Laura“Apa? A…apa yang kamu bicarakan?” Aku terbata-bata, merasa tenggorokanku kering karena aku merasa dituduh oleh tatapan mengamati Richard dan Fia, seolah mereka bisa membaca isi pikiranku untuk mengetahui kebenarannya.“Astaga, ada apa dengan keributan ini? Bahkan Anna bisa merasa ada sesuatu yang terjadi,” kata Tama, menghampiri kami, membiarkan Anna menonton televisi di ruang tengah.“Kami hanya sedang menyelesaikan masalh penting,” kata Richard pada Tama, masih menatapku untuk mendapatkan jawaban.“Aku tahu. Aku mendengarmu mengumpat dan menghina temanku Jason. Ah, dasar memalukan,” kata Tama membela Jason, mendekat pada istrinya dan menarik hidungnya pelan sebagai gestur kasih sayang, tapi Fia menghindar darinya sambil cemberut.“Di sini tidak ada yang menyukai temanmu itu, tahu,” katanya pada Tama dengan nada menuduh.“Benar,” timpal Richard. “Dia benar-benar menyebalkan. Dia seharusnya tahu bahwa tidak ada lagi ruang untuknya di kehidupan Laura dan dia harus menjauh dar
Saat Richard sudah pergi dan hanya tersisa aku dan putriku, ketika hari sudah malam, aku menerima telepon dari nomor yang kukenal sebagai milik Jason. Apa yang dia inginkan sekarang?“Ini Laura,” kataku setelah mengangkat teleponnya.“Halo. Rumahmu ramai sekali hari ini, ya?” tanyanya dengan santai dan tenang.“Bagaimana kamu tahu?”“Tama yang memberitahuku,” jawabnya.“Hm, jadi aku bisa menyimpulkan bahwa dialah yang mengungkap identitas Anna padamu?” Aku mencoba menyelidikinya.“Sayangnya, dia tidak memberitahuku apa-apa mengenai itu, aku mengetahuinya dengan cara lain.”“Cara apa?”“Apakah kamu penasaran?”“Tentu saja, aku ingin tahu sejauh apa kemampuanmu supaya kamu tidak menjauh dariku,” kataku dan dia tertawa kecil.“Siapa pun yang melihatmu seperti ini tidak akan menyangka kalau kamu terus meminta lebih semalam,” katanya, menggodaku dan tertawa lagi.Aku merona, bersyukur bahwa dia tidak ada di sana untuk melihatku merasa malu. “Jangan konyol, beri tahu aku bagaimana
Laura“Kenapa kamu mengatakan hal-hal seperti ini? Hanya untuk membuatku kesal? Berhenti melakukan itu,” kata Jason dari ujung telepon dan aku berakhir tertawa, menikmati melihatnya begitu cemburu.“Aku hanya mengatakan kebenarannya, sayang. Kamulah yang kesakitan karena masalah sepele, aku tidak pernah mengatakan bahwa kita adalah pasangan atau apa pun itu,” kataku, mengamati kukuku, dan aku mendengarnya mengerang di ujung telepon.“Kapan kamu akan berhenti menghukumku seperti itu, hm?”“Entahlah, mungkin ketika aku memercayaimu, yang baru akan terjadi ketika gajah sudah bisa terbang,” kataku, dan aku melihat Anna menghampiriku dan meminta untuk dipeluk.“Mama, Anna mengantuk,” katanya, memanjat ke pangkuanku.Aku tersenyum dan mencium pucuk kepalanya. “Sudah waktunya Anna tidur,” kataku, memeluknya.“Apakah itu anakku? Apakah dia ada di sana? Biarkan aku berbicara padanya sebentar, kumohon,” pinta Jason, jadi aku menyerahkan ponselku pada Anna, yang berbicara padanya selama beb
JasonKeesokan harinya, aku bangun lebih dulu dan melihat ponsel Laura. Dia sedang tertidur dengan tenang di sampingku, diselimuti dengan begitu nyaman sampai aku merasa diundang untuk berbaring di sampingnya, tapi aku sedang melakukan sesuatu yang lebih menarik saat itu.“Aku menggunakan ponsel wanitaku untuk memberitahumu untuk menjauh darinya. Cukup dengan semua kekonyolan ini! Laura dan aku bahagia, dia tidak membutuhkan kamu lagi,” ketikku, menambahkan namaku di bagian akhir untuk memperkenalkan diriku.Sebelum aku mengirimnya pada Richard, aku terpikir hal lain yang akan lebih efektif. Laura sedang tertidur dengan posisi telungkup dan punggungnya tidak mengenakan pakaian apa-apa dengan begitu menggoda sampai aku meletakkan tanganku pada pinggangnya dan menggenggamnya pelan supaya tidak memangunkannya, lagi pula, aku hanya ingin mengambil foto.Setelah mengambil fotonya, aku menambahkannya pada pesanku dan mengirimkannya pada Richard di mode sekali lihat, lalu tersenyum sedikit
Jason“Richard…” Aku mendengar Laura berbisik terkejut, dia benar-benar tidak menyangka pria itu akan muncul entah dari mana ke rumahnya dan menemukanku di sini.“Ayah Ricky!” pekik Anna lalu berlari ke arah Richard, memeluknya dengan bahagia dan polos. “Senang bertemu denganmu, Ayah!”“Senang bertemu denganmu juga, Anak Rakus,” kata Richard, memeluk anakku.“Hmm.” Aku menggeram, tidak menyukainya.“Kenapa kamu tidak menelepon dan bilang kalau kamu akan kemari?” tanya Laura setelah bangkit dan menghampiri Richard, jelas merasa bersalah.“Menelepon untuk apa? Supaya kamu bisa menyembunyikan kekasihmu sebelum aku datang?” tanya Richard, terlihat terluka.Aku tertawa sarkastis. Akulah suaminya di sini dan dia datang untuk menyebutku kekasihnya?“Apa yang kamu bicarakan…?” tanya Laura kebingungan.“Tidak perlu berbohong padaku, Laura, aku tahu kamu telah tidur dengannya,” katanya dengan kasar, menunjuk padaku dengan dagunya. Dia bahkan tidak memperhalus bahasanya walaupun Anna masi
LauraSeperti yang kuduga, anakku dan aku terbang ke Bekasi menggunakan salah satu jet pribadi milik Jason, yang membuat perjalanan jauh lebih lancar. Walaupun Anna merasa gugup dan mual karena itu adalah pertama kalinya dia melakukan penerbangan, aku memeluknya di pangkuanku dan mengelus-elusnya untuk membuatnya mengerti bahwa dia aman.“Tidak akan memakan waktu yang lama, hanya sebentar saja dan kita akan tiba di lapangan terbang pribadi keluargaku,” kata Jason sambil mengelus rambut Anna.Aku tersenyum, mengangguk, dan berkata, “Baguslah.”Benar-benar tidak memakan waktu lama sampai pesawat itu mendarat di sebuah area di Bekasi, lalu kita turun dari sana. Sebuah mobil sudah menunggu kami untuk menjemput kita ke rumah besar Santoso.“Apakah dia tidur?” tanya Jason ketika kami duduk di jok mobil yang dilapisi kain mewah yang akan membawa kami ke kediaman keluarganya.Aku menatap Anna yang masih berada di pangkuanku, kepalanya menyandar pada dadaku dan matanya tertutup. Aku tersen
LauraAku memikirkan perkataannya seraya memandangnya, entah kenapa pernyataan itu membuatku sedikit emosional. Rosa memegang tangan mungil anakku dan membawanya masuk ke dalam seraya berbincang dengan bahagia. Jason dan aku mengikuti mereka.“Tempat ini tidak berubah sama sekali,” komentarku ketika melihat-lihat rumah besar itu.“Kamu tahu bagaimana ibuku menyukai hal-hal untuk tidak berubah,” kata Jason yang berada di sampingku.“Nenekmu, di mana dia?” tanyaku.“Ibu akan mengantar kita padanya,” jawabnya.“Bagaimana dengan Satria?”“Aku tidak tahu di mana dia, dia pasti sedang berada di klub malam di Bekasi dan bersenang-senang dengan beberapa wanita yang lebih muda darinya seperti biasa,” jawabnya, suaranya terdengar sedikit kecewa. Aku menghela nafas, ayahnya tidak pernah berubah.Beberapa saat kemudian, Rosa membawa Anna dan aku ke sebuah kamar tempat seorang wanita tua sedang duduk di kursinya.“Ibu, lihatlah siapa yang datang kemari,” kata mantan ibu mertuaku seraya dia
Laura“Apakah kamu sedang di Bekasi?” tanya Fia di ujung telepon, keheranan akan apa yang baru saja kukatakan padanya. “Astaga, Laura. Bagaimana ini bisa terjadi?”Aku menghela nafas, menyisir rambutku dengan jari-jariku. Aku menghindari bercerita pada Fia karena aku takut dia menghakimiku. Ditambah, jelas sekali bahwa Fia tidak ingin aku kembali pada Jason karena semua hal yang telah terjadi di masa lalu yang disebabkan oleh mantan suamiku. Dia takut aku akan menderita lagi karena Jason, jadi dia hanya berusaha menjagaku.“Kukira hal yang baik jika Anna bertemu dengan kerabatnya,” jelasku, tapi aku tahu temanku tidak akan percaya dengan alasan itu.“Aku tahu kamu pergi ke Bekasi bukan hanya karena Anna, Lau,” katanya, melontarkan itu pada wajahku.“Oke, aku akui bahwa aku merindukan mantan ibu mertuaku dan seluruh tempat ini,” kataku setelah menghela nafas jengkel.“Ditambah, jelas-jelas karena kamu ingin berada di dekat Jason,” tambahnya, menyelesaikan perkataanku.Aku menghela
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak