"Masakan Ibu enak sekali," puji Miranda. "Iya, Mir. Masakan ibuku memang yang paling nikmat di dunia ini," kata Mario yang duduk di samping Miranda. Keluarga mereka sedang menikmati menu makan siang yang cukup istimewa. Nasi hangat, ayam bakar, lalapan, dan sambal sudah terhidang di hadapan mereka. "Wah, kamu terlalu memuji, Mir. Ibumu juga pasti pintar memasak. Kapan-kapan kami akan berkunjung ke rumahmu untuk berkenalan dengan orang tuamu," kata Hana. "Uhuk...." Miranda terkejut mendengar ucapan Hana. Ia belum siap jika keluarga Mario benar-benar akan datang ke rumahnya. Ibu kandungnya pasti akan terkejut dan menolak mentah-mentah untuk masuk dalam skenario Sandra. Mario mungkin akan marah jika melihat kenyataan bahwa Miranda bukanlah gadis sederhana yang mempunyai dua adik kecil. "Kenapa, Mir? Hati-hati makannya!" Mario menyodorkan segelas air putih untuk Miranda. Miranda segera meminum air itu dan berusaha kembali menguasai keadaan. "Iya, Bu. Masakan ibuku juga enak. Bagi
"Apa keluargamu menyukai aku?" tanya Miranda siang itu. Seperti biasanya, Miranda dan Mario makan siang bersama di kantin. "Tentu saja. Ibu memujimu karena kamu gadis yang cantik, pintar, dan menyenangkan. Penampilanmu kemarin sangat sempurna, Mir," jawab Mario. "Ah, aku lega mendengarnya. Aku gelisah memikirkan ini sepanjang malam. Aku takut ada sikapku yang gak berkenan di hati ibu, ayah, atau adikmu."Mario tersenyum dan menatap Miranda. "Tenang saja, Sayang. Orang tuaku selalu mendukung pilihanku, apa yang membuatku bahagia. Mereka gak menerapkan banyak standar dan kriteria untuk calon menantu mereka. Yang terpenting adalah hati kita yang saling mencintai dengan tulus.""Baguslah, aku tenang mendengarnya, Mas. Apa mereka setuju kalau kita segera menikah?" Pertanyaan Miranda itu membuat mata Mario terbelalak, karena gadis yang di matanya sederhana dan manis itu justru ingin cepat meresmikan hubungan mereka. "Apa kamu yakin ingin segera menikah denganku? Apa ini gak terlalu ce
Sebelum wanita paruh baya itu memberi jawaban, ponsel Miranda berdering keras. Ia segera menjawab panggilan telepon yang ternyata dari Sandra itu. "Halo, Tante. Aku sudah sampai di alamat yang Tante berikan," katanya. "Bagus! Apa kamu sudah ketemu Bu Ijah dan kedua anaknya?" tanya Sandra. "Iya, Tante, tapi aku bingung. Kenapa aku harus bertemu dengan mereka di rumah ini?" Miranda kembali menatap wanita yang duduk di hadapannya itu. "Mereka adalah calon keluarga barumu. Cobalah untuk saling mengenal dan memahami dengan baik tentang peran kalian masing-masing! Ingat, jangan sampai kalian melakukan kesalahan sekecil apapun! Aku bisa membatalkan perjanjian dan uang itu gak akan aku berikan kalau kalian sampai gagal.""Apa?!" Miranda benar-benar terkejut mendengar ucapan Sandra. Ia tidak menyangka kalau wanita itu menyusun skenario dengan sangat baik dan memperhatikan semua hal kecil dengan teliti. "Kenapa kaget begitu? Tante hanya memberikan solusi atas keluhanmu kemarin. Katamu, gak
"Sayang, kapan aku bisa bertemu dengan ibumu?" tanya Mario untuk yang kesekian kalinya. Malam itu mereka sedang ada di sebuah warung tenda sederhana di tepi jalan. Tapi"Mm... Akhir pekan besok bisa koq, Mas. Aku baru menyampaikan semuanya pada ibu. Ibu senang sekali dan gak sabar untuk bertemu denganmu, tapi...." jawab Miranda. "Tapi kenapa?" tanya Mario. "Ibu gak percaya diri bertemu dengan kamu dan nantinya kalau keluargamu akan datang ke rumah. Kami benar-benar keluarga sederhana dan sangat jauh jika dibanding dengan keluargamu, Mas. Rumah kami kecil dan apa adanya. Aku dan ibu ragu, apa kamu dan keluargamu bisa menerima keadaan kami?" Miranda menundukkan kepalanya. Mario menggenggam tangan Miranda yang duduk di hadapannya. "Kenapa kamu berpikir begitu? Aku mencintai kamu apa adanya. Aku tulus dan pasti bisa menerima keadaanmu dan keluargamu, Mir. Miranda mengukir senyum termanis di bibirnya. Ia berharap pertemuan yang telah ia rancang nanti akan berjalan dengan lancar. ___
Teriakan Miranda membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkejut. Mario tidak menyangka kalau gadis yang biasanya bertutur kata lembut dan sopan itu bisa semarah itu pada dua anak kecil yang diakuinya sebagai adik kandungnya. Bu Ijah tak kalah terpana dan menahan rasa kesal pada Miranda. Ajeng dan Lilis segera berlari dan memeluk Bu Lilis dari belakang. Untuk beberapa saat suasana di ruangan itu menjadi hening dan aneh. "Mir, jangan membentak adikmu seperti itu! Mereka hanya anak kecil," kata Mario. Miranda menghela nafas panjang dan takut ulahnya membuat Mario merasa curiga. "Maaf, Mas. Aku gak sengaja membentak mereka, tapi mereka sangat berisik dan mungkin sangat mengganggu kamu.""Itu bukan masalah, Mir. Aku gak terganggu dengan sikap mereka. Aku juga punya adik, dan kami dahulu biasa membuat keributan seperti itu," kata Mario. Miranda berusaha mengendalikan dirinya. Selama ini ia hidup sebagai anak tunggal, ia biasa menikmati semuanya sendiri, tanpa terganggu oleh kakak
"Malam ini kamu ada acara, Nak?" tanya Mama David saat sarapan pagi bersama. "Sepertinya gak ada, Ma. Ada apa?" tanya David sambil mengoleskan selai nanas di roti tawarnya. "Kalau begitu, nanti kita jenguk Tante Sandra, ya.""Malas ah, Ma. David masih belum mau menemui Tante Sandra," jawabnya. "Sayang, sudah lama kamu gak menjenguk dia. Terakhir kali mama ke rumahnya, dia menanyakan kamu," kata Mama David. "Apa yang dia tanyakan? David gak suka bertemu dengan orang yang bermuka dua, Ma."Mama David menggelengkan kepalanya dan menatap putranya. "Sayang, dia itu tantemu. Kita masih ada hubungan darah dengannya. Dia memang pernah melakukan kesalahan besar, tapi dia sudah menyadari kesalahannya dan bertobat. Gak ada salahnya kalau kita memberi dia kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik bukan?" "Entahlah, Ma, tapi David gak percaya kalau manusia bisa berubah dengan cepat. Tante Sandra sudah menghancurkan keluarga Riana. Beruntung akhirnya keluarga itu bisa kembali utuh setelah m
Sandra tersenyum tipis, ia tidak menjawab perkataan David yang tertuju padanya. Namun David bisa melihat tatapan mata Sandra masih menyeramkan seperti dahulu. Sekalipun duduk lemah di kursi roda, tatapan mata itu tetap mengintimidasi dan membuat David merasa ada yang berbeda dengannya. "Vid, kenapa bicara seperti itu? Jangan menyinggung dan mengungkit kembali apa yang sudah terjadi. Jaga perasaan Tante Sandra!" bisik Mama David. "Maaf, Ma," jawab David singkat. Pembicaraan Mama David dan Sandra kembali berlangsung. David tak lagi terlibat pembicaraan dengan mereka. Ia mengalihkan perhatiannya dan membalas satu per satu pesan yang masuk ke ponselnya. Sesekali David menatap Tante Sandra yang duduk di kursi rodanya. Menurut hasil pengamatan singkatnya saat itu, kali ini Tante Sandra memang tidak sedang berpura-pura seperti dahulu. Tubuh dan tulang kaki Tante Sandra terlihat lebih kurus, seperti tidak terbiasa digunakan untuk berjalan. Secara rutin Tante Sandra juga melakukan pemerik
Pagi itu David sedang menyetir mobilnya dalam perjalanan ke kantor. Semalam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena perkataan Tante Sandra terus terngiang di benaknya. Sekeras apapun David berusaha untuk menepis pikiran negatif itu, namun tetap saja ia kembali memikirkannya lagi. Ada sedikit rasa sesal, karena ia mau ikut menemui Tante Sandra semalam. Ternyata walaupun kondisi fisik Tante Sandra terus melemah, wanita itu tetap mempunyai daya untuk mengintimidasi siapa saja. Dering ponsel David membuyarkan lamunannya. Ia menatap layar benda pipih itu dan melihat foto dan nama Riana berkedip di layar. Oleh karena pikirannya yang sedikit kacau, David sampai melupakan kebiasaannya untuk menyapa Riana di pagi hari. "Halo," sapa David. "Halo, Mas. Ada dimana?" tanya Riana. "Aku dalam perjalanan ke kantor, Sayang. Maaf karena aku gak sempat meneleponmu tadi pagi. Aku bangun kesiangan dan langsung mandi," kata David. "Oh, iya gak apa-apa, Mas. Bagaimana pertemuan dengan Tante Sandra