Riana kembali ke kamar dan mengunci pintu. Ia bersandar dan terduduk di lantai. "Kenapa semua jadi begini?" Riana yang sejak tadi menahan perasaannya mulai menangis tersedu-sedu. Ia tidak pernah menyangka, kekasih yang sudah lama menjalin hubungan dengannya, bahkan telah mengajaknya untuk menikah telah berkhianat. "Sejak kapan dia membohongi aku? Kenapa aku terlalu bodoh untuk membaca kepalsuannya?" ratap Riana. Riana hampir tidak bisa mempercayai, bahwa David telah menghamili wanita lain. Selama ini sama sekali tidak ada celah baginya untuk merasa curiga. Riana berusaha mengingat setiap detail peristiwa yang ia lalui bersama dengan David.Selama ini ia berpikir bahwa David adalah pria yang nyaris sempurna. David sangat pengertian dan dewasa. Ia juga menolong keluarga Riana tanpa pamrih setiap kali ada masalah yang mendera. Teman-teman SMA mereka dahulu, bahkan teman kos Riana saat ini juga sering merasa iri pada Riana, karena mempunyai pacar seperti David. David tampan dan kaya,
David baru saja tiba di halaman rumahnya yang luas. Ia tidak pernah membayangkan kencannya kali ini berakhir dengan putusnya hubungan mereka. Bagi David dan Riana, ini adalah persoalan terbesar yang mereka alami dalam hubungan mereka.Sepanjang perjalanan hubungan mereka selama beberapa tahun ini, tidak ada masalah besar yang menimpa mereka. Mungkin masalah terbesar mereka adalah saat Ayah Riana masih menjalin hubungan dengan Sandra. David melangkah gontai dan masuk ke dalam rumahnya. Wajah muram dan lesu terlihat dengan sangat jelas saat David melintas di hadapan mamanya dan langsung masuk ke dalam kamar. Sang mama tentu bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan David. Mama David menyusul masuk ke dalam kamar dan duduk di atas tempat tidur David. "Kenapa wajahmu muram? Biasanya kamu selalu ceria setelah bertemu dengan Riana. Apa kalian bertengkar?" "Hubungan kami sudah berakhir, Ma," jawab David. "Apa?! Kenapa bisa begitu?" tanya sang mama. David menghembuskan nafa
"Tunggu! Mau kemana kamu? Kamu harus menjelaskan apa maksudmu memfitnah aku!" seru David. "Ampun, Pak David. Tolong lepaskan saya!" kata wanita itu. Ekspresi wajahnya sangat berbeda dengan saat kejadian itu. Kini wajah angkuh itu sirna dan berubah menjadi ketakutan. "Pengakuanmu membuat hubunganku dan pacarku berantakan. Apa sebenarnya yang kamu inginkan?" tanya David dengan suara keras. Wanita itu terkejut dan menutup kedua telinganya. "Masuk dulu, Pak. Kita bicara baik-baik. Tolong jangan terlalu keras karena saya benar-benar sedang hamil."David melihat perut wanita itu memang membuncit di balik dasternya. David menahan diri dan perkataannya sekalipun ia sudah sangat ingin melampiaskan amarahnya. David dan anak buahnya mengalah dan masuk ke rumah yang kecil dan sempit itu. David duduk di sebuah kursi kayu usang dan berhadapan dengan wanita itu. "Siapa sebenarnya kamu? Aku yakin kita belum pernah bertemu sebelumnya," kata David. "A-aku Rindy, Pak," jawab wanita itu. "Siapa ya
"Kita bawa saja dia ke kantor polisi. Aku akan mengajukan gugatan untuk fitnah dan pencemaran nama baik," kata David. Rindy langsung mendekat dan duduk di kaki David dan Riana. "Pak, tolong jangan lakukan itu! Saya sungguh-sungguh minta maaf pada Bapak dan Mbak Riana." "Apa semudah itu kamu minta maaf? Apa kamu sudah biasa berbuat seperti ini? Seharusnya kamu pikirkan bagaimana dampak perbuatanmu itu pada hubungan kami. Orang-orang sudah menilai kami dengan buruk karena cerita bohongmu itu. Kalau kemarin ada yang merekam kejadian itu dan menyebarkannya, bagaimana kamu akan bertanggung jawab dan menyelesaikan semuanya?" tanya David dengan emosi. Rindy menundukkan kepala dan menangis sesegukan. Riana menghela nafas panjang dan menatap David. Ada rasa lega, karena ternyata kejadian kemarin hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu. "Mbak Riana, Pak David, tolong saya! Saya sedang hamil dan ditinggalkan oleh pria yang sepatutnya bertanggung jawab atas anak ini. Hidup saya sudah su
Keluarga besar Cindy sudah mengetahui semua yang terjadi. Orang tua Cindy langsung datang untuk meminta tanggung jawab Raka. "Cin, kenapa kamu bisa melakukan hal yang melewati batas seperti ini? Walaupun miskin, keluarga kita sangat menjunjung tinggi norma. Apa kami kurang mendidikmu?" teriak Bapak Cindy dengan suara yang cukup keras. Cindy mendekat dan memeluk kaki kedua orang tuanya. "Maafkan Cindy, Pak! Cindy mohon ampun sama Bapak dan Ibu. Sampai saat ini, Cindy juga masih gak ingat dengan jelas apa yang terjadi waktu itu." Air mata Ibu Cindy mengalir deras. "Nak, kenapa kamu tega mempermalukan kami? Kami mungkin memang gak bisa mencukupi kebutuhanmu dengan baik. Di usia muda kamu harus tinggal jauh dari kami dan berusaha mencari uang sendiri, tapi ibu gak pernah menyangka kalau kamu akan salah dalam bergaul seperti sekarang ini. Kamu sudah bertunangan dengan Mario, bahkan merencanakan akan menikah. Kenapa kamu malah menjalin hubungan dengan orang lain? Bagaimana bapak dan ibu
"Jadi Mario juga akan menikah dengan wanita lain?" Air mata Miranda kembali mengalir saat menatap layar ponselnya. Ia melihat status media sosial Riana yang membagikan undangan pernikahan Mario. Rasanya miris dan menyedihkan, karena pasangan yang dahulu saling mencintai harus berpisah dan akan menikah dengan orang lain. "Jadi kamu sudah sepenuhnya melupakan aku, Rio?" gumam Cindy. Cindy menatao dirinya di depan cermin. Sebenarnya ia sedang berdandan untuk mempersiapkan dirinya pergi bersama Raka. Hari ini mereka akan mengunjungi gedung tempat acara pernikahan mereka akan digelar. Mungkin seharusnya setiap pasangan yang akan menikah menantikan momen ini. Cindy pun pernah merasa bahagia saat mempersiapkan pernikahannya dengan Mario dulu. Akan tetapi saat ini semua jauh berbeda. Cindy tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Tok... Tok... Tok... "Cin, apa kamu masih lama? Raka sudah menunggu di teras," kata Ibu Cindy dari balik pintu kamarnya. Cindy tersentak dari lamunannya. Ia
Raka pulang ke rumahnya dengan lesu dan langsung masuk ke kamar. Ia tidak menghiraukan pertanyaan ibunya yang menanyakan kenapa wajahnya muram. Raka mengunci pintu dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus melepaskan Cindy begitu saja? Melihatnya tertekan seperti itu dan merasa bersalah pada keluarganya juga membuat hatiku sangat sakit. 'Ponsel Raka tiba-tiba berdering. Ia berpikir itu adalah panggilan telepon dari Cindy. Raka bergegas mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Ia merasa kecewa, karena ternyata bukan Cindy yang menghubunginya. "Tante Jelita," gumamnya. Sempat ragu akhirnya Raka menjawab panggilan telepon itu. "Halo," sapanya. "Raka, bagaimana kabarmu?" tanya Sandra. "Baik, Tante.""Kapan kamu akan menikahi Cindy?""Kami sedang mempersiapkan pernikahan, Tante. Keluarga Cindy mendesak agar pernikahan kami dilangsungkan secepatnya, tapi....""Tapi apa?" tanya Sandra. "Aku ragu apakah akan melanjutkan renc
Hari itu akan menjadi hari yang istimewa bagi Mario dan Miranda. Hubungan mereka akan mencapai tahapan yang baru, yaitu lamaran. Beberapa hari sebelumnya, Mario sangat antusias menyiapkan acara tersebut. Akan tetapi, Miranda justru sebaliknya, terlihat tidak terlalu serius mempersiapkan semua yang diperlukan dalam acara itu. Jika biasanya seorang calon mempelai wanita yang lebih sibuk menyiapkan segala sesuatunya, Miranda justru lebih pasrah. Mario bertanya pada Miranda tentang gaun yang akan ia kenakan, sampai konsep acara mereka nanti, tetapi Miranda hanya menjawab singkat. Mario berusaha berpikir positif, mungkin Miranda sedang terlalu lelah bekerja atau merasa jenuh. Mario sama sekali tidak mau berpikir negatif pada kekasihnya itu. Pagi itu, Mario sudah bersiap-siap dan memakai jasnya. Ia melihat Hana dan Hadi, juga Riana dan David juga sudah siap. David mulai memasukkan beberapa barang yang akan mereka bawa sebagai seserahan untuk Miranda. Riana sendiri yang menghias setiap