Lila bergeming antara takut dan terlena dengan keberadaan Sean di hadapannya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Sean masih membekas, tetapi hormon kehamilan ini kadang membuatnya merindukan sentuhan dari ayah anak yang dikandungnya.Sean terlihat begitu leluasa hingga nyaris menyatukan bibirnya dengan bibir Lila. Tetapi, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang membuatnya berhenti. Sebuah gerakan halus dari perut Lila, gerakan kecil namun nyata.Dalam sekejap, emosi aneh menyelubungi hati Sean, campuran rasa bangga dan keharuan yang tak pernah dia bayangkan. Anaknya ada di sana, hidup dan tumbuh di dalam diri Lila. Ternyata ada banyak hal yang telah dia lewatkan selama ini.Lila melihat Sean terdiam, seolah dalam kebingungan dan kekaguman yang membungkam. Menyadari kesempatan itu, Lila cepat-cepat menggeser tubuhnya ke samping, menjauh dari Sean yang masih terpaku.Lila bergegas melangkah menuju laci tempat menyimpan obat-obatan, membuka kotak berisi berbagai obat dari resep dokte
Sean melangkah masuk ke kantor dengan wajah tegang dan langkah tergesa. Aroma ruangan yang biasa memberinya rasa tenang kini tidak lagi terasa sama. Sean melihat Bella, sekretarisnya, yang langsung berdiri untuk menyambutnya.“Rangga, ke ruang saya lima belas menit lagi,” ucap Sean singkat dengan langkah yang dipercepat.Bella menatapnya dengan sedikit cemas, mendapati raut wajah Sean yang lebih keras dari biasanya. “Apakah ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Bella, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana tegang yang menyelimuti ruangan.“Tidak, Bella. Fokus saja pada pekerjaanmu.” Sean menjawab tegas, tanpa menoleh, menunjukkan bahwa dia tidak ingin ada gangguan tambahan. Suaranya tidak menyisakan ruang untuk pertanyaan lebih lanjut dari Bella maupun Rangga.Bella hanya mengangguk patuh, memahami bahwa Sean sedang tidak ingin diganggu. Sekretaris seksi itu pun segera melanjutkan pekerjaannya.Sean langsung menuju ruang kerjanya dan membuka pintu dengan sedikit hentakan, terlihat s
Lila tiba di kantor dengan langkah tergesa. Bukan hanya karena datang terlambat, tetapi juga menyembunyikan wajahnya sembab dan lelah. Kedatangan Sean pagi ini benar-benar menyita waktu dan membuat suasana hatinya menjadi buruk. Beberapa rekan kerja menoleh ke arahnya, menyadari ada yang tidak biasa pada diri Lila hari itu. Tatapan prihatin dan bisikan pelan terdengar di sekitarnya, tetapi Lila hanya menunduk, berharap segera bisa mencapai mejanya tanpa perlu menjelaskan apa pun. Tetapi, Rina, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sudah lebih dulu mendekat. "Lila … kamu kenapa? Kamu sakit?" Rina bertanya dengan lembut, memegang lengan Lila. Mendengar perhatian dari sahabatnya, Lila tak bisa lagi menahan air matanya. Tanpa sepatah kata, ia merosot ke dalam pelukan Rina, menangis terisak-isak. Suara tangisnya yang terpendam terdengar menyayat, membuat Rina memeluknya lebih erat, menepuk bahunya untuk menenangkan. Setelah beberapa saat, ketika isakan Lila mulai mereda, Rina membimbingnya
Rangga memasuki ruang kerja Sean dengan langkah sigap, wajahnya menampakkan ekspresi lega. “Mas Sean, Cyrus Sugandhi sudah bersedia bertemu. Saya sudah membuat janji dengannya, dan kita bisa langsung berangkat sekarang.”Sean yang semula tampak tenggelam dalam pikirannya segera mengangkat wajah, matanya berkilat penuh antusiasme. “Baik. Ayo, kita temui Cyrus Sugandhi sekarang juga,” ujarnya tegas sambil bangkit dari kursinya.Keduanya berjalan cepat melewati koridor kantor, menarik perhatian beberapa karyawan yang terbiasa melihat Sean dengan ritme kerja yang teratur dan penuh perhitungan. Tetapi kali ini, Sean tampak berbeda. Ada kesan terburu-buru yang tidak biasa terlihat dalam dirinya.Di dalam mobil, suasana hening. Sean fokus pada rencana yang akan dia bicarakan dengan Cyrus Sugandhi, pengacara yang tidak terikat oleh keluarganya dan, terutama, bebas dari pengaruh ibunya. Keputusan ini merupakan langkah tegas yang diambilnya demi melindungi hak asuh anaknya dan menjaga Lila dari
Cyrus melepaskan tawa kecil yang nyaris mengejutkan Sean. Tidak sering ada klien yang dibalasnya dengan cara seperti ini, namun bagi Cyrus, ada momen di mana seseorang harus mendengar kenyataan dengan sedikit candaan.“Maaf, Pak Sean,” katanya sambil menenangkan tawanya. “Mungkin terdengar berlebihan, tapi Anda tahu, pernikahan bukan sekadar soal legalitas. Ya, itu memang penting, dan sah secara hukum negara maupun agama adalah dasar yang diperlukan. Tapi apa Anda benar-benar paham apa yang akan Anda jalani setelahnya?”Sean terdiam, tidak menyangka akan terjadi pembicaraan dengan pengacara muda di hadapannya menjadi seperti sesi konseling keluarga.Cyrus melanjutkan, wajahnya lebih serius kali ini, “Pernikahan adalah tanggung jawab besar, terutama bagi seorang suami. Anda bukan hanya mengesahkan hubungan di mata hukum atau agama, tetapi Anda juga harus kambali siap untuk menjadi seorang pemimpin. Seorang suami harus bisa memimpin dengan kasih, bukan hanya aturan.”Cyrus mengamati Sea
Lila duduk diam, menatap dinding ruang kerja Ryan hanya untuk mengalihkan pendangannya. Hatinya terasa seperti dipenuhi oleh ribuan beban, menggantung di setiap sudut pikirannya.Hidup sendiri di kota ini, dengan keadaan yang semakin rumit, membuatnya semakin sulit untuk menghadapi semua ini. Memberi tahu bagaimana keadaannya saat ini kepada orang tuanya pun bukan pilihan, mereka sudah cukup sulit dengan masalah hidup mereka sendiri. Dan Lila tidak ingin menambah rasa cemas mereka.Ryan, yang selama ini selalu ada untuknya, sekarang satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. Keputusan untuk menikah di saat masih mengandung, itu bukan hal yang pernah terlintas dalam pikirannya.Menikah bukan sekadar menandatangani dokumen atau menukar cincin, ini adalah hidup yang akan berubah sepenuhnya. Tapi, bayangan Sean yang kembali dan berusaha mengambil anaknya menimbulkan ketakutan yang tak bisa dia abaikan.Lila menoleh perlahan ke arah Ryan, dengan tatap mata penuh keraguan. "Ryan, aku ... ak
Lila melangkah dengan cepat, hampir berlari menuju ruang kerjanya. Hatinya seperti diremukkan berkeping-keping setelah mendengar pembicaraan antara Sekar dan Andika, membuatnya seolah lupa dengan perutnya yang sudah besar.Baru saja Lila berpikir akan mendapatkan perlindungan dengan menerima tawaran dari Ryan, tetapi kenyataan ini justru membuka matanya. Niat Ryan untuk menikahinya bukan didasari ketulusan, melainkan hanya muslihat untuk mempertahankan harta dan perusahaan yang selama ini mereka kuasai.Semua pengorbanan dan perasaan yang dicurahkan oleh Ryan tampaknya tidak lebih dari sekadar alat dalam rencana besar mereka.Setiap langkahnya terasa berat, namun Lila tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan siapa pun.“Hati-hati, Lil! Jangan lari!” ucap salah satu rekan kerja Lila saat melihat Lila terburu-buru menuju ruang kerjanga.“Dia yang lari, aku yang merasa ngeri,” sambung rekan yang lain sambil terus memperhatikan pergerakan Lila.“Ada apa ya?” tanya rekan lainnya yang m
Ryan mempercepat langkahnya, berjalan dengan kemarahan yang tertahan menuju ruang kerja Andika. Namun, ketika melewati koridor, matanya menangkap sosok Sekar yang sedang melangkah anggun menuju pintu keluar perusahaan.Ryan berhenti sejenak, memperhatikannya dari kejauhan dengan amarah yang tertahan.Sekar tetap tampak memukau, bahkan di usianya yang tidak lagi muda. Perempuan itu masih terlihat begitu sehat dan tetap cantik, hingga membuat Ryan semakin geram. Bagi Ryan, di balik penampilan tenang dan sempurna itu, Sekar adalah sosok perempuan jahat yang akan melakukan apa pun untuk mewujudkan keinginannya.Ryan mengepalkan tangannya, menahan dorongan untuk langsung berhadapan dengan Sekar. “Aku akan membalas semua perbuatanmu kepada mamaku,” gumam Ryan bersamaan dengan lenyapnya Sekar dari pandangannya.Ada banyak hal yang Ryan lampiaskan pada Sekar, tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Rencana yang baru dia susun untuk menikahi Lila, serta kepentingan bisnis keluarga, terasa t
Sean memandang tangga dengan napas tertahan, perutnya seakan diikat rasa cemas. Lila, dengan perut besarnya, telah berlari menaikinya tanpa memperhatikan kondisi tubuhnya.Sean tahu jika dia harus segera menyusul untuk menyelesaikan masalah. Tetapi ada rasa takut, jika saat dia mengejar Lila menjadi panik dan terpeleset. Akhirnya Sean memutuskan tetap memperhatikan setiap langkah Lila sambil berdoa untuk keselamatan anak dan istrinya.Setelah beberapa saat, ketika rumah kembali sunyi dan yakin Lila sudah masuk ke kamar, Sean akhirnya melangkah naik. Tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu kamar mereka yang terkunci. Ia mengetuk perlahan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski hatinya sedang kacau.“Lila,” panggil Sean pelan. “Boleh aku masuk? Kita harus bicara.”Tidak ada jawaban dari dalam kamar, hanya keheningan yang terasa menyesakkan. Sean mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Lila, aku tahu aku salah. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tolong buka pintunya.”
