Lila duduk diam, menatap dinding ruang kerja Ryan hanya untuk mengalihkan pendangannya. Hatinya terasa seperti dipenuhi oleh ribuan beban, menggantung di setiap sudut pikirannya.Hidup sendiri di kota ini, dengan keadaan yang semakin rumit, membuatnya semakin sulit untuk menghadapi semua ini. Memberi tahu bagaimana keadaannya saat ini kepada orang tuanya pun bukan pilihan, mereka sudah cukup sulit dengan masalah hidup mereka sendiri. Dan Lila tidak ingin menambah rasa cemas mereka.Ryan, yang selama ini selalu ada untuknya, sekarang satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. Keputusan untuk menikah di saat masih mengandung, itu bukan hal yang pernah terlintas dalam pikirannya.Menikah bukan sekadar menandatangani dokumen atau menukar cincin, ini adalah hidup yang akan berubah sepenuhnya. Tapi, bayangan Sean yang kembali dan berusaha mengambil anaknya menimbulkan ketakutan yang tak bisa dia abaikan.Lila menoleh perlahan ke arah Ryan, dengan tatap mata penuh keraguan. "Ryan, aku ... ak
Lila melangkah dengan cepat, hampir berlari menuju ruang kerjanya. Hatinya seperti diremukkan berkeping-keping setelah mendengar pembicaraan antara Sekar dan Andika, membuatnya seolah lupa dengan perutnya yang sudah besar.Baru saja Lila berpikir akan mendapatkan perlindungan dengan menerima tawaran dari Ryan, tetapi kenyataan ini justru membuka matanya. Niat Ryan untuk menikahinya bukan didasari ketulusan, melainkan hanya muslihat untuk mempertahankan harta dan perusahaan yang selama ini mereka kuasai.Semua pengorbanan dan perasaan yang dicurahkan oleh Ryan tampaknya tidak lebih dari sekadar alat dalam rencana besar mereka.Setiap langkahnya terasa berat, namun Lila tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan siapa pun.“Hati-hati, Lil! Jangan lari!” ucap salah satu rekan kerja Lila saat melihat Lila terburu-buru menuju ruang kerjanga.“Dia yang lari, aku yang merasa ngeri,” sambung rekan yang lain sambil terus memperhatikan pergerakan Lila.“Ada apa ya?” tanya rekan lainnya yang m
Ryan mempercepat langkahnya, berjalan dengan kemarahan yang tertahan menuju ruang kerja Andika. Namun, ketika melewati koridor, matanya menangkap sosok Sekar yang sedang melangkah anggun menuju pintu keluar perusahaan.Ryan berhenti sejenak, memperhatikannya dari kejauhan dengan amarah yang tertahan.Sekar tetap tampak memukau, bahkan di usianya yang tidak lagi muda. Perempuan itu masih terlihat begitu sehat dan tetap cantik, hingga membuat Ryan semakin geram. Bagi Ryan, di balik penampilan tenang dan sempurna itu, Sekar adalah sosok perempuan jahat yang akan melakukan apa pun untuk mewujudkan keinginannya.Ryan mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk langsung berhadapan dengan Sekar. “Aku akan membalas semua perbuatanmu kepada mamaku,” gumam Ryan bersamaan dengan lenyapnya Sekar dari pandangannya.Ada banyak hal yang Ryan lampiaskan pada Sekar, tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Rencana yang baru dia susun untuk menikahi Lila, serta kepentingan bisnis keluarga, terasa t
Di ruang rapat, Sean berusaha mempertahankan konsentrasi, meskipun pikirannya terbagi. Dia berkali-kali melirik jam tangannya, memperhitungkan waktu. Yang ada dalam benak Sean saat ini hanya ingin segera mengamankan Lila, sebelum sang mama bergerak lebih dulu.Tetapi tampaknya situasi tidak mendukung keinginan Sean. Kliennya saat ini sedang berbicara dengan antusias memaparkan potensi besar investasi di proyek mereka.“Jadi, seperti yang saya katakan sebelumnya, proyek ini memiliki return yang sangat menjanjikan,” ujar klien dengan nada meyakinkan. “Kami sudah memproyeksikan pertumbuhan pasar dalam lima tahun ke depan. Ini akan menjadi peluang besar.”Sean tersenyum tipis, mencoba menutupi kecemasannya. “Saya setuju, prospek yang Anda sebutkan memang sangat menarik. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita perjelas, terutama dalam hal pembagian keuntungan.”Klien yang bernama Bryan itu mengangguk. “Tentu saja, Pak Sean. Kami terbuka untuk negosiasi, tetapi kami berharap bisa mencapai k
Rangga melangkah masuk ke dalam gedung tempat kerja Lila dengan langkah yang tenang dan penuh wibawa. Walau hanya sebentar dia diberi waktu dengan bersama dengan perempuan yang mampu mengusik hatinya.Rangga hanya berharap, Sean tidak mengetahui tentang isi hatinya, dan akan memberinya kesempatan bersama Lila lebih sering. Rangga sadar, persaingan ini tidak imbang, tidak ingin memaksakan diri untuk merebut Lila, yang penting bisa melihatnya bahagia, itu saja.Rangga berhenti di meja resepsionis, memberikan senyum sopan kepada petugas di sana. "Permisi, saya mencari Ibu Lila," ucapnya dengan suara ramah, tetapi jelas.Resepsionis menatap Rangga sejenak, lalu melirik daftar pegawai. "Ibu Lila?" tanyanya untuk memastikan."Ya," jawab Rangga cepat, dengan menambahkan, "Saya diperintah oleh suaminya untuk menjemputnya."Petugas itu tampak ragu sesaat, tapi akhirnya menggelengkan kepala dengan sedikit senyum. "Maaf, Pak, Ibu Lila sudah pulang tadi, sekitar setelah jam makan siang."Jawaban
Rangga berjalan menyusuri lorong apartemen, dengan teliti matanya tajam mengamati nomor-nomor unit di sepanjang dinding. Rangga merasa telah berada di lorong yang benar, dan nomor yang sudah mendekati unit apartemen Lila.Namun, pemandangan di ujung lorong membuat langkahnya terhenti. Dari kejauhan, Rangga melihat Lila berhadapan dengan Ryan dan beberapa pria kekar yang menyeramkan di depan pintu apartemen Lila.Wajah Lila tampak ketakutan dan penuh ketegangan, sementara Ryan berdiri dengan sikap mengancam, diapit oleh beberapa pria berbadan besar yang tampak seperti pengawal pribadi. Tanpa basa-basi, Ryan mendorong pintu apartemen Lila hingga terbuka lebar, lalu masuk dengan langkah pasti, diikuti oleh pria-pria tersebut.Dada Rangga berdebar. Dia menyaksikan bagaimana Lila mencoba melawan, namun gerakannya langsung dihentikan oleh cengkeraman Ryan. Melihat sikap kasar dan dominasi yang diperlihatkan Ryan, Rangga mengepalkan tangan, merasakan dorongan untuk menghentikan kejadian itu.
Sean melangkah dengan napas memburu, hampir berlari sepanjang koridor apartemen menuju unit Lila. Bersama pihak keamanan dan pengelola gedung yang membantu, Sean akhirnya berhasil membuka pintu apartemen Lila.Begitu pintu terbuka, Sean tertegun, langkahnya terhenti di ambang pintu. Di hadapannya, Lila duduk berdampingan dengan Ryan, hatinya mencelos melihat ekspresi Lila yang penuh kesedihan, air mata mengalir di pipinya, dan tangan yang gemetar memegang perutnya yang terlihat sedikit menegang.Saat gendang telinganya bergetar kala mendengar kata-kata yang dari mulut penghulu Sean menyadari itu adalah kalimat ijab dalam akad nikah. Sean mengepalkan tangan, menahan amarah yang meluap dalam dadanya. Tanpa menunggu, dia memasuki apartemen Lila berharap masih ada waktu untuk mengagalkan pernikahan yang tidak semestinya terjadi.“Saya terima nikahnya ….”“Saya tidak terima!” Teriakan Sean menggema ke seisi ruangan, memotong kalimat qobul yang akan diucapkan oleh Ryan.Ruangan yang semula
Berbanding terbalik dengan Sean, wajah Ryan justru memerah menahan amarah setelah mendengar penjelasan dari penghulu yang telah dia bayar mahal untuk menikahkan dirinya dengan Lila. Ryan menatap Lila, lalu beralih ke arah Sean, merasa semua kendali yang telah dia rencanakan kini hancur di depan matanya.“Apa yang bisa kau lakukan sekarang adalah pergi dari sini bersama orang-orangmu itu. Dan kau harus menerima kenyataan jika Lila kembali menjadi istriku, dan sebentar lagi … aku akan punya anak,” ucap Sean terdengar mengejek Ryan.Ryan menatap tajam ke arah Sean dan Lila, wajahnya menegang dengan amarah yang masih membara. Namun, ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Kekalahan dalam perdebatan ini adalah kenyataan pahit yang harus ia terima.Dengan mendengus kesal, Ryan mengalihkan pandangan, mengisyaratkan kepada orang-orangnya untuk pergi. Mereka mengikuti langkahnya, meninggalkan apartemen Lila satu per satu tanpa sepatah kata pun.Di sudut ruangan, penghulu yang masih
