“Orang-orang gila itu masih mengikutimu?” Tanya Willis begitu Olivia muncul dan duduk di hadapannya.
Samar Olivia tersenyum, “Aku akan mengatasinya secepat mungkin. Sekarang kau harus menjadi penerima beberapa senjata yang aku kirimkankan ke sini, mungkin dalam tiga hari lagi akan segera datang.”
“Itu tugas terakhirku kan?”
“Benar.”
“Kuharap kau mulai betah tinggal di sini, tokoku berjarak satu kilometer dari sini, datanglah jika ingin,” ucap Willis seraya beranjak dan tersenyum dengan tenang.
“Willis,” panggil Olivia menahan sejenak langkah Willis. Wajah Olivia terangkat, berpandangan dengan Willis. Olivia berkata, “Leary masih sangat kecil, dia pasti akan sedih jika kini harus tinggal di desa seperti ini. Kuharap kau tidak keberatan, jika aku mengatakan kepada Leary kalau kau saudaraku dan kau bibinya Leary.”
Willis bersedekap, terdiam sejenak menimang-nimang keputusan apa yang harus dia ambil. “Baiklah, panggil saja aku bibi Willis,” jawab Willis.
“Terima kasih sudah membantuku.”
“Aku membantumu karena aku berhutang budi padamu, sampai jumpa,” jawab Willis lagi sebelum memutuskan pergi keluar dari kediaman Olivia.
Willis, dia dan Olivia pernah bertemu ketika mereka berada di Praha, Belanda. Willis adalah seorang wanita penghibur yang di ambil dari negara konflik perang, bisa dikatakan dia seperti seorang budak penghibur orang-orang kaya untuk menemani mereka berpesta dan berjudi.
Willis yang tidak bisa keluar dari lingkaran dunia gelap itu dibuat putus asa, apalagi ketika dia terlilit hutang karena kegilaan orang tuanya yang serakah.
Olivia yang pada saat itu bertugas untuk membunuh seseorang, mendapatkan informasi akurat dari Willis yang kebetulan memiliki hutang besar pada orang yang tengah diincar Olivia.
Bisa dikatakan mereka saling memanfaatkan untuk sebuah keuntungan.
Sejak saat itu, Willis dan Olivia saling mengenal. Mereka tidaklah dekat dan hanya sebatas saling kenal, Willis sendiri bukanlah wanita yang baik, namun dia dapat dipercaya.
Suara hembusan napas berat terdengar dari mulut Olivia. Olivia mengedarkan pandangannya, melihat keadaan rumah yang serba sederhana dan jauh dari kata nyaman meski suasananya tenang.
Olivia khawatir, Leary akan banyak menangis karena tempat tinggalnya yang baru jauh berbeda dengan keadaan apartement mereka sebelumnya. Olivia harus mulai mengajari Leary berbagai hal karena kini dia masih harus sering meninggalkan Leary untuk menghabisi orang-orang yang selama ini mengganggu kehidupannya.
***
Suasana gelap dan sunyi di sekitar rumah membuat Leary beberapa kali melihat keluar jendela. Berharap ada satu dua kendaraan yang lewat, namun anehnya sejak tadi tidak terlihat.
Keadaan di luar cukup hening dan sangat gelap, sementara di dalam rumah, cahaya lampu yang kekuningan terlihat tidak begitu jelas menerangi setiap sudut ruangan yang kecil.
Leary pikir, Inggris jauh lebih baik dari apartementnya, ternyata tidak.
Leary termenung tidak dapat menutupi kesedihannya karena kecewa karena tempat ini jelas tidak cocok untuknya.
Rumah yang Leary tempati sekarang terlihat jelek, jauh berbeda dari apartementnya. Tidak ada televisi, tidak ada taman bermain yang bisa dia kunjungi dikala Olivia sibuk pergi bekerja.
Mata Leary berkaca-kaca terlihat ingin menangis, anak itu melompat turun dari ranjang dan berlari ke dapur melihat Olivia yang berdiri dengan tongkatnya tengah memasak.
“Ibu, kapan kita pulang?” Tanya Leary menyiratkan rasa tidak sukanya dengan tempat barunya. Belum sehari penuh mereka tinggal, Leary sudah ingin pulang.
