Di tengah kemesraan yang baru saja mulai, Sean tiba-tiba menundukkan kepala seolah menolak penyatuan bibir dari Miranda. Dengan perlahan Sean menyingkirkan Miranda dari pangkuannya. Dia berdiri, menatap Miranda dengan ekspresi datar namun tajam. “Sudah cukup, Mira,” ucap Sean dengan nada yang tegas, sambil menghapus sisa keintiman yang sebenarnya baru saja dimulai. Miranda menatapnya dengan bingung dan kecewa, tidak percaya bahwa Sean benar-benar menghentikan momen yang mereka bagi. "Kau serius?" tanya Miranda dengan kekesalan yang sangat kentara, seolah tidak terima dengan penolakan Sean. “Kenapa harus berhenti sekarang, Sean? Aku sudah di sini, dan aku tahu kamu butuh relaksasi. Kita bisa menghabiskan malam bersama, lagipula … bukankah sebentar lagi kita akan menikah?” Nada suaranya merendah, mencoba mengundang Sean untuk kembali mendekati padanya. Namun, tatapan Sean tetap dingin. “Maaf, aku tidak bisa,” jawabnya, mengatur napasnya. “Rapikan bajumu, aku antar kau pulang.” Mira
Keesokan harinya, Sean langsung menuju ke rumah sang mama. Ada perasaan tidak tenang yang terus menghantui pikirannya sejak pembicaraan dengan Theo semalam. Setibanya di rumah Sekar, Sean tertegun melihat sang mama yang duduk di taman menikmati suasana pagi yang cerah ditemani minuman hangat. Sekar tengah bercakap-cakap dengan salah seorang asisten rumah tangga, dan Sean melihat sorot bahagia yang langka terpancar dari wajah mamanya. Dalam hati Sean bertanya, mungkinkah kebahagiaan mamanya karena dia mengetahui akan memiliki cucu sebagai penerus trah Wismoyojati? Atau karena keinginannya yang lain akan segera terwujud dengan hadirnya anak tersebut? Sadar kehadiran Sean, Sekar menoleh dengan senyum hangat. “Hai Sean! Pagi-pagi banget datangnya, duda tampan ini sepertinya mau nebeng sarapan di rumah mama,” ujar Sekar dengan nada menggoda. Sean terdiam sejenak menatap sang mama dengan senyum tipis ala kadarnya. Sean merasa seperti tidak mengenali mamanya, sosok yang biasa serius dan
Sekar mendengus kecil, meremehkan ancaman Sean. Ia menegakkan tubuhnya, memandang Sean dengan tatapan tajam dan berkata, “Mama tidak peduli, Sean. Yang penting bagi mama dengan kelahiran anakmu, itu artinya tujuan mama akan tercapai.” Sean terdiam seolah kehabisan kata menghadapi Sekar. Sean menggeleng lemah saat membayangkan anaknya tumbuh dalam lingkungan yang tanpa cinta dan kasih sayang, semua hanya demi uang, bahkan kelahirannya pun untuk ditujukan untuk mendapatkan kekayaan. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Sekar terdengar seolah tidak peduli dengan perasaan Sean. “Jika kau memang ingin melindungi anakmu, kau bisa mengambilnya setelah Lila melahirkannya, dan kau mengasuhnya bersama Miranda. Kalian akan hidup bahagia sebagai sebuah Wismoyojati.” Sean mengepalkan tangan, amarah membara di dalam dirinya. Dia merasa kejamnya rencana ibunya menusuk hatinya lebih dalam. Dengan suara yang bergetar, ia menjawab, “Mama benar-benar tak paham. Anak ini bukan mainan yang bisa Mama pindahka
Saat pintu terbuka, Sean berdiri di sana dengan sorot mata yang tidak bisa disembunyikan. Lila, seperti refleks, mencoba menarik blazer-nya untuk menutupi perutnya, namun gerakannya malah seperti mengarahkan perhatian Sean pada hal yang justru ingin ia sembunyikan. Keduanya terdiam dalam keheningan yang canggung. Sean akhirnya memecah keheningan, suaranya pelan, hampir berbisik. “Boleh aku masuk?” Lila ragu sejenak, namun kemudian menghela napas dan memperlebar pintu. Dia menggeser posisnya sedikit seolah memberi ruang bagi Sean untuk masuk. Sekali lagi, mereka berhadapan dalam ruang yang sempit, nuansa apartemen sederhana yang jauh dari kemewahan yang biasa Sean datangi. Sean membiarkan matanya menjelajahi ruangan itu, dinding yang berlapis cat yang mulai kusam, perabotan sederhana, dan sentuhan kecil yang memperlihatkan bahwa Lila berusaha menciptakan kenyamanan di tengah kesederhanaan. Perasaan bersalah mulai menyelinap dalam benaknya, tapi Sean menepisnya. Dia menoleh kembali
Lila bergeming antara takut dan terlena dengan keberadaan Sean di hadapannya. Trauma akan kekerasan yang dilakukan oleh Sean masih membekas, tetapi hormon kehamilan ini kadang membuatnya merindukan sentuhan dari ayah anak yang dikandungnya.Sean terlihat begitu leluasa hingga nyaris menyatukan bibirnya dengan bibir Lila. Tetapi, tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang membuatnya berhenti. Sebuah gerakan halus dari perut Lila, gerakan kecil namun nyata.Dalam sekejap, emosi aneh menyelubungi hati Sean, campuran rasa bangga dan keharuan yang tak pernah dia bayangkan. Anaknya ada di sana, hidup dan tumbuh di dalam diri Lila. Ternyata ada banyak hal yang telah dia lewatkan selama ini.Lila melihat Sean terdiam, seolah dalam kebingungan dan kekaguman yang membungkam. Menyadari kesempatan itu, Lila cepat-cepat menggeser tubuhnya ke samping, menjauh dari Sean yang masih terpaku.Lila bergegas melangkah menuju laci tempat menyimpan obat-obatan, membuka kotak berisi berbagai obat dari resep dokte
Sean melangkah masuk ke kantor dengan wajah tegang dan langkah tergesa. Aroma ruangan yang biasa memberinya rasa tenang kini tidak lagi terasa sama. Sean melihat Bella, sekretarisnya, yang langsung berdiri untuk menyambutnya.“Rangga, ke ruang saya lima belas menit lagi,” ucap Sean singkat dengan langkah yang dipercepat.Bella menatapnya dengan sedikit cemas, mendapati raut wajah Sean yang lebih keras dari biasanya. “Apakah ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Bella, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana tegang yang menyelimuti ruangan.“Tidak, Bella. Fokus saja pada pekerjaanmu.” Sean menjawab tegas, tanpa menoleh, menunjukkan bahwa dia tidak ingin ada gangguan tambahan. Suaranya tidak menyisakan ruang untuk pertanyaan lebih lanjut dari Bella maupun Rangga.Bella hanya mengangguk patuh, memahami bahwa Sean sedang tidak ingin diganggu. Sekretaris seksi itu pun segera melanjutkan pekerjaannya.Sean langsung menuju ruang kerjanya dan membuka pintu dengan sedikit hentakan, terlihat s
Lila tiba di kantor dengan langkah tergesa. Bukan hanya karena datang terlambat, tetapi juga menyembunyikan wajahnya sembab dan lelah. Kedatangan Sean pagi ini benar-benar menyita waktu dan membuat suasana hatinya menjadi buruk. Beberapa rekan kerja menoleh ke arahnya, menyadari ada yang tidak biasa pada diri Lila hari itu. Tatapan prihatin dan bisikan pelan terdengar di sekitarnya, tetapi Lila hanya menunduk, berharap segera bisa mencapai mejanya tanpa perlu menjelaskan apa pun. Tetapi, Rina, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sudah lebih dulu mendekat. "Lila … kamu kenapa? Kamu sakit?" Rina bertanya dengan lembut, memegang lengan Lila. Mendengar perhatian dari sahabatnya, Lila tak bisa lagi menahan air matanya. Tanpa sepatah kata, ia merosot ke dalam pelukan Rina, menangis terisak-isak. Suara tangisnya yang terpendam terdengar menyayat, membuat Rina memeluknya lebih erat, menepuk bahunya untuk menenangkan. Setelah beberapa saat, ketika isakan Lila mulai mereda, Rina membimbingnya
Rangga memasuki ruang kerja Sean dengan langkah sigap, wajahnya menampakkan ekspresi lega. “Mas Sean, Cyrus Sugandhi sudah bersedia bertemu. Saya sudah membuat janji dengannya, dan kita bisa langsung berangkat sekarang.”Sean yang semula tampak tenggelam dalam pikirannya segera mengangkat wajah, matanya berkilat penuh antusiasme. “Baik. Ayo, kita temui Cyrus Sugandhi sekarang juga,” ujarnya tegas sambil bangkit dari kursinya.Keduanya berjalan cepat melewati koridor kantor, menarik perhatian beberapa karyawan yang terbiasa melihat Sean dengan ritme kerja yang teratur dan penuh perhitungan. Tetapi kali ini, Sean tampak berbeda. Ada kesan terburu-buru yang tidak biasa terlihat dalam dirinya.Di dalam mobil, suasana hening. Sean fokus pada rencana yang akan dia bicarakan dengan Cyrus Sugandhi, pengacara yang tidak terikat oleh keluarganya dan, terutama, bebas dari pengaruh ibunya. Keputusan ini merupakan langkah tegas yang diambilnya demi melindungi hak asuh anaknya dan menjaga Lila dari
Sean baru saja melewati ambang pintu ketika suara dari kamar mandi membuatnya terhenti. Ia mendengar Lila memuntahkan isi perutnya. Rasa lelah yang menekan tubuhnya seketika terlupakan. Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi, namun saat ia tiba, Lila sudah selesai membersihkan diri.Lila berdiri di depan wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin. Napasnya masih tersengal ketika ia melihat bayangan Sean di cermin.“Kamu kenapa?” tanya Sean, suaranya sarat dengan kecemasan.Lila menarik napas dalam, mengeringkan wajahnya dengan handuk. “Asam lambungku naik,” jawab Lila ringan, seolah itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan dan sudah biasa terjadi.Sean mengernyitkan dahinya. “Sejak kapan kamu ada riwayat asam lambung?” Sean terlihat tidak percaya dengan ucapan istrinyaLila berbalik, menatap suaminya dengan sorot mata tajam. “Sejak kamu sering hilang entah ke mana dan tidak jujur padaku.”Sean terdiam. Rasa bersalah menghantam dadanya. Ia mengusap wajahnya, penuh sesal dan rasa
Rangga terkejut mendengar pertanyaan istrinya. Dia sama sekali tidak menduga jika Nadya akan menanyakan hal tersebut.“Selingkuh apa?”Bukan pertanyaan, tetapi kalimat Rangga jelas terdengar sebagai penyangkalan.“Ya Selingkuh, serong, cari perempuan lain,” sahut Nadya terdengar ketus. Dia sudah menduga suaminya akan lebih berpihak kepada Sean. Tentu saja karena selama ini Sean yang menggajinya.“Sejauh pengamatanku, tidak.” Rangga berusaha meyakinkan istrinya.“Pengamatanmu bisa saja salah kan, Pa?”Rangga mendengus kasar. “Apa yang membuatmu curiga jika Mas Sean selingkuh?”Nadya lalu menceritakan apa saja keluhan Lila akhir-akhir ini. Rangga mendengar dengan saksama ucapan istrinya, tanpa menyelanya.“Ma, aku tahu kamu peduli pada Mbak Lila, tapi bukan berarti jika kamu berhak tahu semua masalah dalam rumah tangganya.”“Berarti benar … ada masalah dalam rumah tangga Lila?”“Lah … siapa yang bilang begitu?” tanya balik Rangga yang terlihat bingung dengan kesimpulan sang istri.“Poko
Tiba-tiba, pintu ruang perawatan terbuka. Sean masuk dengan wajah penuh rasa cemas dan penyesalan. Nafasnya tersengal, seolah telah berlari sepanjang koridor rumah sakit. Matanya langsung tertuju pada Sekar yang terbaring di ranjang."Mama ... maafkan aku, Ma." Suara Sean terdengar serak, sarat dengan rasa bersalah. Ia melangkah mendekat, menggenggam tangan sang mama dengan erat.“Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini, Ma?” cecar Sean dengan suara bergetarSekar tersenyum lembut, menyambut putranya dengan kehangatan. "Biasalah, namanya orang sudah umur.”“Kalau ada apa-apa, harusnya mama langsung bilang. Jangan sampai terjadi seperti ini lagi!”Ketulusan terlihat jelas dari wajah dan ucapan Sean. Hingga membuat Lila bingung, apakah suaminya yang terlalu pandai berakting atau memang ada hal lain yang sedang disembunyikan oleh Sean.“Bagi mama, yang penting kalian rukun. Dan kamu sebagai suami dan ayah, harus bisa memimpin keluargamu. Jangan sampai kamu salah arah!"“Ya, Ma. Aku akan se
Lila berjalan terburu-buru menyusuri lorong rumah sakit. Langkahnya tergesa, suara sepatu haknya menggema di lantai marmer yang dingin.Hati Lila berdebar kencang. Begitu mendapat kabar tentang Sekar, dia tak berpikir panjang. Dia harus segera menemui ibu mertuanya.Sesampainya di depan ruang perawatan, Lila menarik napas dalam sebelum mendorong pintu. Matanya langsung tertuju pada Sekar yang berbaring di ranjang. Wajah perempuan itu pucat, namun tatapannya tetap tajam. Ada sesuatu yang membuat Lila menahan langkahnya sejenak.Theo berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tegap, ekspresinya datar seperti biasa. Tapi ada ketegangan di sana, sesuatu yang membuat suasana ruangan terasa berat. Lila mengerutkan kening. Apa yang dilakukan Theo di sini?Sekar tidak langsung menyapa Lila. Matanya tetap tertuju pada Theo, sorotnya penuh makna, lebih dari sekadar seorang ibu yang berbicara pada seseorang yang lebih muda."Saya ingin laporan itu secepatnya," kata Sekar, suaranya tegas meskipun masih te
Lila menusuk-nusuk potongan ayam di piringnya dengan garpu, tapi tidak benar-benar berniat memakannya. Pikirannya masih sibuk dengan berbagai hal yang mengganggu ketenangannya sejak pagi. “Aku tidak mengerti, Nad. Sean berangkat lebih pagi dari biasanya, bahkan tanpa sempat berpamitan dengan Brilian. Anak itu kecewa, hampir tidak mau berangkat sekolah. Aku sampai harus membujuknya lama sekali.” Nadya yang duduk di seberangnya hanya mengangguk sambil menyendok supnya. “Itu belum seberapa,” lanjut Lila. “Ibu mertuaku juga terus mendesakku. Dia bilang aku harus segera bertindak sebelum semuanya terlambat.” Lila menghela napas, meletakkan garpunya. “Aku benar-benar pening, Nad.” Nadya meletakkan sendoknya dan menatap sahabatnya dengan serius. “Aku juga baru saja ingin membicarakan sesuatu. Tadi pagi aku dapat kabar kalau Rangga mendadak ditugaskan ke luar kota. Awalnya, proyek bermasalah itu akan ditangani langsung oleh Sean.” Lila terdiam sejenak. “Tunggu. Jadi awalnya Sean yang
Lila berjalan menuju kamar Brilian dengan hati sedikit gelisah. Sean pergi pagi-pagi sekali, bahkan lebih awal dari biasanya, tanpa sempat pamit kepada siapa pun.Brilian masih duduk di tempat tidurnya, rambutnya berantakan setelah bangun tidur. Saat melihat Lila masuk, bocah itu langsung bertanya, "Mama, Papa ke mana? Aku nggak ketemu Papa lagi, ya?"Biasanya Sean yang akan membangunkan Brilian. Dan Setelah Brilian mandi, barulah gentian Lila yang mengurus putranya, membantunya merapikan diri sebelum berangkat sekolah. Dan akhir-akhir ini Sean sangat sering berangkat lebih awal, atau bahkan saat Brilian belum bangun dari tidurnya.Lila menghela napas, berusaha tersenyum agar tidak terlihat khawatir. "Papa sudah berangkat kerja, sayang. Papa sedang banyak pekerjaan akhir-akhir ini."Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya menunjukkan rasa kecewa. "Tapi kemarin juga Papa pulangnya malam. Aku udah tidur. Sekarang Papa pergi lagi sebelum aku bangun."Lila duduk di tepi ranjang dan mengus
Lila duduk di sofa ruang keluarga, berusaha melawan kantuk dengan membaca buku The Intelligent Investor karya Benjamin Graham. Matanya mulai terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk tetap terjaga.Pikirannya terus dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang membuat hatinya gelisah. Dia tidak bisa membayangkan jika sampai Sean tergoda perempuan lain, bagaimana dengan Brilian yang selama ini sangat mengidolakan papanya.Jarum jam terus bergerak melewati tengah malam. Saat akhirnya suara pintu utama terbuka, Lila mendongak. Sean baru saja masuk, wajahnya tampak lelah, tetapi keterkejutannya jelas terlihat saat melihat Lila masih terjaga.“Kamu belum tidur?” tanya Sean, suaranya terdengar kaget sekaligus khawatir.Lila menutup bukunya perlahan dan menaruhnya di meja. “Aku menunggumu.”Sean berjalan mendekat, melepas jasnya dan duduk di samping istrinya. Tatapannya menyapu wajah Lila yang terlihat sedikit pucat karena kelelahan. “Kamu nggak perlu begadang hanya untuk menungguku, Lil.”
Lila menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang. Kata-kata Sekar terus terngiang di kepalanya, menciptakan kegelisahan yang sulit ia abaikan.Tangan Lila menggenggam pena, tetapi ia tidak menulis apa pun. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kecemasan, tetapi semakin ia berusaha, semakin pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.Sekar memang ibu mertuanya, tetapi perlakuannya kepada Lila lebih seperti seorang ibu kandung. Justru Sean yang sering mendapat sikap dingin dari ibunya sendiri.Mungkin itu karena trauma pernikahan Sekar di masa lalu yang membuatnya sulit percaya kepada putranya sendiri. Tapi jika seorang ibu saja meragukan anaknya, bagaimana dengan Lila?Pintu ruangannya diketuk, lalu Nadya masuk tanpa menunggu jawaban. Sahabat sekaligus asistennya itu membawa beberapa dokumen, tetapi alisnya berkerut begitu melihat ekspresi Lila."Kamu kenapa?" tanya Nadya sambil meletakkan dokumen di meja.Lila menghela napas, menimbang sejenak sebelum akhirnya
Sean memasuki kamarnya dengan langkah pelan. Lampu kamar hanya menyala temaram, cukup untuk membuatnya melihat sosok Lila yang sudah tertidur lelap di sisi ranjang. Napas istrinya terdengar teratur, wajahnya tampak damai dalam tidur.Matanya lalu beralih ke meja di samping ranjang. Di sana, Lila telah menyiapkan pakaian tidur untuknya. Senyum tipis terukir di wajah Sean. Meski lelah, Lila masih menyempatkan diri untuk mengurusnya.Tanpa ingin membuang waktu, Sean segera menuju kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan cepat, membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya, mencoba meredakan lelah yang menggelayuti pikirannya.Setelah selesai, ia mengenakan pakaian tidur yang telah disiapkan Lila dan kembali ke kamar.Ia berbaring di sisi ranjang, menatap langit-langit. Namun, matanya sulit terpejam. Pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang tidak bisa ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk Lila.Akhirnya, ia menyerah. Dengan lembut, Sean meraih tubuh Lila dan memeluknya erat. Kehangat