LauraDia mengejutkanku ketika dia meletakkan tangannya di pahaku, mengelusnya dengan pelan dan lanjut bersikap seolah itu adalah hal paling normal. Aku terkesiap, merasakan berat tangannya di kakiku walaupun ada kain rokku yang menutupi kulitku. Aku menatapnya yang balik menatapku secara refleks dan tersenyum miring dengan tatapan penuh arti.Itu tidak disengaja ketika jantungku berhenti berdetak sesaat karena senyumannya yang menawan. Aku tahu bahwa aku benar-benar tertarik pada pria ini dan hanya dengan satu tindakan konyol darinya, seperti meletakkan tangannya pada kakiku, telah memengaruhi seluruh indraku.Rasanya seperti aku kembali ketika aku berumur 21 tahun ketika Jason menyusuri lorong kampus dan semua hal di sekitarnya menghilang dan aku hanya bisa memperhatikannya seorang. Pada saat itu, membuatnya menyadari kehadiranku adalah hal yang sangat sulit dan paling-paling dia hanya akan mengangguk pelan ke arahku dan melanjutkan langkahnya, meninggalkan jejak aromanya padaku y
Laura“Langit, ketika aku pergi ke sana, biarkan aku bertemu dengan priaku,” Jason bersenandung, mengikuti lirik lagu yang dimainkan di stereo mobil yang dia nyalakan sendiri. “Ini adalah lagu kesukaanmu, ‘kan? Ataukah sudah berubah?” tanyanya sambil tersenyum seraya dia berusaha untuk kembali mengobrol denganku, tapi aku masih tidak menjawabnya.Dia baru saja menyindir secara tidak langsung bahwa hanya karena aku adalah seorang wanita, aku tidak sanggup merawat seorang anak dan sekarang dia ingin aku melupakannya dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Namun, tidak semudah itu.“Dia adalah matahariku, dia membuatku berbinar seperti berlian,” lanjutnya, menyenandungkan bagian dari lagu itu untuk membuatku bersemangat. “Kamu selalu menyanyikan itu untukku, ingat, sayang?” tanyanya, tapi aku telah bertekad untuk tidak membiarkannya begitu saja, jadi aku menyilangkan tanganku dan menatap ke luar jendela.Di luar sudah mulai gelap. Malam itu diterangi oleh lampu jalanan dan la
”Apa kamu bilang? Apakah kamu serius bertanya hal itu? Sungguh, Laura, kurangnya ambisimu terkadang membuatku terkejut,” katanya, menggelengkan kepalanya.“Aku ambisius, Jason,” jawabku.“Ternyata tidak seambisius itu,” katanya, terkekeh. “Aku tidak bisa membiarkan wanita itu mengambil semuanya yang merupakan milikku seperti itu. Aku akan menjadi orang bodoh kalau begitu,” katanya.“Kamu sudah menjadi orang bodoh karena menandatangani persetujuan itu. Jangan lupakan itu.” Aku mencoba mengingatkannya.“Itu adalah masa-masa kelamku,” ujarnya.“Namun, itu tidak membuatmu menjadi tidak bodoh,” ujarku balik.Dia terkesiap, tampak ditidakadili. “Kenapa kamu menuduhku seperti itu?” tanyanya.“Aku hanya ingin kita segera menyelesaikan permasalahan ini,” kataku.“Aku sudah bilang padamu kalau aku akan mencari cara, tunggulah sedikit lagi. Lalu, hindari bertemu dengan wanita itu sebisa mungkin karena ternyata, dia mampu membuatmu percaya bahwa dia adalah orang yang benar,” katanya, terli
LauraNafasku menjadi tidak teratur karena sentuhannya. Merasakan tangannya mengelus tubuhku dengan penuh apresiasi, hidungnya sibuk mengendus kulitku, dan tangannya yang menarikku untuk mendekat padanya membuatku menutup mataku dan terengah-engah. Aku bisa merasakan badannya yang kokoh seperti tembok di belakangku, begitu pas di tubuhku, lengannya menopangku seolah aku berada di sebuah sarang. Aku merasa bisa mengiyakan hal gila apa pun yang dia sarankan saat itu, tapi kami diganggu.“Nyonya Laura! Untunglah Anda sudah kembali,” kata sebuah suara yang bersemangat yang muncul di pintu masuk lorong. Itu adalah Maryam, juru masak rumah dulu. Dia mundur, merasa malu ketika dia menyadari momen memalukan yang sedang terjadi di antara aku dan Jason. “Oh, mafkan saya… Maafkan saya, saya akan pergi!” Dia meminta maaf, benar-benar merasa malu.“Oh, tidak, tidak usah pergi,” kataku, sudah menjauh dari Jason dan menenangkan diriu sendiri.“Saya benar-benar meminta maaf. Saya tidak berniat men
Laura“Akan kuberi tahu apa yang membuatku merana, Laura. Aku merindukanmu, terbangun sendirian di ranjang ini dan tidak mendapati dirimu berada di sampingku setiap pagi. Apakah terlalu berlebihan jika aku ingin semuanya kembali seperti dulu?” tanyanya, masih terduduk di ranjang, menghadapku.“Kamu tahu aku memiliki tujuan lainnya di kehidupanku dari yang kamu ketahui, Jason,” jawabku.“Aku tahu itu, tapi hari ini kamu menyarankan bahwa aku menerima kehilangan segalanya untuk bersama denganmu, tapi kamu juga tidak bersedia untuk memberikan keseluruhan dirimu padaku,” ujarnya.“Tidak juga, Jason,” kataku.“Kamu mencintaiku lebih dari apa pun, benar? Jadi, kenapa kamu terus melawanku dan cinta yang kamu miliki dalam dirimu?” tanyanya. Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menelan ludah, menatap ke lantai. Jason bangkit sambil menghela nafas dan menghampiriku, begitu dekat denganku dan menatapku. Aku menengadahkan kepalaku untuk menatapnya. Jari-jarinya menyentuh wajahku dan mengusap pi
Laura“Apakah kalian akan mengadopsi seorang bayi? Wah, berita yang baik!” seruku dalam panggilan dengan Fia. Dia sudah meninggalkan klinik dan pulang ke rumahnya dengan aman dan sekarang memberi tahu berita tersebut padaku bahwa Tama dan dia telah memutuskan untuk mengadopsi seorang anak.“Luar biasa, ‘kan? Kami akan memiliki dua anak dan kami akan menyaksikan mereka tumbuh besar bersama,” katanya di ujung telepon, bersemangat.Aku mengedipkan mataku berkali-kali, mencoba menyambungkan informasi tersebut. Ada masalah yang Tama beri tahu padaku di klinik itu dan ada kemungkinan besar bahwa Fia akan meninggalkannya jika dia mengetahui hal tersebut, dan di tengah-tengah semua hal itu, memiliki seorang anak lainnya bukanlah hal yang bijaksana.“Aku senang mendengarnya, sayang. Jaga dirimu, oke?” kataku, mendoakan yang terbaik untuknya.“Aku akan menjaga diriku. Kamu juga jaga dirimu, oke?” katanya.“Iya, sayang. Sampai jumpa lagi,” kataku berpamitan padanya.“Sampai jumpa lagi, Lau
Aku tersenyum padanya, lalu menandatangani bagian yang harus kutandatangani. “Baik, terima kasih,” kata pengacara itu, mengambil kembali dokumen-dokumennya.“Lalu, siapa yang akan menjadi pemilik barunya? Apakah dia perempuan atau laki-laki?” tanyaku ingin tahu dan Richard mengangkat bahunya, masih acuh tak acuh.“Aku baru menghubungi pengacaranya, tapi yang jelas dia akan memperkenalkan dirinya pada semua orang hari ini dan aku akan menyerahkanmu di tangan yang baik sebelum dia pergi,” katanya.Jadi, karena kami harus menunggu pria ini tiba, kami membicarakan mengenai situasi perusahaan saat ini, proyek-proyek yang sedang dilaksanakan, dan bahkan para karyawan dengan santai. Aku menyadari bahwa Richard hendak beranjak untuk membuat kopi dan aku memutuskan untuk berbicara dengannya secara pribadi.“Jadi, apakah kamu akan berangkat ke Bali?” tanyaku ketika aku menghampirinya dan dia menatapku sambil tersenyum dan menawarkanku segelas kopi.“Di sana akan sangat menyenangkan, bukanka
SuzyAku sedang memakai lipstik merah di hadapan cermin kamar hotel yang telah dipesan oleh klienku untuk malam itu. Terkadang, aku menerima beberapa pekerjaan yang membayarku dengan besar dan pria ini tidak masalah untuk menghabiskan uang, yang merupakan hal yang menguntungkan bagiku.Aku meluruskan rambut cokelatku yang tergerai sampai ke pundakku, menyoroti belahanku dan mengenakan gaun merah minim yang ketat sepanjang bagian tengah pahaku. Aku terlihat cantik dan tentunya para pria tidak berpikir dua kali untuk mengajakku kencan, tapi aku hanya bersedia menerimanya jika ada uang yang terlibat.Aku tidak merasa malu sedikit pun dengan apa yang aku lakukan, terutama karena aku telah tumbuh besar di jalanan dan aku harus melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Aku meninggalkan kamar mandi dan beranjak ke kamar, melihat bahwa pria itu masih terduduk di ranjang, tapi sudah berpakaian. Dia tampan, terlihat terawat, dan mengenakan setelan jas mahal itu, tipe pria yang tidak setiap hari
LauraAku tidak percaya bahwa Layla Raharjo, yaitu Layla Nalendra, ada di hadapanku, memohon padaku untuk kembali bekerja di Hextec bersamaku. Maksudku, dialah yang meninggalkan itu semua untuk menikah dan pergi ke Surabaya dan memulai kehidupan baru di sana dengan suaminya. Bertahun-tahun kemudian, di sinilah dia, meminta untuk kembali dan bekerja di sini lagi.“Namun, kenapa kamu meminta ini, Layla? Apakah kamu sudah tidak tinggal di Surabaya lagi?” tanyaku, benar-benar terkejut.Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak juga,” jawabnya. “Sudah beberapa saat sejak aku meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta. Aku tinggal di rumah nenekku, tapi sekarang aku merasa siap untuk kembali bekerja.” Dia mengangguk seakan-akan dia memiliki keinginan baru untuk hidup sekarang.“Pernikahanmu berakhir, ya?” Kata-kata itu tidak keluar sebagai pertanyaan, karena aku sudah tahu betul raut wajah orang yang kesakitan di dalam—Layla memiliki raut wajah itu.Dia mengangguk, tersenyum dengan lemah. “
Laura“Layla! Lama tidak berjumpa,” kataku dengan gembira, beranjak menghampiri untuk memeluknya saat dia memasuki ruang kerjaku.“Oh, Laura, aku sangat merindukanmu,” katanya sambil tersenyum untukku seraya dia membalas pelukanku. Aku benar-benar tidak memiliki permasalahan dengannya karena aku selalu menyukai dia. Dia adalah orang yang baik sekali padaku kendati segala hal yang telah terjadi.“Aku juga merindukanmu,” kataku seraya aku memandangnya. “Kamu menghilang dan tidak datang kemari lagi. Aku bahkan mengira Surabaya sudah mencurimu dari kami.”Dia tertawa mendengarnya, menggelengkan kepalanya. “Tidak ada satu hal pun dan siapa pun yang bisa membuatku melupakan Jakarta,” katanya.“Yah, itu adalah hal yang menyenangkan untuk diketahui, kuakui.” Aku tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah sofa di samping jendela ruang kerjaku yang seluruhnya berkaca dari lantai sampai langit-langit dengan gorden yang ditarik ke samping, sehingga membiarkan cahaya matahari dan udara segar mema
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat
AnnaKetika aku kembali ke mobil dan melihat kaca spion seraya aku melaju menuju pintu masuk sekolahku, aku bisa melihat Ciko dengan tangan di kepalanya dan pundak yang merosot, terlihat sedih tentang apa yang baru saja terjadi. Aku menghela napas pasrah dan memutuskan untuk melihat ke depan dan melanjutkan hidupku. Itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.“Hei, Anna,” panggil Abel padaku begitu dia melihatku berjalan memasuki aula sekolah.“Hai, Abel.” Aku tersenyum kepadanya saat aku melihat dia, beranjak untuk memeluknya. Abel adalah anak kandung dari Bibi Fia, sahabat ibuku. Dia dan aku tumbuh besar bersama sebagai teman dan selalu terhubung dengan satu sama lain.“Apa yang terjadi? Kamu sedikit terlambat hari ini,” katanya sambil memandangku.“Em … itu karena aku tadi berbicara dengan Ciko di luar,” kataku padanya sambil menyelipkan rambutku di belakang telingaku, merasa tidak nyaman hanya memikirkan tentang Ciko.“Oh! Ciko ada di luar? Astaga, dia manis sekali! Kamu beru
Anna“Aku ingin putus denganmu, Ciko.”Ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, aku hampir tidak dapat memercayainya. Aku sudah ingin mengatakannya sejak lama sekali hingga aku berpikir bahwa saat ini aku hanya membayangkan diriku sendiri mengatakannya seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini, itu sungguhan. Aku bisa melihat wajah Ciko hancur di hadapanku—wajahnya yang sesaat yang lalu penuh harapan, sekarang terkejut dan bahkan merasa jijik dengan kata-kataku.Dia tersenyum dengan lemah, seakan-akan dia tidak memahami apa pun. “Kamu ingin putus denganku? Apa maksudmu? Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya, terlihat benar-benar kebingungan.Aku menghela napas, menyadari bahwa aku seharusnya tidak mengatakan itu padanya tanpa pendahuluan apa-apa. Namun, aku bukannya bersikap tidak sensitif, itu hanyalah cinta monyet dan aku berhak mengakhirinya.“Kurasa sebaiknya kita bicara lagi nanti, Ciko,” kataku dan berbalik untuk pergi, tapi dia tidak membiarkan aku pergi menjauh da