Rangga melangkah masuk ke dalam gedung tempat kerja Lila dengan langkah yang tenang dan penuh wibawa. Walau hanya sebentar dia diberi waktu dengan bersama dengan perempuan yang mampu mengusik hatinya.Rangga hanya berharap, Sean tidak mengetahui tentang isi hatinya, dan akan memberinya kesempatan bersama Lila lebih sering. Rangga sadar, persaingan ini tidak imbang, tidak ingin memaksakan diri untuk merebut Lila, yang penting bisa melihatnya bahagia, itu saja.Rangga berhenti di meja resepsionis, memberikan senyum sopan kepada petugas di sana. "Permisi, saya mencari Ibu Lila," ucapnya dengan suara ramah, tetapi jelas.Resepsionis menatap Rangga sejenak, lalu melirik daftar pegawai. "Ibu Lila?" tanyanya untuk memastikan."Ya," jawab Rangga cepat, dengan menambahkan, "Saya diperintah oleh suaminya untuk menjemputnya."Petugas itu tampak ragu sesaat, tapi akhirnya menggelengkan kepala dengan sedikit senyum. "Maaf, Pak, Ibu Lila sudah pulang tadi, sekitar setelah jam makan siang."Jawaban
Rangga berjalan menyusuri lorong apartemen, dengan teliti matanya tajam mengamati nomor-nomor unit di sepanjang dinding. Rangga merasa telah berada di lorong yang benar, dan nomor yang sudah mendekati unit apartemen Lila.Namun, pemandangan di ujung lorong membuat langkahnya terhenti. Dari kejauhan, Rangga melihat Lila berhadapan dengan Ryan dan beberapa pria kekar yang menyeramkan di depan pintu apartemen Lila.Wajah Lila tampak ketakutan dan penuh ketegangan, sementara Ryan berdiri dengan sikap mengancam, diapit oleh beberapa pria berbadan besar yang tampak seperti pengawal pribadi. Tanpa basa-basi, Ryan mendorong pintu apartemen Lila hingga terbuka lebar, lalu masuk dengan langkah pasti, diikuti oleh pria-pria tersebut.Dada Rangga berdebar. Dia menyaksikan bagaimana Lila mencoba melawan, namun gerakannya langsung dihentikan oleh cengkeraman Ryan. Melihat sikap kasar dan dominasi yang diperlihatkan Ryan, Rangga mengepalkan tangan, merasakan dorongan untuk menghentikan kejadian itu.
Sean melangkah dengan napas memburu, hampir berlari sepanjang koridor apartemen menuju unit Lila. Bersama pihak keamanan dan pengelola gedung yang membantu, Sean akhirnya berhasil membuka pintu apartemen Lila.Begitu pintu terbuka, Sean tertegun, langkahnya terhenti di ambang pintu. Di hadapannya, Lila duduk berdampingan dengan Ryan, hatinya mencelos melihat ekspresi Lila yang penuh kesedihan, air mata mengalir di pipinya, dan tangan yang gemetar memegang perutnya yang terlihat sedikit menegang.Saat gendang telinganya bergetar kala mendengar kata-kata yang dari mulut penghulu Sean menyadari itu adalah kalimat ijab dalam akad nikah. Sean mengepalkan tangan, menahan amarah yang meluap dalam dadanya. Tanpa menunggu, dia memasuki apartemen Lila berharap masih ada waktu untuk mengagalkan pernikahan yang tidak semestinya terjadi.“Saya terima nikahnya ….”“Saya tidak terima!” Teriakan Sean menggema ke seisi ruangan, memotong kalimat qobul yang akan diucapkan oleh Ryan.Ruangan yang semula
Berbanding terbalik dengan Sean, wajah Ryan justru memerah menahan amarah setelah mendengar penjelasan dari penghulu yang telah dia bayar mahal untuk menikahkan dirinya dengan Lila. Ryan menatap Lila, lalu beralih ke arah Sean, merasa semua kendali yang telah dia rencanakan kini hancur di depan matanya.“Apa yang bisa kau lakukan sekarang adalah pergi dari sini bersama orang-orangmu itu. Dan kau harus menerima kenyataan jika Lila kembali menjadi istriku, dan sebentar lagi … aku akan punya anak,” ucap Sean terdengar mengejek Ryan.Ryan menatap tajam ke arah Sean dan Lila, wajahnya menegang dengan amarah yang masih membara. Namun, ia tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Kekalahan dalam perdebatan ini adalah kenyataan pahit yang harus ia terima.Dengan mendengus kesal, Ryan mengalihkan pandangan, mengisyaratkan kepada orang-orangnya untuk pergi. Mereka mengikuti langkahnya, meninggalkan apartemen Lila satu per satu tanpa sepatah kata pun.Di sudut ruangan, penghulu yang masih
“Bagiku kehamilan ini adalah anugerah. Tapi jika kau memang tidak menghendakinya, biarkan aku pergi!” Lila mengakhir kalimat lalu menyeka air mata, hatinya pedih saat merasakan jika Sean menolak kehadiran anaknya. “Aku tidak akan mengganggumu lagi.”Lila ingin menghindar dari Sean yang semakin mendekat, tetapi tubuh besar Sean sudah menutup pergerakannya.Sean terlihat sangat murka dengan sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh Lila. “Kau tidak tahu ancaman apa yang ada yang di luar sana yang sedang menantimu.”Melihat amarah Sean, membuat Lila kembali teringat dengan kekerasan yang pernah dia terima. “Kau lebih menakutkan bagiku.” Lila mendorong tubuh tubuh tegap Sean agar menjauh darinya.Tampaknya Sean tidak peduli dengan ketakutan yang dialami Lila, dia pun semakin mendekat dan mengungkung tubuh Lila. “Apa yang kau takutkan?”Tidak ada jawaban, hanya deru napas memburu penuh ketakutan. Tetapi tiba-tiba berubah menjadi desahan yang memanjakan telinga, saat ternyata tangan Sean sud
Dering ponsel yang berada di atas nakas membangunkan Lila dari tidurnya. Dengan mata yang belum terbuka sempurna Lila mencoba meraih ponselnya yang terus meraung-raung. Seolah panggilan penting yang harus segera mendapatkan jawab. Lila tampak kesusahan untuk bergerak, bukan hanya karena perutnya yang membesar, tetapi lengan Sean yang melingkar di tubuhnya mempersulit pergerakannya. Saat Lila akan menyingkirkan lengan Sean, lelaki yang kini kembali berstatus seuami itu justru semakin mengeratkan tangannya. Setelah dengan sedikit perjuangan akhirnya Lila bisa meraih ponselnya, nama Nadya terpampang jelas di layar ponselnya. Dengan posisi telentang yang terlihat masih mengantuk, Lila menekan tombol jawab. Lila mengangkat panggilan itu menyapa sahabatnya dengan suaranya yang terdengar serak. "Halo, Nad?" "Lila! Aku sudah di depan apartemenmu. Ada hal penting yang belum sempat kita bicarakan kemarin!" Suara Nadya terdengar ceria namun penuh tuntutan, membuat Lila langsung terjaga. "Oh
Nadya tersenyum kaku, kemudian berkata dengan nada canggung, “Maaf … Aku tidak tahu kalau aku mengganggu. Mungkin lebih baik aku pamit sekarang…” Namun, sebelum Nadya sempat bergerak lebih jauh, Sean dengan sigap menahannya. “O ya, sebelum pergi ….” Ujar Sean dengan nada tegas tidak ada kesan ingin menghalangi, matanya pun menatap langsung ke arah Nadya. “Aku tidak ingin ada salah paham di sini. Jadi biar aku jelaskan, aku dan Lila sudah rujuk. Kami sedang berusaha memperbaiki rumah tangga kami.” Nadya tampak terkejut, matanya berpindah-pindah antara Sean dan Lila, mencari kepastian. Sementara itu, Lila menundukkan wajahnya, merasa sedikit canggung dengan cara Sean mengumumkan hubungan mereka. “Dan, satu hal lagi,” lanjut Sean dengan arogan, “Lila akan segera mengirimkan surat pengunduran dirinya dari Mahendra Securitas. Dia tidak lagi bekerja di sana, mulai saat ini kami akan memprioritaskan anak kami.” Nadya mencoba untuk tetap tersenyum, meskipun terlihat jelas bahwa informasi
Saat berjalan menyusuri lorong apartemen, Nadya melirik Rangga dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di wajahnya. Dia berusaha menyusun pertanyaan tanpa terlihat terlalu ingin tahu, namun rasa penasarannya sulit disembunyikan.“Kamu sudah lama bekerja dengan Sean?” tanyanya santai, seolah ingin memulai obrolan ringan.“Kenalan dulu, Mbak,” sahut Rangga sambil mengulurkan tangannya. “Rangga,” ucap Rangga saat Nadya menjabat tangannya.“Nadya,” sahut Nadya menyebutkan Namanya.“O ya, tadi Mbak Nadya tanya apa?”“Panggil Nadya saja!” Nadya berusaha mengakrabkan dirinya. “Kamu sudah lama bekerja dengan Sean?” Nadya mengulangi pertanyaan yang belum sempat mendapat jawaban.Rangga mengangguk sambil tetap fokus pada langkahnya. “Ya, sejak kuliah saya sudah magang di perusahaan Pak Sean,” jawab Rangga apa adanya.Nadya tersenyum kecil, tidak menyerah begitu saja. “Hubungan Sean dan Lila … unik ya? Mereka terlihat seperti dua kutub yang berbeda. Apa Sean memang selalu seperti itu?”Nadya
Rangga tertegun mendengar permintaan Sean, tapi ia hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. Baginya, Sean selalu penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Ia tahu betul, baik Sean maupun Sekar, sudah memberikan banyak untuk pernikahannya yang mewah.Setelah meninggalkan ruang kerja Sean, Rangga menghela napas panjang. Ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Nadya, calon istrinya.“Nad, ada hal penting yang harus aku bicarakan,” ucap Rangga dengan nada datar. Di ujung telepon, suara Nadya terdengar ceria, meski ia langsung bertanya-tanya.“Kenapa, Mas? Ada apa?” tanya Nadya yang sudah mulai mengubah caranya memanggil calon suaminya.“Nanti aku jelaskan. Tenang saja, semuanya masih terkendali,” jawab Rangga singkat. “Tapi aku harap kamu tidak marah karena aku memutuskan hal ini tanpa berbicara terlebih dahulu kepadamu.”“Masalah apa? Paling tidak kasih clue, biar aku tidak penasaran.”“Ada hubungannya dengan Mas Sean dan Mbak Lila.”Terdengar suara hembusan napas kasar. Hut
Di ruang kerja yang tenang itu, Sean memandang Rangga yang duduk di hadapannya dengan ekspresi serius. Rangga, meskipun biasanya santai, tampak sedikit tegang.“Jadi, kamu minta tambahan cuti satu minggu lagi?” Sean membuka pembicaraan dengan nada tegas.Rangga mengangguk cepat. “Bukan, Mas. Tapi satu minggu sebelum hari H. Selama ini persiapan pernikahan Nadya sendiri yang handle. Aku hanya tidak ingin saat hari H nanti Nadya justru tumbang karena kelelahan.”Sean tersenyum tipis, seolah tahu apa yang ada di otak Rangga. “Kamu tinggal pilih, lebih banyak libur sebelum nikah, atau bisa libur panjang untuk bulan madu? Pilihan ada di kamu.”Rangga terdiam mencoba berpikir sejenak. Dalam benaknya, apalah arti bulan madu panjang kalau tenaga sudah terforsir untuk bekerja. Bisa-bisa Nadya langsung kecewa sejak malam pertama.Sean menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku paham, tapi aku cuma bisa kasih kamu tiga hari sebelum hari H. Kamu tahu sendiri, situasi sekarang sepert
Pagi itu, suasana di kamar Sean dan Lila terasa hangat. Seperti biasa, dengan lembut merapikan dasi Sean yang sudah berdiri rapi dengan jasnya. Tangannya cekatan membetulkan simpul dasi, sementara Sean berdiri memerhatikannya dengan senyum kecil di wajahnya."Kamu tahu, setelah menikah nanti, Nadya akan kembali bekerja di Mahendra Securitas," ucap Sean di sela-sela kebersamaan mereka.Lila mengangkat wajahnya, menatap suaminya. "Atas permintaan Mama?"Sean mengangguk. "Iya, Mama yang memintanya. Katanya, Nadya bisa membantu mengurangi bebanmu nanti."Lila tersenyum kecil. "Membantu mengurangi bebanku?" Lila bertanya sambil mengulang kalimat suaminya.Sean tertawa pelan. "Ya, itu yang jadi pertanyaan, apakah kamu sendiri sudah siap untuk memimpin Mahendra Securitas?"Pertanyaan itu membuat senyum Lila memudar. Tangannya terhenti di dasi Sean, lalu perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah boks bayi di sudut ruangan. Dari sana terdengar suara Brilian yang sedang berceloteh sendiri,
Lila terbangun dari tidurnya dengan perasaan dingin yang menusuk, bukan karena udara malam, tetapi karena tidak merasakan pelukan hangat Sean di sampingnya.Lila menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang. Mengenakan jubah tidurnya, Lila melirik sebentar ke arah Brilian, memastikan putranya masih terlelap dengan damai.Tanpa membuat suara, Lila melangkah keluar dari kamar, berjalan menuju ruang kerja Sean. Ketika ia membuka pintu perlahan, pandangannya langsung tertuju pada suaminya yang masih duduk di depan meja penuh dokumen.Cahaya lampu meja menerangi wajah Sean yang tampak serius, matanya tertuju pada kertas-kertas di hadapannya.Lila berdiri di ambang pintu, mengamati Sean sejenak sebelum melangkah masuk. Sean menyadari kehadiran istrinya dan menoleh. Sebuah senyum hangat terlukis di wajahnya, seolah kehadiran Lila adalah jeda yang ia butuhkan dari segala kerumitannya."Kenapa bangun? Brilian baik-baik saja, kan?" tanya Sean sambil merapikan dokumen di meja kerjanya.Lila m
Malam semakin merangkak, tetapi Sekar tetap memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Di depan pintu, Lila memeluk mertuanya dengan erat. Hubungan antara mertua dan menantu yang sempat merenggang kini kembali erat dengan kelahiran Brilian.Sekar membalas pelukan itu dengan lembut, lalu membisikkan pesan ke telinga Lila.“Sekali lagi mama berpesan, jaga penampilanmu. Jangan anggap sepele, ini sangat penting,” ujar Sekar dengan suara lembut tapi tegas.Lila mengangguk kecil. “Iya, Ma. Saya akan berusaha.”Sekar menatap Lila dalam-dalam, menyampaikan pesan terakhirnya. “Jaga rumah tanggamu. Jangan biarkan masalah kecil menjadi besar. Jika ada yang mengganggu hubungan kalian, bicarakan baik-baik dengan Sean. Mama hanya tidak ingin Brilian tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh, seperti yang pernah Sean alami dulu. Mama tidak ingin Brilian merasakan apa yang Sean rasakan.”Kata-kata itu membuat hati Lila terenyuh. Dia memandang Sekar dengan mata berkaca-kaca. “Saya akan berusaha melakukan yang t
Lila menggigit bibirnya. Sebagai kakak, dia merasa bertanggung jawab atas Delisa, tetapi ibu mertuanya mempunyai alasan yang sulit untuk dia sangkal."Delisa harus belajar hidup mandiri, Lila. Jangan kamu manjakan dia. Kalau kamu ingin membantunya, bantu dari jarak jauh, bukan dengan membawanya ke dalam rumah tangga kalian,” ucap Sekar dengan nada ketus.Lila akhirnya mengangguk pelan, meski hatinya berat. "Baik, Ma. Saya akan pikirkan lagi."Sekar menghela napas, lalu bangkit berdiri. "Mama hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan Sean. Ingat, Lila, rumah tangga itu sudah penuh dengan tantangan. Jangan menambah masalah dengan hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari."Lila mengangguk lagi, menyadari bahwa meskipun ketus, Sekar hanya ingin melindungi keluarganya dari kemungkinan konflik yang tidak perlu.Saat mertua dan menantu itu sedang berbincang, terdengar suara pintu terbuka. Tampak Sean melankah dengan ringan, tetapi lelah di wajahnya tidak bisa disembunyikan.Sean melihat Lila sed
Di setiap waktu luangnya, Sekar akan menyempatkan diri untuk mengunjungi cucu pertamanya. Bagi Sekar, kelahiran Brilian adalah kemenangan besar. Bukan hanya dia bisa mendapatkan kembali hartanya yang selama ini dikuasai oleh Andika, tetapi juga karena dia sudah lama menantikan kehadiran penerus untuk keluarga dan perusahaannya.Sekar duduk di sofa ruang keluarga, memangku Brilian yang mulai menggeliat kecil dalam pelukannya. Wajah cucunya itu selalu membuat hatinya luluh. Namun, saat bayi itu mulai merengek, Sekar mendesah dan menyerahkan Brilian kepada Lila."Dia haus," ucap Sekar singkat, dengan nada yang menunjukkan otoritas sebagai seorang ibu mertua.Lila tersenyum kecil, meskipun dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia mengambil Brilian dengan lembut dan mulai menyusui.Sekar memperhatikan dengan saksama, matanya menyelidik dari ujung rambut hingga ujung kaki menantunya.Sekar menggelengkan kepala, dengan ekspresi menunjukkan rasa tidak Sukanya. “Kamu itu, Lil!” Sekar ak
Sean duduk di sofa ruang keluarga, memangku Brilian yang tertidur pulas di pelukannya. Biasanya, momen seperti ini membuat Sean tersenyum lebar, menikmati kehangatan menjadi seorang ayah. Tapi kali ini, wajahnya terlihat murung, matanya menerawang jauh seolah ada beban berat yang menghimpit hatinya.Lila, yang sedang membuat susu dirinya dan kopi panas Sean, memperhatikan keheningan itu. Setelah dua minuman itu jadi, dengan nampan Lila membawanya ke ruang keluarga."Ada masalah?" tanya Lila dengan suara lembut sambil menjatuhkan tubuhnya di samping sang suami.Sean menghela napas panjang, menatap wajah mungil Brilian yang damai dalam tidurnya."Aku baru pulang dari rumah Papa," jawab Sean pelan, suaranya terdengar berat. "Sekarang Papa sendirian. Ryan dan mamanya meninggalkan Papa setelah semua yang terjadi."Sean tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di hadapan sang istri. Melihat betapa rapuhnya Sean saat berbicara tentang papanya, membuat Lila bisa memahami alasan Sean yang dahulu
Sean dan Andika duduk bersama di taman, ditemani secangkir teh hangat. Udara sore terasa sejuk, membawa aroma bunga dari taman yang baru saja disiram. Sean diam sejenak, memandangi sang ayah yang tampak lebih tua dari terakhir kali dia ingat. Garis-garis lelah di wajah Andika menunjukkan perjalanan hidup yang berat, namun matanya masih menyimpan semangat yang sama.“Bagaimana kabar mamamu?” tanya Andika tiba-tiba, memecah keheningan. Ada kerinduan yang tersirat dalam suaranya, meski berusaha disembunyikan.Sean mengangguk perlahan. “Mama baik-baik saja. Dia bahagia sekarang, terutama setelah Brilian lahir.”Mendengar itu, Andika tersenyum kecil. Namun, senyuman itu juga membawa sedikit kesedihan. “Syukurlah ... papa senang mendengarnya. Mamamu wanita yang hebat.”Suasana menjadi hening sesaat. Sean menggenggam cangkir teh di tangannya, matanya menatap ke arah taman. Ada rasa bersalah yang mulai menghantuinya.“Aku minta maaf,” ujar Sean akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Karena kel