Mario tetap tidak bisa menghubungi Miranda sampai keesokan harinya. Ia terus mengurung dirinya di dalam kamar dan memandangi cincin yang sudah ia siapkan untuk sang kekasih. Hana dan Riana sudah mencoba membujuk Mario untuk keluar dari kamar dan makan, tetapi ia masih menolak. Hana bingung harus berbuat apa. Hatinya terasa sakit saat melihat putra tercintanya kembali terpuruk dan kehilangan semangat hidup. Hari Senin pagi, Mario berangkat pagi-pagi ke kantornya. Ia mencari keberadaan Miranda di ruangannya. Akan tetapi, lagi-lagi Mario tidak berhasil menemukan Miranda. Miranda tidak masuk kerja tanpa meminta ijin atau keterangan. Pihak perusahaan juga tidak dapat menghubungi Miranda. "Aneh sekali! Walaupun kalian ada masalah pribadi, seharusnya Miranda bersikap profesional di kantor ini. Kenapa dia tiba-tiba membolos dan tidak memberi tahu siapapun? Apa kalian bertengkar sebelumnya?" tanya karyawan bagian personalia. "Sama sekali gak ada pertengkaran, Bu. Saya juga tidak bisa meng
Mario langsung menghubungi nomor ponsel pemilik rumah itu. Pemiliknya adalah seorang pria paruh baya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Tentu bukan hal yang mudah bagi Mario untuk mendapatkan informasi mengenai siapa penyewa rumah itu. Pemilik rumah itu juga tidak mempunyai informasi detail. Ia hanya mengatakan bahwa yang menelepon dirinya adalah seorang wanita. Tanpa banyak bernegosiasi, wanita itu langsung menyetujui untuk membayar sewa rumah itu secara bulanan. Rumah itu sudah usang dan kuno. Perabotan di dalamnya juga sudah lapuk tergerus waktu, karena itu pemilik rumah tidak memberikan tarif sewa yang tinggi. Ia justru terkejut karena masih ada orang yang mau menyewa rumah itu apa adanya, tanpa meminta renovasi atau pertimbangan lainnya. Hanya tiga puluh menit setelah telepon itu, wanita itu langsung mentransfer uang sewa yang telah mereka sepakati. Pemilik rumah itu tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang siapa yang kemudian tinggal di rumahnya. Saat Miranda dan Bu Ijah
"Siapa yang merencanakan semua ini?" tanya David. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Mereka tidak membayangkan, ada orang yang begitu licik dan bisa melakukan semua itu. "Bu, saya benar-benar menghormati Ibu sebagai ibu dari Miranda. Kenapa Ibu tega berbohong pada saya?" tanya Mario sambil menatap Bu Ijah. "Saya terpaksa melakukannya, Nak. Saya punya dua anak dan gak punya suami. Selama ini kami hidup kekurangan dan tidur di mana saja. Saya menerima penawaran itu, karena memikirkan anak-anak saya. Saya gak berpikir kalau orang yang menyuruh saya akan bertindak sejauh itu dan menipu Nak Rio," jawab Bu Ijah. "Tapi gak mungkin kalau Ibu sama sekali gak tahu apa-apa. Dimana kita bisa menemukan Miranda?" tanya Mario. "Saya gak tahu alamat rumahnya, Nak, tapi...." "Tapi apa, Bu?" "Kemungkinan Miranda tinggal gak terlalu jauh dari rumah itu. Saat Nak Rio dan Nak David datang ke rumah secara tiba-tiba, ibu langsung menelepon dia. Sat itu dia langsung datang dengan cepat," ter
Wanita cantik itu tercengang untuk beberapa saat. Lalu ia tertawa dan menggelengkan kepala. "Kamu pasti bohong. Mira gak pernah bercerita tentangmu.""Itu benar, Tante. Saya akan menunjukkan beberapa foto saya bersama Miranda. Silakan Tante nilai sendiri! Apa benar dia adalah Mira, anak Tante?" Mario menyerahkan ponselnya pada Tante Lola. Kening Tante Lola berkerut saat melihat foto-foto kebersamaan Mario dan Miranda. "Benar ini Mira anak tante, tapi sejak kapan dia menjalin hubungan denganmu? Setahu tante, nama pacarnya adalah Zaky.""Zaky?" Mario berusaha mengingat nama yang sepertinya tidak asing baginya. "Sepertinya dia pria yang pernah mengantar Miranda ke kantor.""Tante gak tahu persis bagaimana hubungan mereka saat ini. Mira akhir-akhir ini agak tertutup. Tante sibuk menjalankan bisnis karena Papa Mira sudah meninggalkan kami berdua. Sepanjang pengamatan tante selama ini, Mira dan Zaky sudah menjalin hubungan serius."Mario memijat pelipisnya. Di dalam hati ia masih berusah
Cindy sedang dirias di kamarnya. Hari itu acara pernikahannya dengan Raka akan digelar. Beberapa kali air matanya meleleh di luar kendalinya. Sang penata rias, sahabat Cindy sendiri menggelengkan kepalanya, sudah beberapa kali ia mengingatkan agar Cindy tidak menangis lagi. "Cin, kenapa menangis lagi? Riasanmu bisa rusak karena air mata. Kami sudah berusaha menutupi matamu yang bengkak karena semalam pasti kamu menangis terus," katanya. Cindy menghapus air matanya dengan tisu. "Maaf. Kamu tahu bahwa ini gak mudah bagiku. Aku gak menginginkan pernikahan ini.""Iya, aku tahu, tapi semuanya sudah terjadi. Menurutku, Raka juga pria yang baik. Aku yakin dia bisa membuatmu bahagia," jawab Almira, teman Cindy itu. "Aku gak tahu, Mir. Aku seperti patung yang berusaha mengikuti semua kemauan orang tua. Aku merasa hatiku kosong dan hampa. Aku gak bisa merasakan kebahagiaan atau apapun lagi," jawabnya. Almira menghela nafas panjang, menatap prihatin teman yang sering menjadi rekan kerjanya s
Dengan sigap Raka mengangkat tubuh Cindy dan membawanya ke ruangan lain. Semua yang hadir terkejut dan panik. Orang tua Cindy pun segera berlari dan menyusul di belakang Raka. Suasana menjadi heboh karena acara harus tertunda. Pembawa acara meminta semua tamu undangan untuk duduk dan tenang, tetapi tetap saja semua tamu heboh dan memperbincangkan kejadian tak biasa itu. "Cin, bangun!" Raka menggenggam tangan Cindy setelah ia membaringkannya di sofa. Ibu Cindy mendekat dan menangis. Ia berusaha menyadarkan Cindy dengan mengguncang tubuhnya. "Bangun, Nak! Kamu kenapa?""Apa kita perlu ke rumah sakit?" Tante Cindy muncul dan melihat keadaan Cindy. Beberapa orang terdekat berusaha menyadarkan Cindy. Raja sedikit menjauh dari kerumunan, ia sangat terkejut karena acara yang ia impikan harus berjalan tak sesuai dengan rencananya. Ia melihat wajah Cindy yang pucat, walaupun riasannya masih memoles cantik wajahnya. Ia menghela nafas panjang dan duduk di kursi yang tersedia sambil melongga
Seketika ruangan itu menjadi ricuh karena pernyataan yang dilontarkan oleh Andri. Ada yang berbisik-bisik, ada yang berteriak mempertanyakan perubahan keputusan mempelai pria. Cindy terpaku di tempatnya berdiri dan menatap Raka. Ia seperti belum menangkap dengan jelas apa yang sedang dan akan terjadi nanti. Ada gejolak rasa yang tak terkatakan di hatinya. Ibu Cindy seolah kehilangan kekuatannya. Tubuh dan kakinya mendadak rapuh dan lemah. Saat ini justru Ibu Cindy yang nyaris pingsan, sehingga harus ditopang oleh salah satu kerabat. Salah seorang paman Cindy sangat marah dan langsung maju ke depan. Pria paruh baya itu mencengkeram kerah kemeja Raka dan mendaratkan pukulan keras di wajahnya. Ia berteriak dengan suara keras. "Kurang ajar kamu! Kamu sengaja ingin mempermalukan keluarga ini?" Tak puas memukul Raka satu kali, Paman Cindy mendorong Raka dengan keras, sehingga ia jatuh menimpa bunga-bunga indah yang terpajang di pelaminan. Semua yang ada di ruangan itu berteriak karena
"Aku benar-benar gak tahu, Cin," jawab Raka. Bapak dan paman Cindy, juga beberapa orang lain mendekati Raka dan mendesaknya. "Gak mungkin kamu gak tahu siapa orang yang menyuruhmu, bukan? Pasti kalian sering berkomunikasi."Seorang pria mencengkeram kerah kemeja Raka dan mengepalkan tangannya. "Katakan dengan jujur siapa orang yang menyuruhmu! Berapa bayaranmu untuk melakukan semua ini?"Orang tua Raka tak kalah terpukul dengan pengakuan putranya. Mereka juga sama sekali tidak mengetahui bahwa Raka menyimpan rahasia besar itu di hatinya.Mereka berusaha menghalangi orang yang ingin memukul Raka, tetapi di sisi lain, mereka juga sadar bahwa Raka sudah melakukan kesalahan besar. Jika kedua orang tua Raka ada di posisi yang sebaliknya, tentu mereka juga akan melakukan hal yang sama. Raka mengangkat kedua tangannya dan menjawab lirih bahwa ia benar-benar tidak mengenal wanita yang memberi perintah itu. "Aku benar-benar gak tahu, Om. Sungguh bagiku bukan uang yang terpenting, aku benar-b
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah