Saat berjalan menyusuri lorong apartemen, Nadya melirik Rangga dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar di wajahnya. Dia berusaha menyusun pertanyaan tanpa terlihat terlalu ingin tahu, namun rasa penasarannya sulit disembunyikan.“Kamu sudah lama bekerja dengan Sean?” tanyanya santai, seolah ingin memulai obrolan ringan.“Kenalan dulu, Mbak,” sahut Rangga sambil mengulurkan tangannya. “Rangga,” ucap Rangga saat Nadya menjabat tangannya.“Nadya,” sahut Nadya menyebutkan Namanya.“O ya, tadi Mbak Nadya tanya apa?”“Panggil Nadya saja!” Nadya berusaha mengakrabkan dirinya. “Kamu sudah lama bekerja dengan Sean?” Nadya mengulangi pertanyaan yang belum sempat mendapat jawaban.Rangga mengangguk sambil tetap fokus pada langkahnya. “Ya, sejak kuliah saya sudah magang di perusahaan Pak Sean,” jawab Rangga apa adanya.Nadya tersenyum kecil, tidak menyerah begitu saja. “Hubungan Sean dan Lila … unik ya? Mereka terlihat seperti dua kutub yang berbeda. Apa Sean memang selalu seperti itu?”Nadya
Setelah Sean pergi, Lila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya di tengah keheningan apartemen. Mengingat pesan Sean untuk tidak keluar, dia memutuskan untuk memanfaatkan waktu dengan hal yang produktif.Setelah selesai berdandan, Lila menyalakan kamera ponselnya dan mulai mengatur posisi, memastikan pencahayaan yang cukup.“Selamat datang di channel saya,” ucap Lila pelan, senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tampak sudah mulai terbiasa bicara di depan kamera, seolah ada teman yang mendengarkan meskipun sebenarnya sedang sendirian."Untuk video kali ini, saya ingin berbicara tentang tips menghindari pengeluaran yang sering kali tidak kita sadari, atau istilahnya 'bocor halus' dalam keuangan." Lila membuka topik dengan suara lembut dan tenang.Dia melanjutkan, "Pertama, selalu periksa tagihan bulanan. Seringkali kita punya langganan yang sebenarnya tidak kita butuhkan atau jarang kita pakai. Misalnya, layanan streaming atau aplikasi berbayar yang sudah tidak digunakan. Pot
Sean melangkah cepat menuju ruang kerjanya, ekspresi wajahnya masih menyiratkan amarah yang belum sepenuhnya reda. Di depan pintu, Bella sudah menunggunya dengan wajah masam, tampaknya sesuatu yang terjadi sebelumnya. Namun, Sean tak memperdulikannya, tetapi dia tetap menghampiri sekretarisnya tersebut karena ada hal penting yang tidak bisa diabaikan."Jadwal saya hari ini, Bella," ujar Sean dengan nada datar, tanpa basa-basi.Bella mengambil tablet di tangannya dan mulai membacakan jadwal Sean. "Pukul sepuluh ada pertemuan dengan klien dari Tokyo. Kemudian, makan siang bersama Miranda di restoran baru yang dibuka di pusat kota. Sore hari, ada rapat dengan dewan direksi terkait laporan keuangan kuartal terakhir."Sean mendengarkan tanpa reaksi berarti, meskipun sedikit mengerutkan dahi saat nama Miranda disebut. Bella berhenti sejenak, seakan menunggu komentar atau instruksi lebih lanjut dari Sean. Namun, Sean hanya mengangguk dan kembali memusatkan perhatian pada dokumen di hadapanny
“Aku yakin anak yang dikandung Lila saat ini bukan anakmu, Sean. Bagaimana mungkin Lila bisa hamil anakmu, jika kamu mandul?”Miranda mencoba menyanggah dan meyakinkan Sean tentang anak yang dikandung Lila. Persiapan pertunangan mereka sudah cukup jauh. Sang papa juga sangat mengantung masa depan keluarga pada pernikahan mereka berdua.Sean tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang, berusaha keras menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan ini pada Miranda, meskipun ia tahu apa pun yang ia katakan tak akan meredakan luka di hati wanita di hadapannya.Sean sadar keputusan rujuk dengan Lila begitu menyakitkan bagi Miranda. Dia hanya berharap penjelasannya tidak akan semakin memperparah perasaan Miranda yang kini terguncang.“Aku tidak pernah mengatakan kalau aku mandul,” jawab Sean dengan nada tenang namun dingin, sengaja menahan emosinya. “Aku memang mengatakan ada masalah, tapi itu bukan masalah kesuburan.”“Kalau bukan masalah kesuburan, lalu apa? Bagaimana mungkin
Bella memperhatikan peristiwa itu dari kejauhan. Dia melihat Miranda keluar dengan air mata di pipi dan wajah yang menyiratkan kesedihan mendalam.Diam-diam, Bella merasa ada harapan baru. Jika Miranda sudah tersingkir dari hidup Sean, mungkin kini ada kesempatan baginya untuk mendekati pria yang selama ini dia kagumi secara diam-diam.Dengan semangat baru, Bella bersiap menunggu kesempatan untuk bicara dengan Sean. Namun, tepat saat dia hendak mendekat, dia melihat Rangga berjalan melewatinya dengan membawa beberapa kotak susu. Rangga melangkah cepat menuju ruangan Sean, tetapi Bella berhasil menghentikannya di lorong.“Rangga,” panggil Bella dengan senyum ramah. “Untuk siapa susu itu?” tanyanya sambil melirik kotak-kotak di tangan Rangga yang dia ketahui brand ternama untuk produk susu ibu hamil.Rangga menoleh, sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Ini untuk Bu Lila,” jawab Rangga singkat.Mendengar jawaban itu, senyum Bella perlahan memudar, tergantikan oleh keterkejut
Dengan sokongan dana yang melimpah dari Sekar dan kelihaian Andika dalam berbisnis, perusahaan yang didirikan Andika telah berkembang pesat dalam waktu singkat, menjadi kekuatan baru di bidang investasi.Kesuksesan itu membuat Andika dan Sekar bisa mengangkat kepala saat berada di tengah-tengah keluarga besar Wismoyojati. Seperti dalam acara keluarga yang digelar di sebuah hotel mewah malam ini.Acara keluarga besar Wismoyojati digelar meriah di aula sebuah hotel mewah, penuh dengan para pengusaha properti ternama. Sekar berdiri di samping Andika, memperhatikan suaminya yang kini tampak begitu elegan dan percaya diri dalam setelan jas hitam yang rapi. Semua orang menghormatinya, bahkan yang dahulu memandang sebelah mata.Andika melangkah dengan tenang, menyapa para kerabat dengan senyum yang penuh percaya diri. Saat dia memasuki lingkaran para pengusaha senior, termasuk beberapa yang memiliki pengaruh besar di bidang properti, Andika mulai berbicara tentang perusahaan sekuritasnya d
Seperti yang sering didengar, harta, tahta dan wanita akan menjadi ujian berat bagi seorang pria. Setelah sukses dalam bisnis dan memiliki posisi yang mentereng, kini Andika dihadapkan pada pesona gadis lugu yang membuatnya merasa menjadi seorang lelaki sejati.Sebagai seorang istri, Sekar memang mengabdi dengan tulus. Tetapi segala kelebihan yang dia miliki membuat Andika sering merasa rendah diri dihadapan perempuan yang telah memberinya seorang putra tersebut. Jauh berbeda saat berada berasama Risda, gadis itu membuatnya merasa begitu dominan dan dibutuhkan.Tanpa berpikir panjang, Andika melangsungkan pernikahan siri dengan Risda, tanpa pengetahuan siapa pun, hanya pihak keluarga Risda saja yang hadir menjadi saksi.Setelah pernikahan yang hanya dengan mengucap kalimat akad tanpa adanya perayaan apa pun, Risda tetap bekerja sebagai office girl di kantor. Pasangan pengantin sembunyi-sembunyi itu memanfaatkan setiap kesempatan untuk bisa saling berdekatan dan memadu kasih, layaknya
Sebagai putri tunggal, Sekar adalah satu-satunya penerus bagi perusahaan keluarganya. Meski di tengah kesibukannya, Sekar tetap berusaha melayani Andika, tetapi banyak celah kosong yang tidak bisa dia tutupi. Karena kesibukan Sekar dalam mengelola perusahaan keluarga, hingga tujuh tahun pernikahan Andika dan Risda tidak terendus olehnya.Sekar tersenyum puas melihat Andika dan Sean bercengkerama di ruang keluarga. Andika duduk berhadapan dengan Sean yang baru saja menceritakan pencapaiannya di sekolah. Wajah Andika terlihat penuh rasa bangga, dan Sekar merasa hangat di hatinya melihat suaminya memberikan perhatian begitu besar pada putra semata wayang mereka."Papa bangga sekali sama kamu, Sean. Memenangkan lomba OSN itu bukan hal mudah," ujar Andika sambil mengusap kepala Sean lembut penuh rasa bangga."Terima kasih, Pa. Sean janji akan belajar lebih rajin lagi!" Sean sangat bahagia, matanya berbinar karena pujian dari sang ayah.Sekar memperhatikan interaksi mereka dengan perasaan p
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P