Olivia berhenti dengan kesibukannya yang tengah memasak, wanita itu memperhatikan kesedihan di mata Leary yang terlihat tidak nyaman. Leary bukanlah anak yang suka merengek dan manja, namun jika dia bisa sampai bertanya seperti ini, itu artinya Leary memang benar-benar tidak suka.
“Kita belum sehari penuh berada di sini, kenapa kau ingin kembali pulang?”
“Aku tidak suka tempat di sini,” jawab Leary dengan jujur. “Aku ingin kembali pulang, besok bisa kan?”
“Setelah urusan ibu di sini selesai, kita akan pulang.”
“Apa pekerjaan Ibu akan lama?”
“Ibu akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.”
Leary merangkak ke kursi dan menopang dagunya, melihat kembali keluar jendela. Tidak hanya di luar saja yang gelap, lampu-lampu yang ada di rumahnya juga tidak begitu terang. “Kenapa di sini sangat gelap? Bagaimana jika ada hantu?”
Olivia tertawa pelan. “Ibu akan memperbaiki semua lampunya besok.”
“Bagaimana jika malam ini hantu dan monsternya datang? Aku kan takut.”
“Ibu kan sudah bilang kepadamu, pekerjaan ibu adalah membasmi hantu dan monster, jadi jangan takut apapun karena mereka sudah tidak ada. Hal yang paling harus kau waspadai adalah orang asing.”
“Aku paham Bu,” jawab Leary sambil menguap.
Olivia menyelesaikan masakannya lebih cepat dan menghidangkannya di meja.
Leary yang sempat sedih mulai tersenyum lebar mengambil sendok dan makan dengan lahap, keterbiasaannya dengan pindah-pindah tempat asing membuat Leary mudah melupakan kekecewaannya.
Suara ketukan di pintu terdengar ketika Leary dan Olivia baru selesai makan.
Olivia dan Leary saling melihat begitu suara ketukan di pintu kembali terdengar. Olivia tahu betul, jika yang datang adalah temannya, ketukan di pintu akan menggunakan pola, namun kini yang terdengar cukup berbeda.
“Ibu,” bisik Leary memanggil.
Olivia segera berdiri dan memasukan piring makanannya ke laci. “Bersembunyilah,” pinta Olivia pelan.
Tanpa perlu arahan lebih jauh, Leary melompat turun dan berlari pergi masuk ke dalam sebuah lemari kecil di dapur, bergabung dengan tumpukan buku usang yang berdebu.
Dari sikap Leary yang sigap dan tidak banyak bertanya, bisa dipastikan bahwa anak itu sudah menghadapi situasi yang seperti ini bukan untuk pertama kalinya.
Olivia berjalan keluar dengan tongkatnya, sorot matanya yang tajam melihat ke sekitar, memperhatian satu sampai dua jendela yang terlewati untuk memastikan tidak ada orang yang mengepungnya.
Olivia menarik sebuah belati di balik pot bunga imitasi dan meletakannya di bawah pegangan tongkatnya, dalam beberapa langkah kecilnya, tangan Olivia kembali menjangkau belati lain yang disimpan di bawah tumpukan buku, lalu menyimpannya di belakang tubuhnya.
Suara ketukan di pintu kembali terdengar, Olivia memutar kunci di pintu dan membukanya.
Ketengan Olivia berubah begitu dia melihat siapa tamunya yang datang.
“Lama tidak bertemu,” sapa seorang wanita cantik berambut merah dengan senyuman manisnya. Di belakang terdapat tiga pria berpakaian serba hitam mengawalnya.
To Be Continued..