“Aku tidak bisa menerima alasanmu Sean.” Suara Lila terdengar tenang namun penuh penegasan.Sean menggelengkan kepala, mencoba mengatur napas yang terasa berat. “Aku tahu aku salah, tapi aku mohon kau bisa memahami posisiku.”“Posisi yang mana?” Lila memandangnya dengan tatapan yang menusuk, membuat Sean semakin merasa bersalah. “Karena Ryan adalah adikmu, kau ingin mengorbankan Rina demi menutupi semua kesalahannya?”“Maafkan aku.” Sean menjawab lirih. “Aku sudah melepaskan Rina dari segala tuntutan. Lalu di mana salahnya?”“Kau belum membersihkan nama baiknya, Sean,” balas Lila dengan nada tajam. “Tuduhan yang kau berikan kepada Rina adalah kejahatan yang serius. Itu akan menghantui langkahnya di masa depan.”“Aku akan meminta maaf kepadanya, dan memberi kompensasi yang besar, kalau perlu aku akan membuat pernyataan public untuknya.”Lila menggeleng pelan, senyuman getir menghiasi wajahnya. “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, Sean. Termasuk hubungan kita.”Sean terte
Sean menghembuskan napas kasar, suaranya terdengar seperti desah lelah yang menahan beban tak kasat mata. Dengan gerakan cepat, dia melonggarkan dasinya. Wajahnya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan, tatapan matanya redup, nyaris kosong.Sean merasakan Tuhan benar-benar sedang mengujinya dengan memberikan masalah secara bersamaan bahkan tanpa memberinya jeda, seolah tidak mau antri, datang satu per satu.Sean membimbing Lila untuk duduk bersamanya. Diraihnya tangan sang istri lalu digenggan dengan erat. “Penjelasan seperti apa yang kau inginkan?” tanyanya lirih, ada getar lembut yang sulit ditutupi.Lila menarik napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. “Aku ingin tahu tentang Sean Anugrah Mahendra. Dan pria dewasa dalam foto keluarga itu. Siapa mereka sebenarnya?”Pertanyaan itu menghantam Sean seperti pukulan keras. Napasnya tertahan sesaat. Wajahnya berubah kaku, tapi ia tahu ini adalah batas akhirnya. Rahasia yang selama ini ia lindungi seperti benteng kokoh kini mulai
Dengan langkah anggun, Sekar masuk ke ruang kerja Sean tanpa menunggu undangan. Wajahnya dihiasi senyum ramah yang kontras dengan atmosfer tegang di ruangan itu. "Mama kangen, sudah lama sekali kamu tidak mampir ke rumah," ucap Sekar sambil duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Rangga. "Sesibuk apa kalian sampai tidak pernah mengunjungi mama?" Sean hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai upaya menahan diri daripada rasa hangat. "Seperti yang Mama lihat," jawab Sean singkat. Sekar mengabaikan nada datar itu dan melanjutkan, "Mama kangen, Sean. Kangen Lila juga. Sejak kalian rujuk, kalian belum pernah datang ke rumah? Apa kehamilannya berjalan lancar?" Sean menatap ibunya, matanya penuh kehati-hatian. "Lila baik-baik saja," katanya, mencoba mengakhiri pembicaraan. Namun, Sekar tampaknya tidak mudah menyerah. "Ajak dia ke rumah, Sean. Mama ingin menghabiskan waktu dengan menantu mama," lanjut Sekar, kali ini dengan nada memohon. Sean hanya membalas dengan senyum ya
Lila memegang erat piagam yang baru saja dia ambil. Namanya jelas tertera, Sean Anugrah Mahendra. Sebuah nama yang asing bagi dirinya, sangat berbeda dengan nama lengkap suaminya yang selama ini dia ketahui. Kening Lila berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah ini Sean yang sama? Atau dua orang yang berbeda. Seolah lupa dengan tujuan awal mendatangi Gudang, Lila justru mencari petunjuk lain untuk mengetahui nama lengkap suami yang sebenarnya. Lila membuka beberapa kardus yang tertutup rapi, setelah menemukan beberapa piagam penghargaan untuk olimpiade sains nasional dan beberapa turnamen basket antar sekolah, akhirnya Lila menemukan beberapa foto lama. Dengan hati-hati, dia mengambilnya dan mengamati lebih dekat foto lama yang telah usang. Dalam foto itu, terlihat seorang wanita yang langsung dia kenali sebagai ibu Sean, memeluk seorang anak laki-laki kecil yang juga jelas adalah Sean di masa kecilnya. Namun, pria dewasa yang berdiri di samping mereka membuat Lila tertegun.
Sean menatap Lila dengan tatapan putus asa. "Tolong, Lila. Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki segalanya. Beri aku satu kesempatan lagi." Lila menggeleng perlahan, suaranya penuh luka yang terpendam lama. "Dua tahun pernikahan kita adalah kesempatan bagi kamu untuk belajar mencintaiku. Tapi selama dua tahun itu, yang kamu lakukan hanyalah hidup dalam bayang-bayang Miranda. Kamu begitu dingin, seolah aku tidak ada di matamu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kamu terus mengabaikanku." Sean terdiam, kata-kata Lila terdengar seperti sedang menguliti semua kesalahannya. "Maaf.” Hanya satu kata itu yang terlontar dari mulut Sean, seolah semua kata yang ada di otaknya raib dari memorinya. "Sebenarnya ada banyak kesempatan yang kau miliki, tetapi ternyata kau selalu menyia-nyiakannya." Suara Lila terdengar tegas. "Saat kau memutuskan rujuk, harusnya kau sadar, itu adalah kesempatan terakhir yang kau miliki. Saat itu aku berharap kamu sud
Sean duduk di kursinya dengan ekspresi yang sulit ditebak, layar laptop di depannya menampilkan video yang diunggah Nadya di media sosial.Sebelumnya Sean tidak pernah peduli dengan platform semacam itu, tapi kali ini dia tak bisa mengalihkan perhatian. Nadya berbicara dengan nada tenang namun penuh emosi, menjelaskan kisah yang selama ini tidak pernah Sean ketahui.“Saya bertemu dengan Lila di Mahendra Securitas. Beberapa teman pria mencoba mendekatinya, tapi dengan jujur dia mengatakan status jandanya,” ujar Nadya dalam video itu.Sean mengepalkan tangannya dengan kuat seolah ingin menyalurkan amarah yang tidak dia ketahui penyebabnya.“Aneh, kejujurannya tidak mendapat apresiasi tetapi justru stigma buruk sebagai seorang janda. Di tempat kerja, banyak yang berbisik di belakangnya.” Nadya menundukkan kepala, seolah berat untuk mengungkap kebenaran. Karena mengingatnya, membuat Nadya merasa bersalah menjadi salah satu dari bagian mereka.“Apa lagi saat mengetahui Lila sedang hamil. M
"Sial!" gumam Andreas pelan, tetapi tidak bisa menutupi amarah dan kebenciannya. "Apakah kau sudah melihat video yang diposting temannya Lila? Video itu benar-benar mampu menarik simpati publik dan memojokkan dirimu. Andreas berdiri gelisah, mondar-mandir di depan Miranda yang duduk di sofa. Wajah Miranda tampak lelah, dengan riasan yang mulai memudar, namun matanya masih tajam memandang sang papa yang terus meluapkan kegelisahannya. “Pelantikan tinggal hitungan hari!” seru Andreas, suaranya memantul di ruangan. “Jika dia dilantik, semua koneksi kita di pemerintahan akan musnah. Bisnis kita bisa hancur, Miranda! Hancur!” Miranda mendesah, menyandarkan punggungnya ke sofa. “Aku tahu itu, Pa. Tapi berteriak-teriak di sini tidak akan menyelesaikan masalah.” Andreas berhenti melangkah, menatap Miranda dengan wajah penuh amarah. “Kamu tidak mengerti tekanan yang sedang kita hadapi. Jika masalah hukum ini muncul ke permukaan, kita bisa kehilangan semuanya, rumah ini, perusahaan, bahkan
Rangga menjalankan perintah Sean dengan baik. Tidak butuh waktu yang lama acara tersebut sudah siap.Dengan langkah tegas, Sean melangkah menuju tempat konferensi pers yang telah dipenuhi wartawan. Cahaya lampu kamera berkedip-kedip, menyorot wajahnya yang tegas hingga mampu menutupi segala beban. Sean tidak menunjukkan keraguan, dia tahu ini adalah langkah yang harus diambil, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk masa depan keluarganya.Setelah mengambil tempat yang telah dipersiapkan, Sean mengambil mikrofon. Ruangan yang semula dipenuhi suara bisik-bisik langsung hening. Sean menatap para wartawan dengan mata penuh ketegasan, lalu menghela napas panjang sebelum memulai.“Saya mengundang kalian semua ke sini hari ini untuk menjelaskan beberapa hal yang selama ini menjadi tanda tanya di publik,” Sean memulai. Suaranya mantap, meski ada sedikit getar yang tertahan.“Saya ingin dengan tegas menyatakan bahwa hubungan saya dengan Miranda Manuella telah berakhir. Hubungan tersebut
Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”