadari tangannya masih menggenggam jari jemari Rachel, dan Rachel yang justru mengunci jari Rendy dengan erat. Ketika Rendy berusaha menggerakkan jarinya sedikit, kuncian Rachel malah jadi semakin kencang.Perasaan dibutuhkan dan diandalkan oleh orang lain semacam ini membuat Rendy merasakan kesenangan yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dia pun duduk kembali di tepi ranjang dan menerima panggilan di sana.“Ada apa?” tanya Rendy.“Bos, sudah ketemu. Keempat anak Rachel sudah dibawa pergi ke luar negeri sama Melvin. Tujuan mereka adalah kota kecil tempat di mana Rachel tinggal empat tahun yang lalu ….”“Kirim orang kita ke sana. Awasi mereka setiap saat.”Saat Rendy baru saja selesai berbicara, genggaman yang mengunci jarinya itu terasa melonggar. Rendy melirik ke bawah dan mendapati kedua mata Rachel yang tadinya terpejam kini sudah terbuka lebar menatapnya tanpa ekspresi. Sontak, Rendy merasa tidak enak hati dan langsung menutup panggilan.“Barusan … kamu n
Rendy meminta Joni untuk menarik mundur pasukannya tepat di depan Rachel. Setelah mendengar langsung dengan telinganya sendiri, sekujur tubuh terasa lemas seakan semua tenaga yang tersisa di badannya disedot habis. Kedua kakinya pun tersungkur lemas di atas ranjang. Kemudian, Rachel menutupi wajah dengan kedua tanganya dan tiba-tiba menangis.“Maaf, Ronald ….”Hati Rendy bagaikan dipelintir oleh sesuatu yang sangat kuat. Dia menaruh kembali ponselnya ke saku baju dan berkata dengan lembut, “Nggak usah mikir yang aneh-aneh lagi. Istirahat saja sekarang.”“Maaf … malam empat tahun yang lalu, aku kira Eddy dan Darren sudah nggak ada, gara-gara itu aku jadi sering berhalusinasi kayak sekarang. Aku sudah pernah berobat ke dokter, dokter bilang aku cuma menderita gejala delusi kejar. Selain itu, dokter juga bilang ada menderita depresi berat …. Waktu aku tahu ternyata anak-anak masih hidup beberapa bulan yang lalu, aku kira penyakitku sudah sembuh. Tapi ternyata …. Maaf, ya. Ini salahku. Aku
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rachel sudah sadarkan diri dan menoleh ke luar jendela dengan tatapan mata yang kosong. Melihat waktu yang tertera di jam dinding saat ini, seharusnya anak-anak masih tertidur pulas. Mereka baru tiba di negara tujuan pagi subuh, seharusnya sekarang mereka sedang tidur karena adanya perbedaan waktu. Jika mereka sudah bangun, mereka pasti akan langsung menelepon.Di kala Rachel sedang menghitung perbedaan waktu antara dia dengan anak-anak, Rendy masuk ke dalam kamar dan duduk di dekatnya.“Setengah jam lagi ada psikiater yang bakal ngobrol-ngobrol sama kamu. Jangan takut, dia cuma mau ngobrol sebentar biar pikiran kamu jadi lebih lega.”“Entah sudah berapa dokter yang pernah aku datangi dulu. Mereka … nggak pernah ada yang berhasil nyembuhin penyakitku. Mungkin penyakitku ini memang sudah terlalu parah, atau mungkin juga mereka yang payah.”Ketika mereka berdua sedang mengobrol, dokter yang bertanggung jawab atas Rachel di rumah sakit ini datang bersama
“Nggak apa-apa, Rachel, tenang saja. Anak-anak baik-baik saja.”Rendy bersusah payah berusaha menenangkan Rachel. Setelah Rachel bisa kembali berbaring di ranjang dengan tenang, barulah Rendy membawa Ferdy keluar kamar.“Kenapa dia tiba-tiba menggila?” tanya Rendy.“Tadi aku menggunakan hipnoterapi untuk bikin dia tertidur supaya kesadarannya bisa masuk ke dalam suasana yang aku ciptakan, dari situ baru aku mengorek semua masa lalunya, tapi ternyata gagal. Aku nggak menyangka begitu mengungkit soal anak, dia langsung bereaksi. Kayanya lain kali aku harus pakai cara lain.”“Kamu bisa hipnoterapi?”Kalau tidak salah, Rendy ingat Katherine pernah bilang di seluruh dunia, hanya ada beberapa psikiater saja yang menguasai hipnoterapi.“Aku kepala asosiasi psikologi di Suwanda. Sedikit banyak, sih, bisa ….”Biasanya orang lain harus melakukan reservasi sampai setidaknya satu bulan lebih untuk bisa berobat dengan Ferdy, tapi karena pasiennya adalah menantu keluarga Tanjaya, dia langsung datang
Rendy belum pernah melihat perdebatan yang terjadi akibat kecemburuan seumur hidupnya. Kejadian di malam itu benar-benar merupakan pengalaman yang sangat mengejutkan baginya.Rendy jadi merasa bersalah mengingat apa yang terjadi di hari itu. Walau sebenarnya tidak ada yang terjadi antara Rendy dengan Catherine, tak bisa dibantah bahwa Rachel melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.“Aku yakin. Aku cuma mau cepat sembuh dan hidup seperti orang biasa. Aku nggak mau mengalami mimpi buruk lagi. Ronald, tolong bantu aku ….”“Oke, aku hubungi Catherine sekarang. Coba kutanya dia punya waktu atau nggak.”Rachel langsung menghela napas lega begitu Rendy keluar dari kamarnya. Dia segera berbaring di atas ranjang dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di otaknya. Dari tadi dia terus berpikir dan menyusun rencana, yang mana tentu saja sangat menguras otak.“Drrrt!”Tiba-tiba ponsel Rachel bergetar. Dia mendapat panggilan video dari anak-anak. Ekspresi murung yang tadinya menghia
Malam harinya ….Udara di dalam bangsal masih tercium bau disinfektan yang cukup menyengat. Kira-kira pukul 20.30, Rendy membawa Catherine masuk ke dalam kamar untuk menemui Rachel.“Catherine, aku mau minta maaf atas perbuatanku yang gegabah terakhir kali kita ketemu. Aku harap kamu bisa maafin kesalahanku,” kata Rachel.Selama Catherine hidup di dunia ini, belum pernah dia merasa malu seperti sekarang. Kalau bukan karena Rendy yang memintanya langsung, Catherine tidak akan datang untuk mengobati penyakit Rachel.“Semuanya sudah berlalu, nggak usah dipikirin lagi,” kata Catherine.Lantas, dia pun menghampiri Rachel dengan sikap yang serius dan berkata padanya, “Bisa coba jelasin sedikit tentang gangguan yang kamu alami sekarang?”Rachel hanya terduduk di ranjangnya tanpa berkata apa-apa.“Rendy, kamu bisa keluar sebentar?” tanya Catherine. “Selama proses terapi kejiwaan, sebaiknya jangan ada orang ketiga, jadi tolong pengertiannya.”Rendy melirik ke arah Rachel dengan maksud menanyaka
Hal itu benar-benar membuat Catherine merasa cemburu. Dia menggenggam erat pen yang ada di tangan dan menusuk kertas sampai bolong ….Seolah tidak menyadari perubahan suasana hati Catherine, Rachel berteriak dengan suara yang cukup keras, “Ronald, kamu di luar?”Seketika pintu langsung terbuka, yang berarti dari tadi Rendy dengan setia menunggu di depan. Hal ini jelas membuat Catherine jadi semakin kesal.“Kenapa, Rachel?” tanya Rendy sembari menatap Catherine dengan mata yang kurang bersahabat.“Ronald, aku mau minum kopi buat nenangin pikiranku. Aku suka Latte yang ada di cafe dekat rumah sakit. Bisa tolong beliin aku satu?”“Oke, aku pergi beli sebentar,” jawab Rendy seraya mengelus kepala Rachel.Kali ini Catherine sudah tidak bisa lagi menahan diri dan berdiri, “Ada air? Aku mau minum. Air mineral saja juga nggak apa-apa.”“Tadi pagi suster bawain air minum, masih belum aku buka,” jawab Rachel sambil menunjuk ke berapa botol air yang telah disediakan.Catherine membuka tutup botol