Sekar mendengus kecil, meremehkan ancaman Sean. Ia menegakkan tubuhnya, memandang Sean dengan tatapan tajam dan berkata, “Mama tidak peduli, Sean. Yang penting bagi mama dengan kelahiran anakmu, itu artinya tujuan mama akan tercapai.” Sean terdiam seolah kehabisan kata menghadapi Sekar. Sean menggeleng lemah saat membayangkan anaknya tumbuh dalam lingkungan yang tanpa cinta dan kasih sayang, semua hanya demi uang, bahkan kelahirannya pun untuk ditujukan untuk mendapatkan kekayaan. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Sekar terdengar seolah tidak peduli dengan perasaan Sean. “Jika kau memang ingin melindungi anakmu, kau bisa mengambilnya setelah Lila melahirkannya, dan kau mengasuhnya bersama Miranda. Kalian akan hidup bahagia sebagai sebuah Wismoyojati.” Sean mengepalkan tangan, amarah membara di dalam dirinya. Dia merasa kejamnya rencana ibunya menusuk hatinya lebih dalam. Dengan suara yang bergetar, ia menjawab, “Mama benar-benar tak paham. Anak ini bukan mainan yang bisa Mama pindahka
Saat pintu terbuka, Sean berdiri di sana dengan sorot mata yang tidak bisa disembunyikan. Lila, seperti refleks, mencoba menarik blazer-nya untuk menutupi perutnya, namun gerakannya malah seperti mengarahkan perhatian Sean pada hal yang justru ingin ia sembunyikan. Keduanya terdiam dalam keheningan yang canggung. Sean akhirnya memecah keheningan, suaranya pelan, hampir berbisik. “Boleh aku masuk?” Lila ragu sejenak, namun kemudian menghela napas dan memperlebar pintu. Dia menggeser posisnya sedikit seolah memberi ruang bagi Sean untuk masuk. Sekali lagi, mereka berhadapan dalam ruang yang sempit, nuansa apartemen sederhana yang jauh dari kemewahan yang biasa Sean datangi. Sean membiarkan matanya menjelajahi ruangan itu, dinding yang berlapis cat yang mulai kusam, perabotan sederhana, dan sentuhan kecil yang memperlihatkan bahwa Lila berusaha menciptakan kenyamanan di tengah kesederhanaan. Perasaan bersalah mulai menyelinap dalam benaknya, tapi Sean menepisnya. Dia menoleh kembali
Lila bergeming antara takut dan terlena dengan keberadaan Sean di hadapannya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Sean masih membekas, tetapi hormon kehamilan ini kadang membuatnya merindukan sentuhan dari ayah anak yang dikandungnya.Sean terlihat begitu leluasa hingga nyaris menyatukan bibirnya dengan bibir Lila. Tetapi, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang membuatnya berhenti. Sebuah gerakan halus dari perut Lila, gerakan kecil namun nyata.Dalam sekejap, emosi aneh menyelubungi hati Sean, campuran rasa bangga dan keharuan yang tak pernah dia bayangkan. Anaknya ada di sana, hidup dan tumbuh di dalam diri Lila. Ternyata ada banyak hal yang telah dia lewatkan selama ini.Lila melihat Sean terdiam, seolah dalam kebingungan dan kekaguman yang membungkam. Menyadari kesempatan itu, Lila cepat-cepat menggeser tubuhnya ke samping, menjauh dari Sean yang masih terpaku.Lila bergegas melangkah menuju laci tempat menyimpan obat-obatan, membuka kotak berisi berbagai obat dari resep dokte
