Dokter Amira menggerakkan alat USG perlahan, matanya terpaku pada layar monitor. Ia mengerutkan kening, memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia menggeser alat itu sedikit ke kiri, lalu ke kanan. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Wah, ini... kejutan besar!” ucap Dokter Amira dengan nada antusias. Lila dan Sean saling pandang, bingung dengan reaksi Dokter Amira. “Ada apa, Dok?” tanya Lila, cemas. Dokter Amira menunjuk layar monitor. “Lihat ini. Bukan cuma satu, tapi dua kantong kehamilan. Selamat, kalian bakal jadi orang tua dari bayi kembar!” Mata Lila membesar, mulutnya ternganga tak percaya. “Kembar?” suaranya bergetar. Sean terpaku di tempatnya, tak mampu berkata-kata. Ia mengamati layar monitor yang memperlihatkan dua kantong kehamilan dengan dua janin kecil yang bergerak pelan yang ditunjukkan oleh Dokter Amira. “Tunggu... kembar?” ulangnya, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri. “Tapi... di keluarga saya tidak ada yang kembar, Dok.” Dokter
Sepulang dari rumah sakit Sekar langsung mengurung diri di kamarnya. Para saling berlempar tanya tentang apa yang sedang terjadi dengan keluarga majikan mereka. Penjelasan Pak Slamet jika Lila sedang hamil belum juga membuat rasa penasaran para pekerja terobati, apalagi semua angota keluarga lalu masuk ke kamar masing-masing.Tidak lama kemudian Sekar keluar dan menyuruh Bi Siti untuk mengumpulkan semua rekan kerjanya di ruang keluarga. Ada rasa was was jika terjadi hal buruk dengan keluarga tempat mereka mencari nafkah, apalagi sebelumnya terjadi pertengkaran yang membuat suasana rumah begitu menegangkan.Sekar duduk di sofa tungga dengan senyum lebar yang tak kunjung surut. Di hadapannya, para pekerja rumah tangga telah berkumpul. Ada beberapa ART, tukang kebun dan Pak Slamet, mereka semua berdiri rapi, menatap penuh rasa ingin tahu.“Terima kasih sudah berkumpul,” ucap Sekar dengan suara yang terdengar ceria. “Hari ini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian.”Mata para pekerj
Sean menatap Lila dengan mata terbelalak. “Kamu bertemu Ryan? Kapan? Di mana?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur tanpa jeda. Nafasnya sedikit tertahan, napas seseorang yang menunggu kepastian dari masa lalu yang belum tuntas.“Di rumah sakit.”“Di rumah sakit?” Suaranya terdengar tak percaya. Mereka selalu bersama saat di rumah sakit. Dia tak pernah melihat tanda-tanda kehadiran Ryan.Lila mengangguk pelan. “Tadi aku melihat keadaan Papa. Saat aku mau pulang, tidak sengaja bertemu dengan Ryan.”Sean mengerutkan kening. “Ryan di rumah sakit? Apa mungkin selama ini dia mengawasi Papa secara diam-diam?” Ada kilat di matanya, seolah-olah puzzle yang lama berserakan mulai menyatu.Lila menggeleng lemah. “Mamanya Ryan sedang sakit.”Sean mengusap wajahnya. Ia mencoba mencerna informasi itu, mencoba memahami kehadiran Ryan di rumah sakit yang sama. Dunia memang sempit, tapi takdir bisa lebih kejam.“Apa saja yang kalian bicarakan?” Kali ini suaranya lebih lembut, seakan tak ingin melewatkan
Pagi itu, Lila berlari tergesa-gesa ke kamar mandi, menahan rasa mual yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan perutnya melilit seperti terpilin. Begitu sampai di wastafel, dia memuntahkan isi perutnya. Cairan asam menggores tenggorokannya, meninggalkan rasa pahit yang menjalar hingga ke lidah.Sean berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dan cemas. Dia mendekat, mengusap punggung Lila dengan lembut, membiarkan tangannya bergerak perlahan untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanyanya untuk kesekian kali, suaranya penuh kekhawatiran.Lila menggeleng lemah, mengusap bibirnya dengan tisu. “Dokter Amira sudah memberi obat anti mual. Ini pasti hanya sementara.” Tapi suaranya terdengar rapuh, nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Sean membantu Lila berdiri, memapahnya ke tempat tidur. Dia ingat saat Lila mengandung Brilian, saat itu mereka belum rujuk, sehingga Sean tidak bisa mendampingi Lila menghadapi mual atau kelelahan. Saat itu, dia
Sean duduk di kursi kerjanya, ponsel di tangan, menatap nomor kontak ayah mertua di layar. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol panggil.“Halo, Sean?” Suara Waluya terdengar hangat seperti biasa di seberang sana.“Ya, Pak,” jawab Sean dengan nada tenang dan santai. “Saya ingin mengabari Bapak sesuatu.”“Ada apa, Sean?”“Lila... saat ini Lila sedang hamil, Pak,” ucap Sean, suaranya sedikit bergetar. “Dan... kali ini kembar.”Hening sejenak di ujung telepon, sebelum akhirnya Waluya tertawa kecil. “Syukurlah. Ini kabar baik, Sean! Bapak sangat bahagia mendengarnya.”Sean menghela napas lega. Sean berharap kabar bahagia ini bisa memperbaiki hubungan Lila dengan keluarganya yang sempat merenggang karena masalah yang ditimbulkan oleh Delisa.Suara Waluya terdengar sedikit lirih. “Bapak sangat merindukan kalian. Brilian pasti sangat senang mengetahui kalau dia akan punya adik. Semoga Brilian mendapat adik perempuan seperti yang dia inginkan.”“Amin,” sahut Sean dengan sen
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
Sean duduk di kursi kerjanya, ponsel di tangan, menatap nomor kontak ayah mertua di layar. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol panggil.“Halo, Sean?” Suara Waluya terdengar hangat seperti biasa di seberang sana.“Ya, Pak,” jawab Sean dengan nada tenang dan santai. “Saya ingin mengabari Bapak sesuatu.”“Ada apa, Sean?”“Lila... saat ini Lila sedang hamil, Pak,” ucap Sean, suaranya sedikit bergetar. “Dan... kali ini kembar.”Hening sejenak di ujung telepon, sebelum akhirnya Waluya tertawa kecil. “Syukurlah. Ini kabar baik, Sean! Bapak sangat bahagia mendengarnya.”Sean menghela napas lega. Sean berharap kabar bahagia ini bisa memperbaiki hubungan Lila dengan keluarganya yang sempat merenggang karena masalah yang ditimbulkan oleh Delisa.Suara Waluya terdengar sedikit lirih. “Bapak sangat merindukan kalian. Brilian pasti sangat senang mengetahui kalau dia akan punya adik. Semoga Brilian mendapat adik perempuan seperti yang dia inginkan.”“Amin,” sahut Sean dengan sen
Pagi itu, Lila berlari tergesa-gesa ke kamar mandi, menahan rasa mual yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan perutnya melilit seperti terpilin. Begitu sampai di wastafel, dia memuntahkan isi perutnya. Cairan asam menggores tenggorokannya, meninggalkan rasa pahit yang menjalar hingga ke lidah.Sean berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dan cemas. Dia mendekat, mengusap punggung Lila dengan lembut, membiarkan tangannya bergerak perlahan untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanyanya untuk kesekian kali, suaranya penuh kekhawatiran.Lila menggeleng lemah, mengusap bibirnya dengan tisu. “Dokter Amira sudah memberi obat anti mual. Ini pasti hanya sementara.” Tapi suaranya terdengar rapuh, nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Sean membantu Lila berdiri, memapahnya ke tempat tidur. Dia ingat saat Lila mengandung Brilian, saat itu mereka belum rujuk, sehingga Sean tidak bisa mendampingi Lila menghadapi mual atau kelelahan. Saat itu, dia
Sean menatap Lila dengan mata terbelalak. “Kamu bertemu Ryan? Kapan? Di mana?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur tanpa jeda. Nafasnya sedikit tertahan, napas seseorang yang menunggu kepastian dari masa lalu yang belum tuntas.“Di rumah sakit.”“Di rumah sakit?” Suaranya terdengar tak percaya. Mereka selalu bersama saat di rumah sakit. Dia tak pernah melihat tanda-tanda kehadiran Ryan.Lila mengangguk pelan. “Tadi aku melihat keadaan Papa. Saat aku mau pulang, tidak sengaja bertemu dengan Ryan.”Sean mengerutkan kening. “Ryan di rumah sakit? Apa mungkin selama ini dia mengawasi Papa secara diam-diam?” Ada kilat di matanya, seolah-olah puzzle yang lama berserakan mulai menyatu.Lila menggeleng lemah. “Mamanya Ryan sedang sakit.”Sean mengusap wajahnya. Ia mencoba mencerna informasi itu, mencoba memahami kehadiran Ryan di rumah sakit yang sama. Dunia memang sempit, tapi takdir bisa lebih kejam.“Apa saja yang kalian bicarakan?” Kali ini suaranya lebih lembut, seakan tak ingin melewatkan
Sepulang dari rumah sakit Sekar langsung mengurung diri di kamarnya. Para saling berlempar tanya tentang apa yang sedang terjadi dengan keluarga majikan mereka. Penjelasan Pak Slamet jika Lila sedang hamil belum juga membuat rasa penasaran para pekerja terobati, apalagi semua angota keluarga lalu masuk ke kamar masing-masing.Tidak lama kemudian Sekar keluar dan menyuruh Bi Siti untuk mengumpulkan semua rekan kerjanya di ruang keluarga. Ada rasa was was jika terjadi hal buruk dengan keluarga tempat mereka mencari nafkah, apalagi sebelumnya terjadi pertengkaran yang membuat suasana rumah begitu menegangkan.Sekar duduk di sofa tungga dengan senyum lebar yang tak kunjung surut. Di hadapannya, para pekerja rumah tangga telah berkumpul. Ada beberapa ART, tukang kebun dan Pak Slamet, mereka semua berdiri rapi, menatap penuh rasa ingin tahu.“Terima kasih sudah berkumpul,” ucap Sekar dengan suara yang terdengar ceria. “Hari ini saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian.”Mata para pekerj
Dokter Amira menggerakkan alat USG perlahan, matanya terpaku pada layar monitor. Ia mengerutkan kening, memperhatikan sesuatu yang tidak biasa. Ia menggeser alat itu sedikit ke kiri, lalu ke kanan. Sejenak ia terdiam, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Wah, ini... kejutan besar!” ucap Dokter Amira dengan nada antusias. Lila dan Sean saling pandang, bingung dengan reaksi Dokter Amira. “Ada apa, Dok?” tanya Lila, cemas. Dokter Amira menunjuk layar monitor. “Lihat ini. Bukan cuma satu, tapi dua kantong kehamilan. Selamat, kalian bakal jadi orang tua dari bayi kembar!” Mata Lila membesar, mulutnya ternganga tak percaya. “Kembar?” suaranya bergetar. Sean terpaku di tempatnya, tak mampu berkata-kata. Ia mengamati layar monitor yang memperlihatkan dua kantong kehamilan dengan dua janin kecil yang bergerak pelan yang ditunjukkan oleh Dokter Amira. “Tunggu... kembar?” ulangnya, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri. “Tapi... di keluarga saya tidak ada yang kembar, Dok.” Dokter
Brilian mengerucutkan bibirnya, matanya berkaca-kaca menatap pintu ruang USG yang tertutup rapat. Ia meronta saat Sekar mencoba memeluknya, kakinya menghentak-hentak lantai dengan keras. “Aku mau lihat adik! Papa bilang aku boleh lihat adik!” suaranya nyaring, hampir berteriak.Sekar menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski kepalanya mulai berdenyut karena tingkah cucunya yang keras kepala.“Brilian sayang, di dalam ruangan itu nggak boleh ramai. Di dalam ada banyak alat-alat dokter yang tidak boleh digunakan mainan secara sembarangan,” Sekar membujuk dengan suara lembut.“Aku tidak akan main di sana, Om! Aku cuma mau ikut melihat adik!” Brilian memohon dengan mata bulat penuh harap. Ia melirik ke arah pintu lagi, seolah berharap keajaiban akan membuatnya terbuka.“Sayang, itu aturan rumah sakit. Anak kecil nggak boleh masuk,” Sekar mengusap kepala Brilian dengan lembut, mencoba menahan kekesalan yang mulai merayap dalam hatinya.“Tapi Papa janji! Papa bilang aku boleh ikut
Sean terpaku sejenak ketika melihat Dokter Amira berjalan cepat menuju ruang perawatan Lila. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan dokter yang biasa menangani istrinya itu di sini. Tanpa berpikir panjang, Sean segera mengikutinya, berharap bisa melihat kondisi istrinya.“Dok, bagaimana keadaan Lila?” tanya Sean cemas, matanya tak lepas dari pintu yang baru saja dimasuki Dokter Amira.Dokter Amira menoleh dan tersenyum lembut, tatapannya jatuh pada Brilian yang masih terisak di gendongan Sean. “Dia butuh istirahat total. Saya akan periksa keadaannya sekarang. Kamu bisa ikut melihat, tapi tenangkan dulu anakmu, biar tidak menganggu mamanya.”Sean mengangguk, merasa sedikit lega mendengar nada suara Dokter Amira yang tenang.Mereka berjalan memasuki ruang perawatan. Lila terbaring di ranjang, wajahnya pucat namun terlihat damai dalam tidurnya. Sean berdiri di samping ranjang, masih menggendong Brilian yang memandangi mamanya dengan mata berkaca-kaca.Dokter Amira mendekati Brilian dan t
Sean segera menggendong tubuh Lila yang lemas, wajahnya tegang. Dia keluar dari ruang kerja dengan langkah cepat. Napasnya memburu, sementara detak jantungnya berpacu dengan ketakutan yang merayapi dirinya.Brilian yang baru saja keluar dari kamarnya melihat mamanya dalam pelukan sang papa. Matanya membelalak. “Mama! Papa, kenapa Mama?” Suaranya bergetar, tangisnya pecah dalam sekejap.Sean tidak sempat menjawab. Ia hanya berteriak, “Pak Slamet!”Sopir pribadi mereka, Pak Slamet, yang sejak tadi berada di garasi, langsung berlari masuk ke rumah. Begitu melihat keadaan Lila yang tak sadarkan diri, dia segera mengerti. Tanpa bertanya, dia berlari kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan membuka pintu belakang.Sean mengikuti dari belakang, masih menggendong Lila dengan erat. Sekar berdiri terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah. Brilian berusaha melepaskan diri dari pelukan neneknya, mencoba mendekati mamanya.“Brilian, sayang …” Sekar berusaha menenangkan cucunya,
Dengan langkah cepat, Lila menuju ruang kerja. Suara Sekar yang penuh emosi masih terdengar, meski kini sedikit mereda.Saat tiba di depan pintu, ia mencoba memutar handle, ternyata tidak dikunci. Perlahan, ia mendorong pintu hingga terbuka.Perdebatan antara Sean dan Sekar seketika terhenti kala menyadari pintu terbuka. Ibu dan anak itu tidak ingin jika Brilian sampai mendengar perdebatan mereka. Sekar dan Sean sama-sama terkejut saat melihat Lila yang membuka pintu.Lila berdiri di ambang pintu, merasa bingung sekaligus takut. Tatapan tajam Sekar langsung tertuju padanya, sementara Sean tampak tegang, seolah tengah menghadapi badai yang lebih besar dari yang bisa ia tangani.Lila melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.“Apa yang terjadi?” tanya Lila dengan hati-hati, suaranya bergetar sedikit.Pertengkaran atau perdebatan adalah sesuatu yang biasa dalam keluarga. Tetapi selama Lila tinggal bersama Sekar, ini adalah pertama kalinya dia menyaksikan suami dan ibu mertuanya berte