Lila masih terpaku di posisinya, air mata mengalir tanpa bisa dia kontrol. Rasanya, seluruh tubuhnya lumpuh, tidak sanggup melangkah pergi dari kenyataan yang baru saja dia temukan.Suara gemericik air di kamar mandi berhenti. Lalu, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan Sean yang melangkah keluar sambil mengeringkan tangannya.“Lila?” Suara Sean terdengar terkejut.Sean berhenti di ambang pintu, melihat istrinya berdiri kaku di depan meja kerjanya, dengan mata sembab dan pipi basah. Pandangan Sean beralih ke laptopnya yang masih terbuka, lalu kembali ke wajah Lila. Wajah Sean seketika berubah tegang, menyadari telah melakukan sebuah keteledoran.“Kenapa kamu di sini?” tanya Sean dengan suara yang terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang bercampur dengan kegugupan.Lila mendongak perlahan, matanya yang memerah menatap Sean dengan luka yang begitu nyata. “Apa maksud semua ini, Sean?” tanya Lila dengan suara parau, tangannya menunjuk layar laptop yang masih menyala.Sean tidak me
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nadya. Selama Sean memperlakukan dirinya dengan baik, Lila harus bersyukur dan menikmati segala yang dia miliki saat ini. Dia harus fokus pada kehamilan dan proses persalinan yang semakin dekat.Perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Sean akhir-akhir ini, membuat Lila merasa jika hubungannya dengan sang suami semakin membaik. Tak ayal hal tersebut membuat Lila merasa bahagia menantikan kelahiran putra pertamanya.Saat Lila sedang merapikan tempat tidurnya, dia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di perutnya. Tetapi keterkejutan itu berganti senyum, saat Lila mengenali aroma parfum yang akhir-akhir ini terasa begitu menenangkan baginya. Dan senyum itu semakin lebar, saat Lila menoleh ke belakang dan memastikan jika sang suami adalah pelakunya.“Sudah pulang?” tanyanya lembut.Sean tidak menjawab pertanyaan Lila, dia segera membalikkan tubuh Lila hingga membuat mereka dalam posisi yang saling berhadapan. Sean melabuhkan kecupan hangat di pucu
Di ruang kerja yang sunyi, Sean duduk di depan laptopnya. Video lama yang pernah diunggah Lila sedang diputar, menampilkan istrinya dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan. Suaranya yang lembut namun tegas mengisi ruangan, menjelaskan isu ekonomi yang rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami.“Kita tidak bisa menghindari deflasi, tetapi kita bisa belajar untuk menghadapinya,” ujar Lila di video. “Bagi keluarga dari kalangan menengah, penting untuk memahami bagaimana prioritas keuangan harus disesuaikan. Fokus pada kebutuhan primer, kurangi pengeluaran yang tidak perlu, dan jika memungkinkan, cobalah mencari sumber penghasilan tambahan.”Sean menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Kata demi yang terlontar dari mulut Lila terasa begitu mengalir seperti angin segar, membangkitkan semangat dan memberikan perspektif baru.Sean memperhatikan setiap gerakan kecil Lila, caranya menjelaskan dengan tangan, senyum yang sesekali muncul saat dia memberikan
Ryan duduk terpaku di kursi ruangannya, memo dari bagian HRD masih berada di tangannya. Surat pengunduran diri Nadya yang baru saja diserahkan pagi itu menjadi pukulan berat yang tidak dia duga. Wajahnya memerah, dan rahangnya mengeras. Dalam hitungan minggu, tiga karyawan terbaik yang selama ini menjadi andalannya, Lila, Rina, dan sekarang Nadya, telah meninggalkan perusahaan.“Mengapa jadi seperti ini?” gumam Ryan sambil meremas memo tersebut.Matanya menatap lurus ke meja, pikirannya berputar dengan berbagai spekulasi. Untuk Lila dan Rina, Ryan tidak bisa menghalangi mereka karena dia sadar itu semua adalah kesalahannya sendiri.Tetapi Nadya? Mengapa dia ikut-ikutan mengundurkan diri seperti dua rekannya?Ryan menyadari kedekatan mereka bertiga, tetapi tidak pernah menduga saat dia mengusik salah satunya, ketiganya akan memilih untuk meninggalkan perusahaannya.Ryan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangannya yang sepi. Tidak bisa dipungkiri, kepergian mereka satu p
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang