"Jadi Mario juga akan menikah dengan wanita lain?" Air mata Miranda kembali mengalir saat menatap layar ponselnya. Ia melihat status media sosial Riana yang membagikan undangan pernikahan Mario. Rasanya miris dan menyedihkan, karena pasangan yang dahulu saling mencintai harus berpisah dan akan menikah dengan orang lain. "Jadi kamu sudah sepenuhnya melupakan aku, Rio?" gumam Cindy. Cindy menatao dirinya di depan cermin. Sebenarnya ia sedang berdandan untuk mempersiapkan dirinya pergi bersama Raka. Hari ini mereka akan mengunjungi gedung tempat acara pernikahan mereka akan digelar. Mungkin seharusnya setiap pasangan yang akan menikah menantikan momen ini. Cindy pun pernah merasa bahagia saat mempersiapkan pernikahannya dengan Mario dulu. Akan tetapi saat ini semua jauh berbeda. Cindy tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Tok... Tok... Tok... "Cin, apa kamu masih lama? Raka sudah menunggu di teras," kata Ibu Cindy dari balik pintu kamarnya. Cindy tersentak dari lamunannya. Ia
Raka pulang ke rumahnya dengan lesu dan langsung masuk ke kamar. Ia tidak menghiraukan pertanyaan ibunya yang menanyakan kenapa wajahnya muram. Raka mengunci pintu dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus melepaskan Cindy begitu saja? Melihatnya tertekan seperti itu dan merasa bersalah pada keluarganya juga membuat hatiku sangat sakit. 'Ponsel Raka tiba-tiba berdering. Ia berpikir itu adalah panggilan telepon dari Cindy. Raka bergegas mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Ia merasa kecewa, karena ternyata bukan Cindy yang menghubunginya. "Tante Jelita," gumamnya. Sempat ragu akhirnya Raka menjawab panggilan telepon itu. "Halo," sapanya. "Raka, bagaimana kabarmu?" tanya Sandra. "Baik, Tante.""Kapan kamu akan menikahi Cindy?""Kami sedang mempersiapkan pernikahan, Tante. Keluarga Cindy mendesak agar pernikahan kami dilangsungkan secepatnya, tapi....""Tapi apa?" tanya Sandra. "Aku ragu apakah akan melanjutkan renc
Hari itu akan menjadi hari yang istimewa bagi Mario dan Miranda. Hubungan mereka akan mencapai tahapan yang baru, yaitu lamaran. Beberapa hari sebelumnya, Mario sangat antusias menyiapkan acara tersebut. Akan tetapi, Miranda justru sebaliknya, terlihat tidak terlalu serius mempersiapkan semua yang diperlukan dalam acara itu. Jika biasanya seorang calon mempelai wanita yang lebih sibuk menyiapkan segala sesuatunya, Miranda justru lebih pasrah. Mario bertanya pada Miranda tentang gaun yang akan ia kenakan, sampai konsep acara mereka nanti, tetapi Miranda hanya menjawab singkat. Mario berusaha berpikir positif, mungkin Miranda sedang terlalu lelah bekerja atau merasa jenuh. Mario sama sekali tidak mau berpikir negatif pada kekasihnya itu. Pagi itu, Mario sudah bersiap-siap dan memakai jasnya. Ia melihat Hana dan Hadi, juga Riana dan David juga sudah siap. David mulai memasukkan beberapa barang yang akan mereka bawa sebagai seserahan untuk Miranda. Riana sendiri yang menghias setiap
Mario tetap tidak bisa menghubungi Miranda sampai keesokan harinya. Ia terus mengurung dirinya di dalam kamar dan memandangi cincin yang sudah ia siapkan untuk sang kekasih. Hana dan Riana sudah mencoba membujuk Mario untuk keluar dari kamar dan makan, tetapi ia masih menolak. Hana bingung harus berbuat apa. Hatinya terasa sakit saat melihat putra tercintanya kembali terpuruk dan kehilangan semangat hidup. Hari Senin pagi, Mario berangkat pagi-pagi ke kantornya. Ia mencari keberadaan Miranda di ruangannya. Akan tetapi, lagi-lagi Mario tidak berhasil menemukan Miranda. Miranda tidak masuk kerja tanpa meminta ijin atau keterangan. Pihak perusahaan juga tidak dapat menghubungi Miranda. "Aneh sekali! Walaupun kalian ada masalah pribadi, seharusnya Miranda bersikap profesional di kantor ini. Kenapa dia tiba-tiba membolos dan tidak memberi tahu siapapun? Apa kalian bertengkar sebelumnya?" tanya karyawan bagian personalia. "Sama sekali gak ada pertengkaran, Bu. Saya juga tidak bisa meng
Mario langsung menghubungi nomor ponsel pemilik rumah itu. Pemiliknya adalah seorang pria paruh baya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Tentu bukan hal yang mudah bagi Mario untuk mendapatkan informasi mengenai siapa penyewa rumah itu. Pemilik rumah itu juga tidak mempunyai informasi detail. Ia hanya mengatakan bahwa yang menelepon dirinya adalah seorang wanita. Tanpa banyak bernegosiasi, wanita itu langsung menyetujui untuk membayar sewa rumah itu secara bulanan. Rumah itu sudah usang dan kuno. Perabotan di dalamnya juga sudah lapuk tergerus waktu, karena itu pemilik rumah tidak memberikan tarif sewa yang tinggi. Ia justru terkejut karena masih ada orang yang mau menyewa rumah itu apa adanya, tanpa meminta renovasi atau pertimbangan lainnya. Hanya tiga puluh menit setelah telepon itu, wanita itu langsung mentransfer uang sewa yang telah mereka sepakati. Pemilik rumah itu tidak sempat bertanya lebih lanjut tentang siapa yang kemudian tinggal di rumahnya. Saat Miranda dan Bu Ijah
"Siapa yang merencanakan semua ini?" tanya David. Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam. Mereka tidak membayangkan, ada orang yang begitu licik dan bisa melakukan semua itu. "Bu, saya benar-benar menghormati Ibu sebagai ibu dari Miranda. Kenapa Ibu tega berbohong pada saya?" tanya Mario sambil menatap Bu Ijah. "Saya terpaksa melakukannya, Nak. Saya punya dua anak dan gak punya suami. Selama ini kami hidup kekurangan dan tidur di mana saja. Saya menerima penawaran itu, karena memikirkan anak-anak saya. Saya gak berpikir kalau orang yang menyuruh saya akan bertindak sejauh itu dan menipu Nak Rio," jawab Bu Ijah. "Tapi gak mungkin kalau Ibu sama sekali gak tahu apa-apa. Dimana kita bisa menemukan Miranda?" tanya Mario. "Saya gak tahu alamat rumahnya, Nak, tapi...." "Tapi apa, Bu?" "Kemungkinan Miranda tinggal gak terlalu jauh dari rumah itu. Saat Nak Rio dan Nak David datang ke rumah secara tiba-tiba, ibu langsung menelepon dia. Sat itu dia langsung datang dengan cepat," ter
Wanita cantik itu tercengang untuk beberapa saat. Lalu ia tertawa dan menggelengkan kepala. "Kamu pasti bohong. Mira gak pernah bercerita tentangmu.""Itu benar, Tante. Saya akan menunjukkan beberapa foto saya bersama Miranda. Silakan Tante nilai sendiri! Apa benar dia adalah Mira, anak Tante?" Mario menyerahkan ponselnya pada Tante Lola. Kening Tante Lola berkerut saat melihat foto-foto kebersamaan Mario dan Miranda. "Benar ini Mira anak tante, tapi sejak kapan dia menjalin hubungan denganmu? Setahu tante, nama pacarnya adalah Zaky.""Zaky?" Mario berusaha mengingat nama yang sepertinya tidak asing baginya. "Sepertinya dia pria yang pernah mengantar Miranda ke kantor.""Tante gak tahu persis bagaimana hubungan mereka saat ini. Mira akhir-akhir ini agak tertutup. Tante sibuk menjalankan bisnis karena Papa Mira sudah meninggalkan kami berdua. Sepanjang pengamatan tante selama ini, Mira dan Zaky sudah menjalin hubungan serius."Mario memijat pelipisnya. Di dalam hati ia masih berusah
Cindy sedang dirias di kamarnya. Hari itu acara pernikahannya dengan Raka akan digelar. Beberapa kali air matanya meleleh di luar kendalinya. Sang penata rias, sahabat Cindy sendiri menggelengkan kepalanya, sudah beberapa kali ia mengingatkan agar Cindy tidak menangis lagi. "Cin, kenapa menangis lagi? Riasanmu bisa rusak karena air mata. Kami sudah berusaha menutupi matamu yang bengkak karena semalam pasti kamu menangis terus," katanya. Cindy menghapus air matanya dengan tisu. "Maaf. Kamu tahu bahwa ini gak mudah bagiku. Aku gak menginginkan pernikahan ini.""Iya, aku tahu, tapi semuanya sudah terjadi. Menurutku, Raka juga pria yang baik. Aku yakin dia bisa membuatmu bahagia," jawab Almira, teman Cindy itu. "Aku gak tahu, Mir. Aku seperti patung yang berusaha mengikuti semua kemauan orang tua. Aku merasa hatiku kosong dan hampa. Aku gak bisa merasakan kebahagiaan atau apapun lagi," jawabnya. Almira menghela nafas panjang, menatap prihatin teman yang sering menjadi rekan kerjanya s