Dengan sigap Raka mengangkat tubuh Cindy dan membawanya ke ruangan lain. Semua yang hadir terkejut dan panik. Orang tua Cindy pun segera berlari dan menyusul di belakang Raka. Suasana menjadi heboh karena acara harus tertunda. Pembawa acara meminta semua tamu undangan untuk duduk dan tenang, tetapi tetap saja semua tamu heboh dan memperbincangkan kejadian tak biasa itu. "Cin, bangun!" Raka menggenggam tangan Cindy setelah ia membaringkannya di sofa. Ibu Cindy mendekat dan menangis. Ia berusaha menyadarkan Cindy dengan mengguncang tubuhnya. "Bangun, Nak! Kamu kenapa?""Apa kita perlu ke rumah sakit?" Tante Cindy muncul dan melihat keadaan Cindy. Beberapa orang terdekat berusaha menyadarkan Cindy. Raja sedikit menjauh dari kerumunan, ia sangat terkejut karena acara yang ia impikan harus berjalan tak sesuai dengan rencananya. Ia melihat wajah Cindy yang pucat, walaupun riasannya masih memoles cantik wajahnya. Ia menghela nafas panjang dan duduk di kursi yang tersedia sambil melongga
Seketika ruangan itu menjadi ricuh karena pernyataan yang dilontarkan oleh Andri. Ada yang berbisik-bisik, ada yang berteriak mempertanyakan perubahan keputusan mempelai pria. Cindy terpaku di tempatnya berdiri dan menatap Raka. Ia seperti belum menangkap dengan jelas apa yang sedang dan akan terjadi nanti. Ada gejolak rasa yang tak terkatakan di hatinya. Ibu Cindy seolah kehilangan kekuatannya. Tubuh dan kakinya mendadak rapuh dan lemah. Saat ini justru Ibu Cindy yang nyaris pingsan, sehingga harus ditopang oleh salah satu kerabat. Salah seorang paman Cindy sangat marah dan langsung maju ke depan. Pria paruh baya itu mencengkeram kerah kemeja Raka dan mendaratkan pukulan keras di wajahnya. Ia berteriak dengan suara keras. "Kurang ajar kamu! Kamu sengaja ingin mempermalukan keluarga ini?" Tak puas memukul Raka satu kali, Paman Cindy mendorong Raka dengan keras, sehingga ia jatuh menimpa bunga-bunga indah yang terpajang di pelaminan. Semua yang ada di ruangan itu berteriak karena
"Aku benar-benar gak tahu, Cin," jawab Raka. Bapak dan paman Cindy, juga beberapa orang lain mendekati Raka dan mendesaknya. "Gak mungkin kamu gak tahu siapa orang yang menyuruhmu, bukan? Pasti kalian sering berkomunikasi."Seorang pria mencengkeram kerah kemeja Raka dan mengepalkan tangannya. "Katakan dengan jujur siapa orang yang menyuruhmu! Berapa bayaranmu untuk melakukan semua ini?"Orang tua Raka tak kalah terpukul dengan pengakuan putranya. Mereka juga sama sekali tidak mengetahui bahwa Raka menyimpan rahasia besar itu di hatinya.Mereka berusaha menghalangi orang yang ingin memukul Raka, tetapi di sisi lain, mereka juga sadar bahwa Raka sudah melakukan kesalahan besar. Jika kedua orang tua Raka ada di posisi yang sebaliknya, tentu mereka juga akan melakukan hal yang sama. Raka mengangkat kedua tangannya dan menjawab lirih bahwa ia benar-benar tidak mengenal wanita yang memberi perintah itu. "Aku benar-benar gak tahu, Om. Sungguh bagiku bukan uang yang terpenting, aku benar-b
Mario keluar dari kamarnya dengan kesal. Ia menatap David dan Riana yang sedang duduk dan bercanda ria di ruang tamu. Entah mengapa mendengar tawa mereka membuat Mario sangat kesal dan ingin melampiaskan amarah. "Bisakah kalian diam?" teriak Mario. Riana terkejut dan menatap David dengan bingung. Hubungannya dengan sang kakak akhir-akhir ini memang menjauh. Sejak dikecewakan oleh Miranda, Mario sangat jauh berubah. Tidak ada lagi canda tawa dan hubungan yang hangat antara Mario dan Riana. "Kenapa tiba-tiba marah, Mas?" tanya Riana. "Apa kalian sengaja mengejek aku? Apa kalian gak bisa mengerti perasaanku saat ini?" kata Mario dengan nada tinggi. "Tunggu, kenapa Mas Rio menuduh kami seperti itu? Aku dan Mas David turut prihatin dengan apa yang sedang menimpa Mas. Apa Mas lupa Mas David pernah mengingatkan kalau Miranda itu bukan gadis yang baik dan cocok untukmu? Mas David juga sudah berusaha untuk menemukan Miranda, bukan?" tanya Riana. "Sudahlah!" Mario duduk di sofa dan memeja
Pagi itu Jason kembali menanyakan pada salah seorang karyawan mengenai keberadaan Mario. Ternyata Mario tetap tidak datang ke kantor dan tidak memberi kabar apapun. Jika mengacu pada aturan perusahaan, seharusnya Mario bisa diberhentikan. Akan tetapi Jason masih mengingat tentang hubungannya di masa lalu dengan Hana. Ia juga mengingat bahwa Mario sebenarnya adalah anak yang baik dan berpotensi untuk berhasil. Tanpa sepengetahuan karyawan lainnya, Jason memutuskan untuk datang ke rumah Mario. Ia ingin mendengar secara langsung dari mulut Mario tentang apa yang sedang ia rasakan. Jason memilih menyetir mobil mewahnya sendiri menuju rumah Mario. Sesampainya di halaman rumah itu, Jason kembali teringat saat terakhir kali ia datang ke rumah itu. Saat itu ia masih mempunyai perasaan lebih pada Hana dan mengharapkan mereka bisa bersatu. Jason menghela nafas panjang, ia menyadari banyak hal yang telah terjadi. Kini ia sudah menempuh pilihan dan jalannya, dan tak ingin menyesalinya. Tidak
Riana menumpahkan perasaan sedihnya tentang Mario di status media sosialnya. Ada doa dan harapan yang tulus agar Mario bisa kembali bangkit dan bersemangat seperti dahulu. Tak berselang lama, status itu mendapatkan banyak tanggapan dari beberapa teman Riana dan Mario yang membacanya. Ada yang benar-benar belum mendengar kabar terbaru tentang rencana pernikahan Mario yang gagal, namun ada pula yang sudah mendengar dan menyampaikan rasa prihatinnya. Mario enggan menyentuh ponselnya. Ia mengabaikan semua pesan dari rekan-rekan di kantornya. Ia juga tidak membalas semua pesan dari teman sekolahnya. Hanya satu yang Mario harapkan, berita tentang keberadaan Miranda. Riana menatap layar ponselnya, ia hanya menanggapi berbagai respon dan pertanyaan teman-temannya dengan singkat, tanpa ingin membuat masalah semakin runyam. Ia hanya memohon doa dan dukungan agar kondisi Mario bisa pulih dengan cepat. Tiba-tiba ponsel Riana berdering keras. Gadis manis itu melihat nama Cindy dan fotonya tam
Cindy mengakhiri panggilan telepon itu dengan rasa lega yang tak terkatakan. Masalah terberat dalam hidupnya mulai menampakkan titik terang. Bukan ia bersyukur karena Mario juga mengalami kegagalan dan nyaris putus asa, tetapi ia merasa tak salah bila di hatinya timbul secercah harapan baru bagi hubungan mereka. Sebuah senyum terukir di bibir Cindy. Semalam ia bisa tidur dengan nyenyak, hal yang jarang terjadi selama beberapa bulan ini. Pintu kamar Cindy diketuk dari luar, gegas gadis itu berdiri dan membukakan pintu. Nampak ibundanya berdiri di muka pintu dan menatapnya dengan serius. "Ada apa, Bu?" tanya Cindy. "Ibu mau bicara.""Ayo masuk, Bu!" Cindy mengajak ibunya masuk dan duduk di lantai. Kamar yang ditempati oleh Cindy memang cukup sederhana. Ukurannya tidak terlalu besar, perabot di dalamnya juga terbatas. Kasur yang Cindy gunakan langsung berada di atas lantai, tanpa ada dipan sebagai alasnya. Ibu duduk di hadapan anak gadisnya dan tak langsung bicara. Wanita paruh baya
Cindy mendengarkan saran dari tantenya untuk menghubungi ponsel Raka. Beruntung ponsel itu hanya mengalami sedikit retak pada layarnya. Saat mendengar suara ponsel itu, seorang pria yang menolong Raka menjawab panggilan itu. "Ha-halo, Pak. Sa-saya teman Raka, pria yang mengalami kecelakaan itu. Bagaimana keadaannya sekarang, Pak?" tanya Cindy yang masih gemetar. "Orangnya belum sadar, Dek. Kami sudah menghubungi rumah sakit. Mobil ambulan sedang dalam perjalanan kemari," kata pria itu. "Ke rumah sakit mana, Pak? Saya akan segera ke sana.""Rumah sakit Mulia, Dek. Tolong cepat datang ke sana! Kelihatannya luka orang ini cukup serius."Cindy segera menyampaikan pada sang tante nama rumah sakit tempat Raka akan mendapatkan pertolongan pertama. Bersama tantenya, Cindy segera memesan taksi untuk menuju ke rumah sakit tersebut. Dalam perjalanan Cindy juga menghubungi orang tua Raka. Tanpa menunggu waktu, mereka juga segera menuju ke lokasi rumah sakit tersebut. Cindy sangat gelisah, ia