Sebagai putri tunggal, Sekar adalah satu-satunya penerus bagi perusahaan keluarganya. Meski di tengah kesibukannya, Sekar tetap berusaha melayani Andika, tetapi banyak celah kosong yang tidak bisa dia tutupi. Karena kesibukan Sekar dalam mengelola perusahaan keluarga, hingga tujuh tahun pernikahan Andika dan Risda tidak terendus olehnya.Sekar tersenyum puas melihat Andika dan Sean bercengkerama di ruang keluarga. Andika duduk berhadapan dengan Sean yang baru saja menceritakan pencapaiannya di sekolah. Wajah Andika terlihat penuh rasa bangga, dan Sekar merasa hangat di hatinya melihat suaminya memberikan perhatian begitu besar pada putra semata wayang mereka."Papa bangga sekali sama kamu, Sean. Memenangkan lomba OSN itu bukan hal mudah," ujar Andika sambil mengusap kepala Sean lembut penuh rasa bangga."Terima kasih, Pa. Sean janji akan belajar lebih rajin lagi!" Sean sangat bahagia, matanya berbinar karena pujian dari sang ayah.Sekar memperhatikan interaksi mereka dengan perasaan p
Suasana kompleks perumahan yang tenang mendadak gempar pagi itu. Beberapa mobil patroli polisi yang datang memecah keheningan pagi dan menarik perhatian warga yang penasaran Dalam hitungan menit, kerumunan terbentuk di sekitar rumah Risda. Beberapa warga berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang terjadi, sementara yang lain mengamati dari balik jendela rumah mereka. Andika dan Risda terlihat bingung dengan kedatangan satu kompi polisi ke rumah mereka. Ekspresi mereka campur aduk antara ketakutan dan kebingungan. Warga yang melihat adegan itu mulai berbisik lebih keras, sebagian malah merekam momen tersebut dengan ponsel mereka, seolah sedang menyaksikan sebuah drama penangkapan teroris. "Ini salah paham!" Risda berteriak panik, suaranya bergetar, dalam situasi seperti ini tiba-tiba perutnya merasa tidak nyaman. "Kami tidak berzina!” Risda tidak terima saat salah seorang polisi mengatakan yang menjadi dasar atas penangkapan tuduhan adanya tindak perzinahan. “Kami sudah menikah sec
Di dalam ruang kunjungan yang terdapat di kantor polisi, Andika terlihat begitu kacau saat seorang pria dari pihak rumah sakit menyodorkan sebuah kertas yang harus segera ditandatangai oleh Andika, sebagai persetujuan kepada dokter untuk segera melakukan tindakan medis kepada Risda.Kabar jika Risda mengalami keguguran sudah menghancurkan hati Andika, apalagi harus ditambah berita bahwa dokter meminta persetujuan untuk melakukan pengangkatan rahim Risda membuatnya nyaris tidak sanggup bernapas.Andika menatap surat persetujuan medis di tangannya dengan tangan bergetar saat membubuhkan tanda tangan. Pikirannya berputar, penuh penyesalan dan rasa bersalah."Apa yang sudah aku lakukan ...," gumam Andika pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri.Setelah mendapat tanda tangan dari Andika, pria dari rumah sakit itu segera pergi. Dalam keterpurukan yang begitu dalam, Andika mencoba tetap tegar. Dia harus menemukan jalan keluar dari kekacauan yang sudah dia buat.“Bisakah saya meng
Sekar duduk dengan tenang di seberang meja, tatapannya dingin namun penuh ketegasan. Di depannya, Andika memegang surat perjanjian yang baru saja disodorkan Sekar. Ia membaca setiap kata dengan cermat, wajahnya semakin tegang saat sampai di bagian yang merinci konsekuensi atas tindakannya.Andika menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba meredakan kekalutannya.“Sekar … ini terlalu berat,” ucap Andika dengan suara yang bergetar. “Kau tidak bisa menuntut semuanya begitu saja dalam waktu secepat ini. Berikan aku lebih banyak waktu … aku berjanji akan mengembalikan aset yang kujaminkan, tapi aku butuh waktu.”Sekar tetap tenang, tak sedikit pun tergoyahkan oleh permohonan Andika. “Waktu?” tanyanya dengan nada tajam. “Waktu telah membohongiku, Aku kira dengan berjalannya waktu aku lebih mengenalmu, tetapi ternyata ….” Sekar tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya menggelengkan kepala.Andika menundukkan kepala, tahu bahwa Sekar benar. Namun, ia merasa terpojok. “S
Sudah bertahun-tahun Sekar menantikan saat-saat Andika menyerahkan kembali asset keluarganya beserta perusahaan kepada Sean. Menyaksikan Andika kembali ke asalnya dan jatuh miskin di usia tua, akan menuntaskan segala dendam dan sakit hati yang dia rasakan selama ini.Namun, pada saat waktu itu tiba, Sean justru ingin menyembunyikan anaknya dari dirinya. Padahal anak tersebut adalah syarat mutlak dirinya akan mendapat kembali asset keluarganya dan juga Mahendra Securitas.“Mengapa kau mengkhianati Mama, Sean?” tanya Sekar pada dirinya sendiri dengan bulir-bulir bening yang mulai membasahi pipinya.Luka di hatinya terasa semakin meradang karena merasa jika Sean justru berada di pihak papanya, seolah-olah Andika tidak pernah memberikan luka kepada mereka.Sekar menyeka air mata dengan tangan gemetar. “Bagaimana jika ini adalah permintaan terakhir mama? Apakah kau tetap tidak akan menurutinya?”***Sean duduk di kursinya, menatap denah rumah yang sedang dipersiapkannya untuk Lila. Ia mera
Lila terkejut saat melihat Sean sudah berada di dalam apartemennya. Terbiasanya tinggal sendiri, hingga Lila lupa jika dirinya telah memberikan akses masuk kepada Sean, setelah mereka rujuk dan kembali menjadi suami istri.“Aku siapkan air hangat,” ucap Lila setelah menghabiskan susu yang baru saja dia buat.Sean menggeleng lemah sambil terus melangkah mendekati Lila. Setelah jarak terpangkas, Sean meraih gelas di tangan Lila dan meletakkannya di meja dapur.Sean meraih pinggang Lila dengan penuh kehati-hatian, tidak ingin menyakiti Lila saat perut buncit itu membentur tubuhnya.“Aku butuh kehangatan yang lain,” bisik Sean dengan suara lirih dan serak. “Aku pusing,” keluh Sean sambil melabuhkan kepalanya di ceruk leher Lila.“Aku hamil, Sean.” Lila merasa tidak siap mencoba mendorong tubuh tegap Sean.“Tapi masih bisa, kan?” Kalimat tanya ini justru terdengar mengiba, mengharap Lila mewujudkan keinginannya malam ini.Mulut Sean memang meminta izin dengan nada nelangsa, tetapi tanganny
Miranda duduk di sofa, wajahnya murung, menatap jendela dengan pandangan kosong. Hubungan asmaranya dengan Sean yang kandas, menyisakan luka yang mendalam. Meskipun dia memiliki tujuan lain dalam rencana pernikahannya dengan Sean, tetapi cintanya nyata, bukan palsu.Sementara itu, Andreas seolah tidak peduli dengan luka yang mendera hati putrinya. Pria paruh baya itu berdiri di depan Miranda dengan ekspresi terkejut bercampur amarah."Jadi … Sean membatalkan pertunangan kalian? Untuk rujuk dengan mantan istrinya?" Andreas bertanya, suaranya terdengar penuh ragu dan tidak percaya.Bagaimana mungkin putrinya yang cantik dan berprestasi tidak mampu memikat hati Sean. Bahkan harus kalah dari perempuan biasa yang berasal dari keluarga miskin.Miranda mengangguk pelan. "Ya. Dia memutuskan rujuk dengan Lila. Katanya dia ingin bertanggung jawab atas anak mereka."Andreas mengepalkan tinjunya, wajahnya memerah karena marah. "Aku pikir Sean mandul. Bukankah itu yang dia katakana padamu? Lalu ba
Sean menghela napas lega saat mendengar penjelasan Cyrus. Ruang kerjanya yang biasanya membawa kesibukan dan kepenatan kini terasa sedikit lebih ringan dengan kabar ini. Cyrus, pengacara baru yang dia pilih, tersenyum kecil melihat respons Sean.“Semua dokumen sudah saya siapkan. Hanya tinggal menjalani sidang untuk mendapatkan surat nikah kembali,” jelas Cyrus dengan nada tenang.Sean mengangguk, tampak serius, tetapi ada sedikit keraguan di matanya yang tak luput dari pengamatan Cyrus.“Kau yakin dengan pilihan ini?” Cyrus bertanya, sejenak tatap matanya tertuju ke arah Sean. “Saya tahu, masih ada yang membuatmu ragu. Jika kau memutuskan rujuk hanya demi anak, saat kau merasa tidak bahagia dengan hubungan ini … anak yang kembali jadi korbannya.”Sean terdiam, pandangannya menerawang sejenak sebelum menjawab. Meski Cyrus adalah pengacara barunya, tetapi saat membicarakan pernikahan, dia bertindak layaknya seorang sahabat yang tanpa segan memberi nasihat.“Dalam pernikahan, anak tidak
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P