Sean melangkah masuk ke kantor dengan wajah tegang dan langkah tergesa. Aroma ruangan yang biasa memberinya rasa tenang kini tidak lagi terasa sama. Sean melihat Bella, sekretarisnya, yang langsung berdiri untuk menyambutnya.“Rangga, ke ruang saya lima belas menit lagi,” ucap Sean singkat dengan langkah yang dipercepat.Bella menatapnya dengan sedikit cemas, mendapati raut wajah Sean yang lebih keras dari biasanya. “Apakah ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Bella, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana tegang yang menyelimuti ruangan.“Tidak, Bella. Fokus saja pada pekerjaanmu.” Sean menjawab tegas, tanpa menoleh, menunjukkan bahwa dia tidak ingin ada gangguan tambahan. Suaranya tidak menyisakan ruang untuk pertanyaan lebih lanjut dari Bella maupun Rangga.Bella hanya mengangguk patuh, memahami bahwa Sean sedang tidak ingin diganggu. Sekretaris seksi itu pun segera melanjutkan pekerjaannya.Sean langsung menuju ruang kerjanya dan membuka pintu dengan sedikit hentakan, terlihat s
Lila tiba di kantor dengan langkah tergesa. Bukan hanya karena datang terlambat, tetapi juga menyembunyikan wajahnya sembab dan lelah. Kedatangan Sean pagi ini benar-benar menyita waktu dan membuat suasana hatinya menjadi buruk. Beberapa rekan kerja menoleh ke arahnya, menyadari ada yang tidak biasa pada diri Lila hari itu. Tatapan prihatin dan bisikan pelan terdengar di sekitarnya, tetapi Lila hanya menunduk, berharap segera bisa mencapai mejanya tanpa perlu menjelaskan apa pun. Tetapi, Rina, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sudah lebih dulu mendekat. "Lila … kamu kenapa? Kamu sakit?" Rina bertanya dengan lembut, memegang lengan Lila. Mendengar perhatian dari sahabatnya, Lila tak bisa lagi menahan air matanya. Tanpa sepatah kata, ia merosot ke dalam pelukan Rina, menangis terisak-isak. Suara tangisnya yang terpendam terdengar menyayat, membuat Rina memeluknya lebih erat, menepuk bahunya untuk menenangkan. Setelah beberapa saat, ketika isakan Lila mulai mereda, Rina membimbingnya
Rangga memasuki ruang kerja Sean dengan langkah sigap, wajahnya menampakkan ekspresi lega. “Mas Sean, Cyrus Sugandhi sudah bersedia bertemu. Saya sudah membuat janji dengannya, dan kita bisa langsung berangkat sekarang.”Sean yang semula tampak tenggelam dalam pikirannya segera mengangkat wajah, matanya berkilat penuh antusiasme. “Baik. Ayo, kita temui Cyrus Sugandhi sekarang juga,” ujarnya tegas sambil bangkit dari kursinya.Keduanya berjalan cepat melewati koridor kantor, menarik perhatian beberapa karyawan yang terbiasa melihat Sean dengan ritme kerja yang teratur dan penuh perhitungan. Tetapi kali ini, Sean tampak berbeda. Ada kesan terburu-buru yang tidak biasa terlihat dalam dirinya.Di dalam mobil, suasana hening. Sean fokus pada rencana yang akan dia bicarakan dengan Cyrus Sugandhi, pengacara yang tidak terikat oleh keluarganya dan, terutama, bebas dari pengaruh ibunya. Keputusan ini merupakan langkah tegas yang diambilnya demi melindungi hak asuh anaknya dan menjaga Lila dari
Cyrus melepaskan tawa kecil yang nyaris mengejutkan Sean. Tidak sering ada klien yang dibalasnya dengan cara seperti ini, namun bagi Cyrus, ada momen di mana seseorang harus mendengar kenyataan dengan sedikit candaan.“Maaf, Pak Sean,” katanya sambil menenangkan tawanya. “Mungkin terdengar berlebihan, tapi Anda tahu, pernikahan bukan sekadar soal legalitas. Ya, itu memang penting, dan sah secara hukum negara maupun agama adalah dasar yang diperlukan. Tapi apa Anda benar-benar paham apa yang akan Anda jalani setelahnya?”Sean terdiam, tidak menyangka akan terjadi pembicaraan dengan pengacara muda di hadapannya menjadi seperti sesi konseling keluarga.Cyrus melanjutkan, wajahnya lebih serius kali ini, “Pernikahan adalah tanggung jawab besar, terutama bagi seorang suami. Anda bukan hanya mengesahkan hubungan di mata hukum atau agama, tetapi Anda juga harus kambali siap untuk menjadi seorang pemimpin. Seorang suami harus bisa memimpin dengan kasih, bukan hanya aturan.”Cyrus mengamati Sea
Lila duduk diam, menatap dinding ruang kerja Ryan hanya untuk mengalihkan pendangannya. Hatinya terasa seperti dipenuhi oleh ribuan beban, menggantung di setiap sudut pikirannya.Hidup sendiri di kota ini, dengan keadaan yang semakin rumit, membuatnya semakin sulit untuk menghadapi semua ini. Memberi tahu bagaimana keadaannya saat ini kepada orang tuanya pun bukan pilihan, mereka sudah cukup sulit dengan masalah hidup mereka sendiri. Dan Lila tidak ingin menambah rasa cemas mereka.Ryan, yang selama ini selalu ada untuknya, sekarang satu-satunya orang yang bisa dia andalkan. Keputusan untuk menikah di saat masih mengandung, itu bukan hal yang pernah terlintas dalam pikirannya.Menikah bukan sekadar menandatangani dokumen atau menukar cincin, ini adalah hidup yang akan berubah sepenuhnya. Tapi, bayangan Sean yang kembali dan berusaha mengambil anaknya menimbulkan ketakutan yang tak bisa dia abaikan.Lila menoleh perlahan ke arah Ryan, dengan tatap mata penuh keraguan. "Ryan, aku ... ak
Sean melangkah masuk ke kantornya dengan langkah tegas seperti biasa, tetapi matanya segera menyapu ruangan resepsionis. Bella, sekretaris pribadinya yang selalu sigap menyambutnya di pagi hari, tidak terlihat di tempat. Alisnya berkerut. “Bella belum datang?” tanyanya pada salah satu staf yang sedang sibuk di meja depan. Staf itu mendongak dengan sedikit ragu, “Sepertinya belum, Pak. Saya belum melihatnya sejak pagi.” “Kalau Bella sudah datang, suruh dia langsung ke ruangan saya,” perintah Sean singkat, tetapi sarat otoritas. “Baik, Pak,” jawab Staf itu sambil mengangguk patuh. Sean melanjutkan langkahnya menuju ruang kerjanya. Pikirannya berusaha mengabaikan ketidakhadiran Bella, lalu membenamkan diri dalam tumpukan berkas yang harus segera ditinjau dan ditandatangani. Pena di tangannya bergerak cepat, matanya tajam meneliti setiap detail dokumen. Sesekali dia menghela napas panjang, mencoba menjaga fokus. Setelah beberapa saat, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. S
Pagi itu, Sean tampak lebih tenang. Tetapi sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah justru bertingkah seperti anak kecil yang manja di hadapan Lila.Berdiri saling berhadapan, Sean menatap istrinya dengan senyum jahil. Pandangannya tidak pernah absen dari wajah Lila yang sibuk merapikan kemejanya.“Sean, jangan bergerak,” tegur Lila sambil berusaha memasang dasi suaminya. Namun, Sean malah menyelipkan kedua tangannya di pinggang Lila, menariknya mendekat dengan gaya bercanda.“Sean! Apa yang kau lakukan?” Lila mengerutkan dahi, mencoba menjaga fokusnya. Namun, Sean hanya terkekeh, wajahnya tampak puas.“Aku hanya ingin memeluk istriku. Salahkah aku?” goda Sean, matanya berbinar. Lila mendesah keras, mencoba melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.Saat Lila berhasil melonggarkan dasi yang terlipat, Sean tiba-tiba mencoba mencuri ciuman. Lila mendelik, lalu dengan refleks memukul dada Sean.“Sean! Jangan seperti ini, kau sudah terlambat!
Lila mendengus kasar, mengembuskan napas berat seperti mencoba menyingkirkan emosi yang menggelayut. Sorot matanya yang tajam kini meredup, menyisakan lelah yang tak tertahankan. Ia menatap Sean sekilas, namun dengan cepat memutus kontak mata.Tak ada gunanya, pikir Lila. pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa arah hingga membuatnya enggan untuk melanjutkan. Pembicaraan mereka malam ini sepertinya tidak akan mencapai titik temu dengan mudah, akhirnya Lila memutuskan untuk mengabaikan Sean dan mengistirahatkan tubuhnya.Dengan sedikit kepayahan, Lila menggeser tubuhnya. Tangannya meraih selimut yang terlipat rapi di tepi ranjang, lalu menariknya hingga menutupi tubuh. Ia membelakangi Sean, mengisyaratkan akhir dari percakapan“Lil!” Sean memanggil, suaranya menggema dalam kamar yang sunyi.Meskipun belum tidur, tetapi Lila tidak menyahut panggilan Sean. Napasnya terdengar berat, tetapi tak ada sepatah kata pun yang keluarEntah mengapa tiba-tiba Lila merasa ada gejolak amarah.
Lila menatap Sean dengan sorot mata yang penuh tanya, tetapi juga lelah. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, membawanya pada labirin yang penuh dengan misteri keluarga Sean."Kenapa kau menanyakan itu padaku? Aku hanya menantu, Sean. Aku bahkan tidak tahu banyak tentang masa lalu keluargamu. Itu urusan kalian. Aku merasa tidak punya hak untuk ikut campur terlalu dalam."Sean menggeleng pelan. "Karena mama membutuhkan dirimu untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.”Lila mengusap perutnya yang mulai membuncit. Gerakannya lembut, seperti sedang melindungi sesuatu yang paling berharga di dunia. Sean menyusul, meletakkan tangannya di atas tangan istrinya. Sentuhan itu hangat, tapi juga penuh dengan kekhawatiran.Bayi kecil mereka, yang bahkan belum sempat melihat dunia, sudah harus terlibat dalam pusaran ambisi dan perebutan harta.Pikiran Lila berputar pada Mahendra Securitas, perusahaan yang dulu ia kenal dengan baik. Sebagai mantan karyawan, ia tahu betul betapa besar nilai as
Selo Ardi menatap Sean dengan alis terangkat, senyum tipis menghiasi wajahnya.“Biro jasaku tidak menyediakan sekretaris. Adanya tukang pukul,” ujar Selo Ardi sembari tertawa kecil. Tetapi, matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang tak bisa dia sembunyikan.Sean menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sangat serius. "Saya tahu itu, tapi aku tidak butuh seorang sekretaris secara spesifik. Tapi lebih kepada orang yang bisa mengawasi gerak-gerik sekretarisku saat ini.”Selo menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya tak lepas dari Sean. “Ada apa dengan sekretarismu? Jangan bilang dia mencoba mengambil alih perusahaanmu?” candanya, meski nada suaranya mengandung keseriusan.Sean menggeleng pelan. “Tidak sejauh itu. Tapi ...”Sean menggantungkan kalimatnya, menatap jauh ke jendela ruangan. “Entah ini kecurigaan atau hanya kecemburuan. Lila, istriku, merasa sekretarisku sedang mencoba menjebakku dalam sebuah skandal.”Selo menyipitkan mata, mencoba membaca situasi. “Skandal seperti apa?”S
Di hari biasa, Bi Siti akan langsung mengarahkan Vicky untuk langsung menuju ke ruang gym, tetapi kali ini karena Lila tidak berpesan apa pun, Vicky harus menunggu di ruang tamu. Vicky langsung berdiri saat melihat Lila memasuki ruang tamu dengan Sean yang mengekor di belakangnya. Tidak bisa dipungkiri, bertemu Sean adalah niat utama Vicky mendatangi rumah tersebut, setelah mendapat informasi jika Sean tidak bekerja akhir pekan ini. “Hai Vicky!” Lila berusaha tetap ramah, meskipun kedatangan Vicky yang tiba-tiba sangat mengganggunya. “Apa ada masalah?” Sebenarnya Lila hendak duduk, tetapi tangan Sean tiba-tiba melingkar di pinggangnya seolah tidak mengizinkannya duduk. Karena Lila dan Sean yang tetap berdiri, bahkan tidak ada tanda jika dirinya akan dipersilahkan duduk, Vicky pun langsung mengungkap maksud kedatangannya. “Karena jadwal senam yang kemarin tertunda, jadi saya bermaksud untuk menggantinya hari ini,” ucap Vicky dengan seulas senyum di bibirnya. Vicky berusaha untuk
Akhirnya Sean bisa bernapas lega, semua pekerjaan dan urusan yang menumpuk berhasil diselesaikan. Sehingga di akhir pekan ini dia bisa menghabiskan waktu bersama Lila.Mereka memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menikmati momen tenang sambil menyiapkan kamar putra pertama mereka yang sebentar lagi akan lahir.Kamar bayi mereka terlihat rapi dengan nuansa biru yang lembut. Dindingnya dihiasi mural bertema luar angkasa, gambar planet-planet yang berwarna pastel, bintang-bintang kecil yang bersinar lembut, dan sebuah roket mungil yang tampak terbang menuju galaksi jauh.Langit-langitnya dicat dengan warna biru gelap, dihiasi bintang-bintang fosfor yang akan bersinar dalam gelap, memberikan kesan magis saat malam tiba.Sean tersenyum puas saat menata tempat tidur bayi berbentuk bulat yang sudah dikelilingi oleh pelindung lembut bergambar awan. Di sudut kamar, ada rak kecil yang sudah diisi buku-buku cerita bertema angkasa, mainan edukatif, dan boneka berbentuk astronaut.“Bagaimana, ka
Hari masih pagi, tetapi energi Sean rasanya sudah hampir terkuras habis. Sean tidak bisa membiarkan sang mama berbuat semena-mena terhadap orang lain, tetapi dia pun tidak mungkin mengabaikan luka hatinya. Sebagai seorang anak, ingin rasanya Sean bisa menjadi penengah yang akan menjembatani perdamaian kedua orang tuanya. Dia ingin papa dan mamanya menikmati masa tua dengan bahagia, meski tidak harus bersama. Kesibukannya pagi ini membuat Sean terpaksa terlambat tiba di kantornya. Sean melangkah cepat melewati meja resepsionis hingga tiba di ruang sekretaris pribadinya. Sekilas dia melirik Bella yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Tanpa memperlambat langkah, Sean memberi isyarat dengan tangan dan berkata singkat, "Bella, ke ruangan saya sekarang!" Bella mendongak, matanya berbinar. Ada senyum kecil yang terlukis di wajahnya, seolah-olah perintah Sean adalah penghargaan yang menegaskan posisinya. Betapa Sean sangat membutuhkan dan bergantung kepadanya. Bella seger
Sekar menatap Sean dengan sorot mata yang penuh luka dan kemarahan. Wajahnya yang cantik kini memucat, garis-garis usia tampak jelas ketika dia mencoba menahan amarah yang menggelegak dalam dada. Amarah yang selama ini dia pendam, akhirnya meledak juga. “Mama sudah banyak mengalah. Mama tidak memenjarakan papamu dan gundiknya. Mama tetap membiarkan papamu hidup sejahtera dari perusahaan yang modalnya dari uang mama. Kurang mengalah apa lagi, Sean?” Suara Sekar bergetar, tidak bisa menutupi rasa sakit yang mengendap bertahun-tahun di dalam dirinya. Sepertinya Sekar sudah tidak bisa menahan lagi amarah yang sudah lama dia pendam selama ini. Tidak mudah baginya untuk melupakan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami yang sangat dia cintai. Dari bukan siapa-siapa, dia angkat derajatnya, tetapi setelah di atas, Andika justru meninggalkannya demi perempuan lain. “Papamu sudah merampas semua milik mama,” tambahnya dengan suara parau, mencoba menekan emosi. Sean menarik napas panj