LauraKetika Amanda Mardian meneleponku keesokan paginya, si kembar, suamiku, dan aku sedang berada di meja makan untuk sarapan.Tidurku tidak nyenyak, kekhawatiran terus-menerus menggerogoti kepalaku. Aku tidak yakin di mana Anna berada, jadi aku merasa seperti seorang ibu yang buruk, hanya berbaring di sana ketika putriku berada di tempat yang tidak diketahui.“Jangan terlalu khawatir, sayang,” kata Jason padaku di pagi itu seraya dia memelukku. “Sebenarnya, kita harus terbiasa dengan itu. Anna sedang tumbuh dewasa, ini bisa saja hanyalah awalan dari apa yang harus kita hadapi di masa depan.”Aku tahu putriku adalah seorang remaja dan bahwa dia akan menjadi orang dewasa yang tidak akan memberikan kepastian di mana dia akan tidur dan dengan siapa dia akan tidur. Jason dan aku harus memberikannya kebebasan itu, tapi tetap saja, rasanya aku sedang sekarat karena khawatir.Jadi, begitu aku terbangun di pagi itu, aku menelepon Natasha Wibowo, ibu Ciko, hanya untuk memastikan bahwa pu
Laura“Stefan, ayolah,” pintaku pada anak itu yang sedang memainkan ponselnya di tengah sarapan, suaraku separuh lembut dan separuh tegas. “Jangan memainkan ponsel di meja.”Pertengkaran untuk kripik kentangnya sudah terselesaikan, untungnya. Sekarang, mereka berdua sedang berada di meja, sarapan ditemani olehku dan ayah mereka. Yang tersisa di sana hanyalah Anna untuk melengkapi keluarga itu—dan ibuku dan ibu mertuaku, tentunya.“Kenapa tidak boleh?” tanya anak itu, menentang kata-kataku. “Aku tidak melakukan apa-apa.”“Tidak sopan pada makanannya,” jawabku. “Waktu makan itu sakral dan harus dihormati.”“Nah. Kalau begitu, kenapa Mama hanya melarangku menggunakan ponselku di meja dan tidak mengatakan apa-apa pada Papa?” katanya, memandang Jason yang sedang menyalakan tablet, memperhatikan layarnya dengan baik-baik sambil meminum kopinya.Sekarang, pria itu memandang putranya sambil terkekeh skeptis. “Apa maksudmu dengan itu?” tanya Jason. “Aku adalah ayahmu, aku boleh menggunaka
Laura“Apa katamu?” tanya Jason sambil dia mengemudikan mobil di jalanan Jakarta. “Anna bertemu dengan anak itu lagi?”Jason memandangku dengan bingung, hampir tidak memercayai perkataanku. “Setidaknya, itulah apa yang Amanda Mardian katakan padaku di telepon tadi,” jawabku, mengangguk.“Omong kosong apa ini? Apa maksudmu? Bukankah kita sudah berbicara pada Anna tentang ini?” Jason terlihat marah.“Dia saat itu berusia 11 tahun, sayang,” aku mengingatkannya.Jason menghela napas dan mengumpat, mencengkeram setir mobil dengan erat.Nancy, istri Juan, pernah menikah sekali. Dia menikahi miliarder berpengaruh dan memiliki dua anak bersama pria itu, tapi pria itu sangat jahat. Bukan hanya menjadi seorang kriminal, dia juga sangat abusif terhadap Nancy. Pria itu membuat Nancy harus menahan pernikahan yang penuh kekerasan dan ketidakhormatan begitu lama. Namun, Bram Mardian ditahan dan mimpi buruk Nancy pun berakhir.Nancy bisa menikahi Juan, yang merupakan pria yang sesungguhnya dia
Anna“Kalau kamu tidak mau orang tuamu memisahkan kita lagi, ayo lari,” kata Panca padaku seraya dia memandangku.Aku terkesiap tanpa suara, merasa jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. “L … lari?” gumamku seraya aku merasakan beban dari kata itu, mataku terpaku padanya.Dia melangkah ke arahku sambil masih menatapku. “Dengar, aku tahu ini sulit sekali untuk diterima, tapi kita tidak memiliki pilihan lain,” katanya. “Orang tuamu sedang dalam perjalanan menuju kemari. Kalau mereka menemukan kita di sini, kacau sudah. Jika kamu sungguh ingin kita bersama kali ini, kita harus membuat pengorbanan ini, sayang.”Aku mengangguk dengan cepat, mataku membelalak lebar karena aku takut dengan apa yang sedang terjadi. “Aku paham itu. Aku mau …,” jawabku, meskipun terbata-bata.“Apakah kamu mau lari bersamaku, An?” tanyanya padaku sambil menatapku dengan dalam.“Iya, Panca. Aku mau,” jawabku seraya hatiku berdegup secepat kepakan sayap ngengat. “Aku tidak pernah seyakin ini tentang apa
AnnaPanca menekan jari telunjuknya di bibirnya untuk mengisyaratkan diam, lalu kami berjongkok lebih dekat ke tiang dapur. Orang tuaku berjalan ke lantai atas bersama Amanda, sementara wanita yang lebih muda itu terus berbicara untuk menyembunyikan rasa malunya. Namun, orang tuaku kaku saat mereka berjalan menaiki tangga dan menyusuri jalan, mereka jelas-jelas marah.Aku berdiri di sana, memperhatikan mereka menghilang ke atas tangga dan menuju ke lorong di atas. Hatiku berdegup kencang dan tanganku mencengkeram jaket Panca. Rasa takut tertangkap membuatku ngeri.“Ayo nikmati ini sekarang,” kata Panca ketika orang tuaku dan kakaknya sudah cukup jauh untuk tidak mendengar kami. “Aku yakin mereka membawa keamanan. Ayo kita ke tangga belakang.”Aku mengangguk, kemudian dia menggenggam tanganku lagi, lalu kami berlari dengan mengendap-endap supaya tidak membuat suara, beranjak ke arah area pelayanan dari apartemen mewah Amanda. Aku sangat gugup dan ketakutan hingga aku tidak dapat mem
LauraAku melihat Jason menghampiri tempat ku berada, di depan gedung apartemen Amanda Mardian, tepat setelah Anna pergi bersama anak Nancy.“Apakah kamu baik-baik saja, sayang? tanyaku, wajahku berkerut dengan khawatir. Aku menghampiri dia, melingkarkan lenganku di lengannya.Dia terengah-engah setelah terus-menerus berlari dan juga karena dia telah melemparkan dirinya ke jalanan ramai untuk berusaha mengejar putriku dan anak itu. “Mereka sudah menghilang, tidak mungkin kita bisa mengejar mereka sekarang,” ungkapnya, menyisir rambut hitamnya dengan jarinya.“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanyaku, tidak dapat menyembunyikan kekhawatiranku. Aku tidak tahu persisnya apa yang anak itu katakan pada putriku hingga membuatnya membuat keputusan-keputusan impulsif ini dan bertingkah dengan gegabah. Aku sampai tidak bisa mengenali Anna.“Anna pasti membawa ponselnya bersamanya dan aku akan melacak dia melalui aplikasi pelacak,” kata Jason tentang rencana yang dia miliki. “Kita akan
Laura“Astaga, Jason dan Laura. Kami sangat minta maaf atas semua hal memalukan yang sedang kamu lalui sekarang,” adalah suara Nancy dari ujung telepon lainnya. Dia terdengar gelisah dan khawatir.Jason dan aku sudah berada di dalam mobil pada saat ini. “Aku biasanya berolahraga dan istriku selalu memastikan aku makan dengan baik supaya aku selalu sehat, tapi dua bocah itu tetap berhasil melarikan diri dariku hari ini. Bisakah kamu memercayainya?” Jason tertawa dengan canggung saat dia mengatakannya.“Itu faktor umur, kawan,” kata Juan di ujung telepon lainnya. “Kamu tidak bisa lagi menuntut tubuhmu untuk tetap seperti saat kamu berusia 20 tahun.” Dia terkekeh mengejek.“Aduh. Maaf, Nancy, tapi Juan, enyahlah!” teriak suamiku, menanggapi candaan teman lamanya.“Ada apa denganmu, Santoso?” ujar Juan Gunadi. “Bisakah kamu hormati wanita, dasar miliarder bodoh?”“Diamlah, Gunadi,” ucap Jason. “Bukan kamu yang harus berurusan dengan situasi menyebalkan ini, yang mana putrimu sangat j
Anna“Si*l! Kenapa mobil ini sulit sekali untuk dikemudikan?” omel Panca selagi dia masih berada di belakang setir mobilku, melaju di jalanan.“Karena ini adalah mobil yang dibuat hanya untuk perempuan?” jawabku dengan nada mengejek. “Masalahnya bukan mobilnya, tapi kamu. Kamu terlalu tinggi, sayang,” kataku selagi aku membetulkan riasan wajahku. Maskaraku benar-benar perlu diperbaiki.“Duh! Itu cukup menyebalkan,” omelnya, menggerakkan kursi pengemudi sedikit lebih ke belakang.“Kalau begitu, kenapa kita tidak memakai mobilku?” tanyaku, memandangnya. Ketika kami melarikan diri dari gedung tempat apartemen kakak Panca berada, Panca dan aku langsung pergi ke mobilku dan bukan mobil dia.“Itu karena aku tidak punya mobil,” jawabnya.“Apa maksudmu?” Kenapa dia tidak punya mobil?“Larangan,” katanya.“Aw, itu menyedihkan,” gumamku.“Namun, jangan khawatir. Ini semua akan berubah mulai sekarang. Aku akan mengambil segala hal yang merupakan milikku,” katanya, membuatku tersenyum.“
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak