“Selamat datang! Mau beli piano untuk anak, ya? Anaknya cowok atau cewek?” sambut si pegawai toko dengan ramah.Rachel menyuruh Michael untuk menggandeng tangan Michelle, sementara dia pergi melihat-lihat piano bersama si pegawai toko. Toko ini adalah toko piano yang paling terkenal di Suwanda. Harga piano yang paling murah saja bisa mencapai puluhan ratusan juta, dan untuk model yang mahal bahkan bisa mencapai miliaran.Namun, untungnya Rachel bukan orang yang kekurangan uang. Dan kalaupun dia tidak punya uang, dia tidak sampai membuat anaknya hidup susah. Rachel pernah belajar piano bersama dengan Shania saat masih berusia lima tahun. Mereka terus menekuni piano selama belasan tahun, jadi meski sudah lama tidak bermain, setidaknya Rachel masih menguasai teknik-teknik dasar.Rachel coba memainkan beberapa piano yang dia tertarik, dan setelah menemukan yang dia sukai, dia pun berkata, “Yang ini suaranya bagus juga, terutama vibrato-nya.”“Wah, Ibu tahu banyak juga, ya. Iya, yang ini me
Michael segera menggandeng tangan Michelle keluar bersama dengan Rachel. Michelle mengalami mimpi buruk saat terakhir kali dia bertemu dengan Shania di TK, maka dari itu Michael tidak ingin adiknya bertemu lagi dengan Shania.“Mama, kita nggak jadi beli piano?” tanya Michael seraya mendongakkan kepalanya.Di saat Rachel baru saja mau menjawab pertanyaan Michael, tiba-tiba ponsel yang dia taruh di sakunya bergetar, dan raut wajahnya terlihat sedikit terkejut ketika nama pemanggil yang terpampang di layar ponselnya. Sudah satu tahun sejak terakhir orang itu menghubungi Rachel.“Eh, Pak Albert? Tumben nelepon, ada apa?” tanya Rachel.“Kemarin aku datang ke Suwanda karena kebetulan lagi ngadain tur konser, makanya aku keingat sama kamu. Suwanda tempat kelahiran kamu, kan. Kamu masih ingat, nggak, sama apa yang aku bilang satu tahun lalu?”“Passion-ku sama piano sudah nggak setinggi dulu ….”“Kamu punya bakat main piano, kenapa nggak coba dimaksimalkan saja?” tanya Albert, “Seumur hidup, mu
“Belajarnya di sini?” tanya Ronald dengan dahi yang mengerut tajam, serta nada bicara yang kental dengan rasa jengkel.Shania menarik napas panjang guna menenangkan dirinya dan menjawab, “Kamu tahu sendiri nenekku badannya lemah. Dia harus baringan di ranjang terus. Kalau aku belajarnya di rumah keluargaku, takutnya istirahat dia bakal terganggu. Lagian … guru yang aku bilang tadi juga Eddy yang cariin. Aku mau minta tolong Eddy buat mantau latihanku.”Seusai berkata demikian, Shania menatap lekat Ronald dengan kedua matanya yang seolah-olah sedang memancarkan cahaya berkilauan. Akan tetapi, Ronald sedikit pun tidak memedulikannya sedikit pun. Yang dia perhatikan hanyalah piano yang baru saja diantar ke rumahnya.Ronald jarang sekali ikut campur dengan urusannya Eddy, bahkan meski Ronald keberatan sekalipun, dia tidak akan bicara apa-apa. Shania pun merasa lega karena Ronald tidak memarahinya. Shania hanya takut Ronald meminta dia untuk memindahkan piano itu di hadapan banyak orang. Ba
Tahun ini Alice berusia 32 tahun, usia di mana seorang wanita berada di masa yang paling matang dan menarik bagi lawan jenis. Rambut pirang, mata hijau, dan hidung mancungnya memberi kesan seolah tubuhnya memancarkan aura nan anggun dan menawan.Ronald sudah siap berangkat dengan surat kontrak di tangannya. Dia sedikit pun tidak tertarik dengan apa yang dilakukan Shani. Jika Shania ingin belajar piano di siang hari, di waktu itu pula Ronald tidak pulang ke rumah. Tepat ketika Ronald baru saja hendak pergi, di saat itulah dia melihat Alice memasuki rumahnya.Kedua alisnya tampak terangkat karena merasa terkejut. Dia tidak mengira Eddy bisa mencarikan pianis genius kelas dunia sebagai gurunya Shania. Ronald masih ingat betapa kagumnya dia sewaktu pertama kali mendengar permainan Alice.Ronald pun segera menarik kembali langkahnya dan memberi salam kepada Alice, “Selamat datang, Bu Alice.”“Akhirnya kita punya kesempatan untuk bertemu, Pak Ronald. Salam kenal.”Shania dibuat cukup terhera
Seketika itu muncul keinginan untuk menyerah dalam diri Shania. Namun dia berubah pikiran ketika melihat Ronald yang sedang duduk di sofa. Pria yang tadi sedang sibuk membaca berkas pekerjaannya tiba-tiba mendengar ucapan Alice dengan sikap yang begitu serius. Tingkahnya ini membuktikan bahwa Ronald sangat tertarik dengan piano.Shania memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya kembali perlahan sambil berkata, “Bu Alice, aku boleh coba sekali lagi?”“Tentu boleh,” jawab Alice tersenyum, “Pertama-tama kamu harus relax-in badan kamu sendiri, habis itu coba bayangkan diri kamu masuk ke dalam dunia yang ada di dalam komposisi itu. Setelah kamu mulai dapat feeling-nya, bayangkan emosi yang kamu rasain mengalir ke jari seperti air ….”Shania menganggukkan kepala dan sekali lagi mempersiapkan diri di depan piano. Hubungan kakak beradik antara Rachel dan Shania belum hancur saat mereka masih berusia belasan tahun. Rachel berbaik hati mengajarkan Shania dengan penuh kesabaran. Namun saat itu S
Shania merasa kegirangan karena ini pertama kalinya dalam empat tahun lebih, Ronald menanyakan pertanyaan yang berkaitan dengan informasi pribadinya. Mungkinkah ini berarti Ronald mulai tertarik pada Shania?Shania lantas menarik napas panjang dan menjawabnya dengan nada yang lembut, “Iya, waktu itu aku masuk SMA Suwanda karena dapat peringkat pertama di ujian masuk.”“Dulu kamu perna belajar piano?” tanya Ronald lagi.“Waktu masih TK, guruku lihat permainanku lumayan bagus, jadi orang tuaku panggil guru piano buat ngajarin aku. Tapi gara-gara jadwal kuliah yang padat, sempat beberapa tahun aku nggak pernah nyentuh piano lagi,” jelas Shania, “Aku sendiri juga nggak nyangka meski sudah empat tahun nggak main piano, Bu Alice masih mengakui permainanku ….”“Kamu pernah main piano di sekolahmu?”Shania tak habis pikir mengapa Ronald menanyakan pertanyaan yang begitu spesifik, tapi dia menjawabnya saja apa adanya, “Kalau nggak keburu pergi ke pelatihan, aku latihan sendiri di ruang musik s
Saat Shania baru memainkan pianonya, Darren masih bisa menahan diri untuk tidak membuat keributan. Akan tetapi, lama kelamaan wanita itu malah coba-coba mencuri hati Ronald. Dan yang lebih parahnya lagi, Ronald juga menatap wanita jahat itu dengan tatapan mata seperti itu.Kalau sampai Ronald menyukai Shania, mereka berdua pasti akan menikah, dan jika hal itu benar-benar terjadi, maka Darren harus memanggil wanita yang dia benci itu dengan panggilan “Mama”.Darren hanya mau Rachel yang menjadi ibunya.Amarah Darren semakin menjadi ketika membayangkan hal itu, dan dia pun kembali berteriak, “Jangan coba-coba godain papaku dengan main piano di sini! Aku benci banget sama kamu!”Sorot mata Ronald langsung berubah ketika mendengar kata-kata yang Darren ucapkan. Sangat tidak pantas seorang anak berusia empat tahun mengatakan kata-kata seperti “godain”.Ronald pun menatap tajam Darren dan berkata padanya, “Turun! Minta maaf sama mama kamu.”“Sudahlah, Ron. Darren masih kecil, dia memang terl
Sementara itu di TK Golden Sun ….Cahaya matahari yang hangat menyinari anak-anak yang sedang asyik bermain dengan riang gembira di taman. Tampak Michael dan Michelle sedang dikelilingi oleh beberapa teman mereka.“Michael, aku gandeng Michelle sebentar boleh, ya? Aku senang banget main sama adik kamu!”“Rambut Michelle hari ini bagus banget. Michael, kasih kita main sama Michelle juga, dong.”“Jangan pelit, lah. Kami semua nggak bakal nyakitin Michelle, kok.”Michale merasa sangat senang melihat adiknya disukai oleh begitu banyak orang. Dia pun melirik adiknya dan bertanya padanya,” Michelle, kamu mau main sama mereka?”Michelle mengedipkan matanya yang besar itu dan menyapu pandangannya ke wajah-wajah mungil yang ada di sekelilingnya. Senyuman anak-anak memang adalah yang paling polos sedunia. Suka ya suka, tidak suka ya tidak suka. Apa yang mereka rasakan terlihat jelas tanpa ada kebohongan di wajah mereka.Setelah beberapa menit berlalu, barulah Michelle perlahan menganggukkan kep