Laura“Jika kamu ingin memukul seseorang, pukul aku, jangan pukul dia,” tantangku padanya dengan mata yang penuh kemurkaan, masih memegang lengannya. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melukai anakku, tidak ketika aku masih bernafas.“Dasar jalang!” teriaknya padaku dan dia menampar wajahku, begitu keras sampai aku terjatuh ke lantai. Aku berteriak kesakitan, merasa wajahku terbakar. Putriku menangis ketakutan, yang membuatku makin kesakitan. “Kamu pikir kamu bisa menghentikan aku, dasar jalang menjijikkan?” teriaknya padaku, menghampiriku dan menggenggam lenganku, menarikku ke kursi di dekat sana. Dia lalu melemparku ke kursi itu, mengambil tali, dan menjepitku dengan erat.“Tidak, kumohon, jangan lukai Mama,” pinta Anna seraya dia berlari dan memegang lengan Richard, mencoba membuatnya menjauh dariku.“Diamlah, bocah,” perintahnya, mendorong anakku. “Kalian berdua pikir kalian bisa menantangku? Aku tahu benar bagaimana caranya untuk menghentikan kalian,” katanya setelah mengik
”Aku bisa memberimu apa pun yang kamu mau, tapi tolong kembalikan putriku,” pintaku lagi. Aku benar-benar tidak tahan mendengar anakku menangis.Dia mendecakkan lidahnya seolah itu tidak ada hubungannya dengannya. “Dia adalah anak yang nakal, sebentar lagi dia akan berhenti menangis dan beranjak tidur,” katanya, tidak menyetujui permintaanku. “Lagi pula, kamu tidak berhak meminta apa pun. Kamu berutang nyawamu padaku, kamu tahu itu,” tambahnya.“Apa yang kamu bicarakan?” tanyaku.Dia terkekeh-kekeh. “Menurutmu, tanpa aku kamu bisa memiliki kehidupan yang sukses?” tanyanya seperti sedang mengejek.“Aku benar-benar menghargai sepenting apa kehadiranmu di hidupku, tapi bukan berarti tanpamu aku tidak bisa sukses. Kamu membantuku ketika aku sangat membutuhkannya dan aku selamanya akan bersyukur karena hal itu, tapi usaha dan tekadkulah yang membawaku sampai ke titik ini. Jika bukan di Hextec, aku akan sukses di tempat lain,” jawabku dengan penuh pendirian, merasa dia aneh karena berpik
Jason“Apa? Suzy hamil?” tanyaku terkejut setelah mendengar pengakuan dari Tama. Aku masih di ruang kerjaku sambil menyelesaikan agenda terakhirku untuk hari ini. Aku berpikir untuk menelepon Laura dan mengundangnya dan Anna untuk makan malam hari ini, itu adalah ide yang bagus, walaupun Laura sepertinya akan menolaknya.Ketika aku membeli Hextec, aku benar-benar mengira bahwa dia akan merasa senang, tapi sebaliknya, dia malah membencinya dan bahkan berhenti menghubungiku. Laura berkata bahwa aku sudah ikut campur dalam masalah mereka, ingin menjadi penyelamatnya dengan membeli Hextec untuknya, tapi aku hanya melihat keuntungan baginya jika aku membeli perusahaan itu. Sekarang dia bisa menyebut dirinya sendiri sebagai pemilik Hextec dan bertindak tanpa ragu untuk kemajuan yang bisa dia hasilkan di masa depan dan aku rela untuk membantunya dalam perjalanan ini.Namun, berbanding terbalik dengan harapanku, aku malah harus menghadapi Laura yang marah di rumah yang menceramahiku dengan
”Aku tidak tahu tepatnya. Dia berkata bahwa dia telah menyerah dan dia berpikir bahwa dia harus melanjutkan semuanya sendirian. Dia juga bilang kalau dia dan Anna akan pergi ke tempat yang sangat jauh dan mereka tidak akan kembali dan aku jangan mencari mereka,” kataku, tiba-tiba mulai merasa pahit dalam mulutku.“Laura yang mengirimkannya?” tanya Tama dan aku mengkonfirmasinya setelah membaca bahwa kontaknya dinamai “Sayangku” dengan emotikon hati merah di sampingnya. Satu-satunya kontak yang kunamai itu.“Itu benar darinya dan dikirimkan kurang dari lima menit yang lalu,” ujarku lebih rinci. Tama tidak tertawa atau mendengus dan mengatakan sesuatu yang lucu, malah sebaliknya. Dia terdiam dan kediamannya mulai membuatku takut.“Apakah kalian baru-baru ini bertengkar?” tanyanya.“Ah, kami selalu berdebat panas karena kami memiliki beberapa topik untuk didiskusikan jadi terkadang sebuah argumen muncul,” komentarku dengan santai karena aku ingin memercayai bahwa itu bukanlah apa-apa.
SuzyMengabaikan semua peringatan yang dikirimkan oleh instringku, aku tetap diam di sana, berjongkok di antara semak-semak. Sudah lewat beberapa saat sejak wanita elegan itu memasuki rumah kayu itu dan semuanya sehening kematian. Karena Richard telah menutup semua jendela, aku tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam, tapi tentunya itu bukanlah hal yang bagus.Pria ini benar-benar sudah kehilangan akalnya dan dia pasti tidak akan segan untuk membunuh wanita itu dan anaknya. Ketakutan, aku meraih ponselku, mengetikkan nomor polisi, tapi berhenti sebelum menelepon mereka. Aku harus berpikir dengan cermat. Apa yang sedang kulakukan? Menelepon polisi mungkin adalah hal yang benar sekarang, lagi pula, kedua orang itu sedang dalam bahaya, tapi bagaimana aku bisa menelepon polisi jika akulah orang yang menculik anak itu? Aku malah akan berakhir ditangkap oleh polisi karena telah melakukannya.Aku menangis dan menutup mataku rapat-rapat, bernafas dengan mulutku. Aku tidak ingin
”Suzy? Apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya dengan agresif, sudah mengacungkan pistolnya ke arahku. Aku telah tertangkap, sekarang aku akan dibunuh.“Kamu memiliki banyak sekali kesempatan untuk kabur, Suzy, dasar bodoh,” umpatku pada diri sendiri di dalam benakku. “Sekarang kamu akan mati seperti orang bodoh!”“Apa maksudmu? Apa yang kulakukan? Aku datang untuk memastikan bahwa kamu telah melakukan tugasmu dengan benar, Richard,” jawabku, mencoba membuat suaraku stabil dan mengangkat daguku. Semua orang berkata bahwa aku pandai dan tahu cara untuk membujuk seseorang dan bahkan membuat mereka memercayai sebuah kebohongan. Aku harus mempelajari itu jika aku ingin bertahan hidup. Berpura-pura sakit perut supaya tidak perlu mengulangi hari kemarin di panti asuhan atau menjilat kaki ibu atasan supaya aku tidak berakhir dengan tugas-tugas buruk adalah caraku untuk bertahan hidup, jadi aku menggunakan seluruh kemampuanku supaya aku bisa bertahan hidup.Richard mengerutkan dahinya, sedi
LauraAku harus melepaskan diriku dari ikatan ini. Aku harus mencari cara untuk menyelamatkan putriku. Itulah ketika aku mendengar suara-suara orang berdebat dengan lantang di ruangan tempat anakku berada dan suara tembakan membuatku terbeku.“Anna? Astaga, anakku!” teriakku terkejut.Mataku membelalak seraya aku berteriak dan memanggil-manggil putriku. Aku mendengar suara tembakan itu dan tidak ada lagi suara yang terdengar dari sana. Apa yang telah terjadi pada putriku?“Anna! Anna, kumohon… Ya ampun, putriku. Kumohon, selamatkan putriku,” pintaku, menarik tanganku sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan, tidak peduli jika tanganku terluka. Aku benar-benar panik dan hanya bisa membayangkan putriku terbaring di lantai, berdarah dan meninggal karena tembakan itu. Dia telah membunuh anakku. Richard telah membunuh anakku. Aku melihatnya masuk ke ruangan melalui koridor dan aku bangkit, ingin mencekik lehernya dengan tanganku sendiri, tapi tali yang mengikatku mencegahku untuk
”Ibuku tidak suka memotong rambutnya,” kata Anna dan secara refleks aku melindunginya dengan badanku. Richard dan komplotannya tertawa.“Sepertinya ibumu terbiasa potong rambut di salon mewah itu yang mana harga sekali potong di sana bisa cukup untuk menghidupi semua tunawisma di Jakarta,” kata wanita itu dan aku bisa mendengar nada mengkritik di perkataannya. “Namun, jangan khawatir, oke?” katanya, memiringkan wajahnya ke arahku. Dia tersenyum masam. “Aku akan memotong rambutmu dengan benar dan aku akan mengecatnya pirang supaya kamu akan tersamarkan dengan baik.”“Aku yakin kamu akan terlihat seksi jika rambutmu pirang, sayang,” kata Richard padaku dan aku hampir memuntahkan isi perutku. Kedua orang itu terlihat gila dan aneh.Aku tetap terdiam, tidak enggan untuk membiarkan wanita itu memotong rambutku. Lagi pula, itu hanyalah potongan rambut. Aku harus terus mencari cara untuk membebaskan diri dari pertunjukkan mengerikan ini bersama putriku. Bukan hanya itu, tapi aku benar-bena
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak