Karen memandang wajah tampan suami, lalu tersenyum semanis mungkin. Kemudian mendekatinya dan menghadiahi suaminya itu cubitan maut di pinggang. Diaz reflek mengaduh kesakitan. “Karen Esme!” Pekik Diaz, geram. Karen malah menjulur lidahnya seperti anak kecil. “Berani kamunya.” Diaz mengangkat tubuh Karen, wanita itu tak berhenti berteriak meminta suaminya untuk menurunkannya. “Akan ku turunkan di ranjang,” balas Diaz seraya melangkah menuju kamar, lalu mengunci pintu. “Gila, Diaz benar-benar gila,” batin Karen. Walau pun hatinya terus memaki suaminya, tapi tubuhnya tak mampu menolak pesona seorang Diaz Pradana. “Terima kasih, sayang.” Diaz mengecup kening sang istri. Karen Esme telah menjadi candu bagi Diaz Pradana. Diaz dan Glen mengantar Karen ke kantornya. Untuk pertama kalinya Karen datang ke kantor dengan kondisi tidak bertenaga. Beruntung ada di dunia ini ada yang namanya make up. Dengan benda-benda tersebut Karen berhasil menyamarkan kekurangan pada wajahnya, seperti
Diaz menghela nafas untuk mengurangi sesak dalam dadanya. Ia bahkan tak bisa mendefinisikan rasa yang berkecamuk dalam hatinya. Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar.Ingin terus membatah ucapan wanita paruh baya itu, tapi ia tidak bisa melakukannya. Mau bagaimanapun ibu tiga anak itu adalah ibu kandungnya, seburuk apapun perilaku sang ibu.Terlebih Yunita sekarang sangat rapuh, baik fisik maupun jiwanya. Sekarang ini mengalah adalah jalan yang tepat, ia tidak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.Diaz memilih memutus panggilan secara sepihak. Bertemu secara langsung saja sulit untuk bisa berbicara dengan baik, apalagi melalui sambungan telepon, tidak akan pernah menemukan penyelesaian, justru semakin runyam. Diaz mengerang kesal.“Saranku segera selesaikan semuanya, Yaz, jangan menunggu waktu yang tepat. Jangan berlarut-larut semakin lama kamu menyelesaikannya, semakin timbul masalah baru. Karena kalau tidak dimulai tak akan pernah selesai.”“Li
Karen yang merasakan tubuhnya letih dan mengantuk memilih menyandarkan tubuhnya di jok mobil yang baru saja ia setting lebih rendah. Wanita itu pun memejamkan mata.“Mom kamu tidur kah?” tanya Ken, yang tak mendengar ibunya menanggapi celotehannya. Karen pun hanya berdehem pelan.“Mom, handphonenya berdering,” seru Ken beberapa saat kemudian. Ia mendengar suara khas nasa dering milik Karen. Karena tas ibunya itu di letakkan di jok belakang di samping Ken duduk.“Siapa yang menelepon?” tanya Karen dengan suara yang sudah setengah tidur.“Dad, mom,” jawab Ken.“Angkatlah, sayang. Mom ngantuk sekali,” Bocah cilik itu mengatakan tidak mau mengangkat panggilan tersebut. Ternyata Ke masih sebal dengan kejadian tadi pagi. Gara-gara ayahnya, ia harus sarapan dan berangkat sekolah tanpa sang ibu.Mendengar ucapan anaknya, seketika mata yang mulai terlelap itu langsung melek.Anaknya itu sungguh pintar jika mengingat kesalahan orang lain sama persis seperti ayah kandungnya.Karen m
Alarm Karen berbunyi mengelitik telinga. Semalam ia sengaja menyalakan alarm tersebut. Niat hati ingin bangun lebih pagi dan membuat sarapan. Ia tak ingin terus-terusan mengandalkan sang kakak, karena cepat atau lambat ibu satu anak itu akan kembali menjadi seorang istri.Ia pun melenguh, tubuhnya terasa berat.“Apa aku tindihan?” pikir Karen.Perlahan wanita itu membuka mata, melihat seluruh ruangan. Dalam cahaya yang temaram netra Karen menangkap sosok yang berbaring di sampingnya. Kaget.“Aaaaaaa.” Karen berteriak sejadinya lalu mendorong kuat sang suami, nyaris saja Diaz terjatuh.“Astaga, kenapa tenagamu kuat sekali, telingaku bisa tuli gara-gara suaramu,” ucap Diaz serak, khas bangun tidur.Meski begitu pria itu tetap memejamkan mata, lalu mengeser tubuhnya mendekat ke arah sang istri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya karen yang masih menetralkan detak jantungnya karena kaget.“Apa salahnya aku di kamar istriku sendiri?” Diaz memeluk pinggang sang istri.“Setidaknya ka
Prank!Gelas yang berada di tangan Karen melesat jatuh ke lantai, hancur berkeping-keping. Mata wanita itu tidak fokus, dan detak jantungnya menjadi tak karuan.“Astaga, Karen. Ada apa?” Arashi terlihat panik, bukan karena gelas yang pecah, melainkan melihat adiknya seperti orang linglung.Karen tersadar lalu menggeleng lemah.“Entahlah kak, sepertinya gelas itu licin, jadi terlepas dari genggaman, maafkan aku. Aku akan segera membersihkannya,” ucap Karen ragu-ragu.Arashi menghentikan pergerakan adiknya yang akan mengambil sapu dan serok sampah. Kakaknya menyuruh Karen untuk pergi, ia yang akan membersihkan pecahan beling itu.Arashi tidak ingin mengambil resiko tangan adiknya terkena pecahan kaca, karena terlihat jelas Karen sedang tidak fokus.Karen yang masih haus kembali mengambil gelas yang baru lalu menuang air ke dalamnya, meminum air itu hingga habis. Perasaannya jauh lebih baik, sekelebat pikiran buruk silih berganti di kepalanya, seger
Seharian ini Karen tidak fokus, hatinya terlalu gelisah. Sejak keberangkatan sampai saat ini suaminya sama sekali tidak menghubugi, nomornya juga tidak aktif. “Perasaanku tidak enak, apa kamu baik-baik saja mas?” monolog Karen dalam hati.“Ada apa? Tubuhmu di sini tapi jiwamu entah di mana,” tanya Arash seraya menyentuh pundak adiknya, karena sejak tadi tidak ada respon ketika ia memanggil.Karen terkesiap, lalu berkata, “Entahlah kak, aku hanya merasa gelisah.”“Apa suamimu belum memberi kabar?” Karen hanya mengangguk lemah.“Ayo!” ajak Arashi. Wanita itu hanya memandang bingung ke arah kakaknya. Seakan tahu kebingungan adiknya, Arashi mengetuk-ngetuk jam tangannya. Karen melihat jam di ponselnya, sudah waktunya pulang. Ia juga harus menjemput Ken, Karen mengusap pelan wajahnya.Arashi hanya bisa menggelengkan kepala, heran.Di sepanjang wanita itu hanya memejamkan mata tapi tidak bisa tidur. Hal yang kurang lebih sama juga dialami oleh Ken
“Aku ingin membuat 1000 bangau kertas untuk daddy, mom.” Ucap Ken setelah beberapa lama bocah itu terdiam. Karen nampak berpikir, “Untuk apa, sayang?” tanya Karen. “Katanya dengan membuat 1000 bangau dari kertas origami bisa mengabulkan semua permintaan, aku akan minta kesembuhan untuk daddy,” jawab Ken polos. Karen tersenyum lantas mengusap puncak kepala anaknya. “Daddy pasti akan senang,” lirih Karen. Bandara Soekarno Hatta Karen, Ken, dan Arashi telah sampai di Jakarta. Mereka sedang menuju ke area penjemputan, dari kejauhan nampak seorang wanita tak henti-hentinya melambaikan tangan ke arah mereka. Ratna—ibu kandung Arashi. “Arashi!” seru Ratna lalu memeluk erat anaknya. Ratna memegang kedua pipi Arashi, matanya tampak berkaca-kaca. Wanita itu pastilah sangat rindu dengan anak kandungnya. “Mami, apa kabar?” tanya Arashi. “Kabar baik, Ras. Mami sangat merindukanmu.” Pertemuan itu sangat mengharukan, Ratna bahkan sampai menitikan air mata. Usai melepas rindu dengan anakny
Dalam perjalanana menuju rumah sakit Ken terus berceloteh, bocah cilik itu tak henti-hentinya memandangi hasil karyanya, bangau kertas warna-warni.“Tuhan, sembuhkan daddyku!” lirih hati Ken.Rain meminta untuk tetap menunggu di mobil saat mereka sudah berada di parkiran. Dari dalam mobil Arashi bertugas mengawasi mertua Karen, memastikan mereka sudah benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit.Bergegas Rain keluar dan menuju lantai dimana Diaz di rawat. Meninta kedua orang tua itu untuk pulang, mengingat Yunita yang sudah dari pagi berjaga.Hari ini Rain sengaja bertukar posisi dangan Ellen, tanpa wanita itu curiga sedikipun.Dengan hati tak karuan, Karen menggandeng Ken memasuki ruang tempat Diaz dirawat. Hatinya seperti diiris-iris melihat kondisi sang suami penuh dengan alat bantu.Si kecil Ken menatap sang ayah lalu melihat ke ayah ibunya.“Hai, mas. Apa kabar? Apa kamu tak merindukanku? Hingga aku harus datang kemari?”Si kecil Ken juga
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,