Mendengar ucapan sang istri membuat Diaz tercengang. Pasalnya nada bicara Karen berubah dan netranya menatap tajam sang suami, penuh kecemburuan. “Apa istriku sedang cemburu saat ini?” Bukan meredakan amarah sang istri, Diaz justru menggoda wanita cantik itu. Karen berdecih, lalu memutar tubuhnya membelakangi suaminya, dengan tangan bersidekap. “Jangan seperti ini, sayang. Aku akan jelaskan.” Diaz menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Tubuh mereka saling menghangatkan satu sama lain, ayah kandung Ken itu memeluk erat tubuh istrinya dari belakang. Musim dingin di kota Tokyo bisa membuat Diaz menggigil kedinginan, tubuh Karen secara tidak langsung menghangatkan tubuhnya. Karen tidak melawan sedikit pun, jujur ia sangat menikmati momen saat ini. Tubuhnya menghangat beriringan dengan detak jantung yang menderu tak beraturan. Untuk beberapa saat mereka menikmati malam yang bersalju itu dalam diam. “Jelaskan, mas. Aku tak suka basa-basi.” Suara Karen memecahkan keheningan. Wan
Mereka semua menatap ke arah yang ditunjuk oleh Arashi.Wanita itu tersenyum dari kejauhan, terlihat cantik dengan dandanan khas public figure. Mini dress yang membalut tubuh membuatnya tampil seksi.“Hai, Yaz. Kapan kamu sampai di Tokyo? Kenapa tidak memberi kabar?”Sapa wanita tersebut pada Diaz, yang tak lain tak bukan adalah Anna.“Semalam,” jawab Diaz singkat.“Kenapa tidak mengabariku, aku bisa menjemputmu.” Suara Anna terdengar manja.“Untuk aku sudah di jemput oleh Karen.”“Karen?” tanya Anna bingung.Anna melihat ke arah pandang Diaz. Walau sedikit canggung wanita itu memaksakan senyum, lalu menyapa Karen.“Oh, hai.” Anna menyapa Karen.“Aku harus memanggilmu siapa sekarang?” tanya Anna pada Karen.Karen memincingkan mata sebelah.“Kita belum berkenalan dengan benar, aku Anna.”Wanita itu mengulurkan tangannya pada Karen.“Karen Esme, kau bisa memanggilku Karen.” Istri Diaz itu membalas uluran tangan Anna
“Selamat dan sukses untuk peluncuran produk barunya tuan dan nyonya Kobayashi.” Karen dan Arashi menyapa pemilik acara.Wanita paruh baya itu tak henti-hentinya memuji dan menepuk-nepuk punggung tangan Karen.“Apa kau benar-benar tidak mau menjadi menantuku?” tanya nyonya Kobayashi pada Karen.Diaz yang mendengar pertanyaan dari wanita paruh baya itu terbatuk. Arashi hanya melirik sekilas pada adik iparnya itu.“Nyonya masih saja suka menggoda saya,” balas Karen.“Sudahlah, sayang. Kau jangan menggoda nona Karen,” ucap tuan Kobayashi.Setelah sedikit berbincang dengan sepasang paruh baya itu, Karen menyapa yang lain, termasuk suaminya.“Salamat tuan Diaz Pradana, semoga semakin sukses.”“Terima kasih, nona Karen Esme. Semua berkat Anda.” Diaz mengerlikan sebelah matanya lalu meraih tangan sang istri, kemudian mencium punggung tangan Karen. Banyak mata yang menangkap hal tersebut.“Anda terlalu memuji tuan Diaz.”“Selamat menikm
Anna terdiam, tak langsung menjawab pertanyaan dari Diaz. Suara keramaian pusat perbelanjaan yang menyamarkan keheningan di antara mereka berdua. “Menurutmu aku harus bagaimana, Yaz?” tanya Anna frustasi. “Kau yakin akan mendengarkan opiniku?” “Entahlah, setidaknya aku ingin kamu mendukungku, walau hanya sekali.” Tak dapat di pungkiri curahan hati Anna cukup membuatnya seperti dihujam anak panah tepat di jantung. Karena keegoisannya semua terkena imbasnya. Selama ini Diaz tahu semua kesulitan Anna, apa yang terjadi dengan wanita tak pernah luput dari pengawasannya. Diaz selalu menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan Anna, termasuk saat detik-detik kehancuran wanita itu. Beruntung pria itu berhasil. Jelas semua itu tanpa sepengetahuan Anna. Bukan apa-apa, semua itu Diaz lakukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawabanya kepada Anna yang secara tidak langsung ikut terjerumus dalam masalah yang ia timbulkan. Selama ini, Diaz sengaja menjauh dari Anna, ia tidak ingin wanita itu
“Oh, tidak apa-apa, Yaz. Semuanya sudah aman terkendali, aku tadi sempat tergelincir. Salju cukup tebal menyelimuti jalan di beberapa lokasi,” tutur Glen.Karen melihat perubahan mimik wajah Diaz yang berubah khawatir. “Ada apa mas?” tanya Karen.Diaz belum manjawab, ia melanjutkan percakapannya dengan Glen.“Dimana lokasimu aku akan menyusul?”“Tidak perlu Yaz, aku sudah dalam perjalanan mungkin 10 menit lagi aku akan sampai.”Setelah menutup panggilan, Karen menatap Diaz penuh tanya. Pria itu pun menjelaskan apa yang terjadi.Benar saja, tak berselang lama Glen sampai di mansion. Si kecil Ken menyambut dengan gembira walau setengah mengomel karen pria itu tak kunjung datang, tanpa tahu ada kejadian yang tak terduga yang terjadi padanya.Tak ada yang membahas apa pun setelah mereka berada di meja makan. Yang ada hanya memakan semua daging yang sudah di panggang oleh Arashi.Setelah kenyang dan mengantuk, Ken mulai merengek padab Arashi untuk menemaninya tidur, dan membacaka
Suara itu terdengar sangat seksi di telinga Diaz. Membuat jiwa pria itu menginginkan lebih. Siapa yang tidak tergoda melihat tubuh indah wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Terlebih lagi mereka hanya berdua di dalam kamar yang temaram dan aroma terapi yang menyejukkan jiwa. “Ah, Karen Esme, kamu memang wanita penggoda, lihatlah aku bahkan tak bisa berkutik di depanmu.” jerit hati Diaz. Istrinya memang selalu pandai membuatnya mabuk kepayang. Netra mereka bersitatap saling memuja. Hasrat dalam diri Diaz mulai tergoda. Jiwa gersangnya rindu akan kesejukkan. “Karen Esme, maukah kamu melewati malam panas ini denganku?” tanya Diaz. Lebih baik ia menyakan terlebih dulu kesediaan sang istri sebelum bertindak terlalu jauh. Meski jiwanya meronta, ia tidak ingin memaksa. Kerelaan hati adalah hal utama, agar mereka tak ada yang terluka. Tak ada jawaban dari Karen, ia hanya menatap suaminya dengan sesekali berkedip dan tersenyum menggoda. “Aku anggap kamu setuju,” ucap Diaz. Pria
Karen memandang wajah tampan suami, lalu tersenyum semanis mungkin. Kemudian mendekatinya dan menghadiahi suaminya itu cubitan maut di pinggang. Diaz reflek mengaduh kesakitan. “Karen Esme!” Pekik Diaz, geram. Karen malah menjulur lidahnya seperti anak kecil. “Berani kamunya.” Diaz mengangkat tubuh Karen, wanita itu tak berhenti berteriak meminta suaminya untuk menurunkannya. “Akan ku turunkan di ranjang,” balas Diaz seraya melangkah menuju kamar, lalu mengunci pintu. “Gila, Diaz benar-benar gila,” batin Karen. Walau pun hatinya terus memaki suaminya, tapi tubuhnya tak mampu menolak pesona seorang Diaz Pradana. “Terima kasih, sayang.” Diaz mengecup kening sang istri. Karen Esme telah menjadi candu bagi Diaz Pradana. Diaz dan Glen mengantar Karen ke kantornya. Untuk pertama kalinya Karen datang ke kantor dengan kondisi tidak bertenaga. Beruntung ada di dunia ini ada yang namanya make up. Dengan benda-benda tersebut Karen berhasil menyamarkan kekurangan pada wajahnya, seperti
Diaz menghela nafas untuk mengurangi sesak dalam dadanya. Ia bahkan tak bisa mendefinisikan rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar.Ingin terus membatah ucapan wanita paruh baya itu, tapi ia tidak bisa melakukannya. Mau bagaimanapun ibu tiga anak itu adalah ibu kandungnya, seburuk apapun perilaku sang ibu.Terlebih Yunita sekarang sangat rapuh, baik fisik maupun jiwanya. Sekarang ini mengalah adalah jalan yang tepat, ia tidak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.Diaz memilih memutus panggilan secara sepihak. Bertemu secara langsung saja sulit untuk bisa berbicara dengan baik, apalagi melalui sambungan telepon, tidak akan pernah menemukan penyelesaian, justru semakin runyam. Diaz mengerang kesal.“Saranku segera selesaikan semuanya, Yaz, jangan menunggu waktu yang tepat. Jangan berlarut-larut semakin lama kamu menyelesaikannya, semakin timbul masalah baru. Karena kalau tidak dimulai tak akan pernah selesai.”“Li
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,