“Lama tidak bertemu." Tubuh Olivia menegak, bahunya ikut menegang, wanita itu berekspresi dingin, namun kilatan di matanya jelas menunjukan permusuhan yang sangat kuat. “Kau tidak mau menyambut tamumu?” tanya Wony dengan senyuman mengejek melihat keterdiaman Olivia yang terkejut. “Lama sekali kita tidak bertemu,” ujar Wony lagi dengan tatapan merendahkan, melihat penampilan sederhana Olivia yang tidak ada bandingannya dengan dirinya. Genggaman Olivia menguat pada tongkatnya, rupanya Wony masih mengikuti informasinya selama ini, termasuk kedatangannya ke London. Olivia tidak menyangka jika Wony akan langsung menemuinya dalam waktu secepat ini. Olivia membuang napasnya beberapa kali, menetralkan kemarahannya agar bisa bertindak rasional. “Ada urusan apa datang ke sini?” tanya balik Olivia dengan tenang. “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Kupikir kau akan luar biasa setelah pergi, tapi ternyata, kini menjadi seperti gelandangan.” Olivia membalasnya dengan senyuman hormat. “Sama, aku
Kesenangan Wony berakhir menjadi waspada karena pengawal yang dia andalkan tidak lebih seperti pecundang lemah yang tidak dapat menumbangkan perempuan cacat seperti Olivia.Wony sedikit mundur dan terlihat waspada, wanita itu takut jika kini giliran dia yang dihabisi Olivia.Olivia berbalik, dengan langkah gemetar dan wajah pucat pasi, Olivi mendekati Wony dengan belati yang berlumuran darah di tangannya.Olivia mengayunkan belatinya di belakang kepala Wony sampai membuat gulungan rambut Wony terlepas dan setengah dari rambut-rambutnya yang terawat berjatuhan di bahu akibat tajamnya belati.Napas Wony tertahan seketika, gertakan Olivia berhasil membuat kakinya gemetar ketakutan tidak memiliki tenaga untuk berdiri apalagi berbicara.“Berhenti mengusikku, hiduplah dengan tenang dengan semua hal yang telah kau curi. Aku sudah menganggap Darrel pria sampah, dan aku tidak mungkin memperebutkan sampah yang kubuang denganmu,” peringat Olivia tidak main-main.“Jaga bicaramu Olivia, aku bisa
Pagi-pagi Leary terbangun dan disuguhkan oleh pemandangan indah di sekitar rumahnya. Leary dapat melihat padang rumput hijau yang luas, udara segar dan gemercik suara air di sungai, tumbuhan yang tumbuh dengan baik, ini adalah pemandangan baru yang dia lihat.Leary senang jika ternyata keadaan sekitar rumahnya tidak semenakutkan apa yang telah dilihat tadi malam.Di hari kedua mereka tinggal, Olivia mengajaknya pergi menyapa beberapa tetangga baru mereka, lalu jalan-jalan untuk membeli keperluan stock makanan.Setelah sekian lama terjebak di apartement dan tempat penitipan, akhirnya kini Leary bisa berlarian dengan bebas tanpa perlu menggunakan jaket tebal dan memakai topi seperti menyembunyikan diri.Selama ini, ketika di Skotlandia, Leary tidak bisa berlarian menikmati kota Edinburg yang memiliki bangunan cantik seperti di gambar-gambar buku dongeng.Selama ini Olivia selalu berusaha menyembunyikan wajah Leary dari siapapun, karena kini dia berada di desa, Olivia mengizinkan Leary
“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary. “Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas did
“Jach.”“Kau tinggal di mana? Apa aku boleh bermain denganmu?” tanya Leary lagi berantusias, anak itu tidak memahami kesibukan Jach dan sekarung arang yang harus segera di antarkan.Jach menarik tangannya, “Aku tinggal di dekat hutan, perbatasan desa, sekarang aku harus kembali bekerja membantu nenekku. Sampai nanti,” pamit Jach terburu-buru pergi meninggalkan Leary.Leary berbalik melihat kepergian Jach, kaki kecilnya berlari mengejar. “Tunggu Jach!” panggil Leary dengn teriakan.Langkah Jach kembali terhenti, menunggu Leary yang mendekat sambil merongoh sesuatu dari saku dressnya. Tangan mungil Leary terulur, menyerahkan beberapa buah permen yang dimilikinya. “Sekarang kita berteman kan?” tanya Leary.Tubuh Jach menegang kaget, anak laki-laki itu sampai mengerjap mencoba meyakinkan diri jika apa yang telah di dengarnya bukan ilusi. Dalam keraguan Jach mengangguk seraya menerima permen pemberian Leary.Bibir mungil Leary mengukir senyuman, menunjukan dua buah giginya yang ompong dan
Olivia pergi ke kota di malam itu, diam-diam dia pergi tempat Willis untuk mengambil merpati yang dia bawa bersama dengan senjatanya dari Skotlandia.Merpati itu adalah hewan peliharaan Olivia yang sudah dia rawat lebih dari empat tahun lamanya, dan merpati itu juga sudah sering membantu tugasnya.Olivia membawa merpati itu, dan pergi beberapa rumah orang penting yang berada di kota London. Dimulai dari Tery, seorang anggota parlement. Harry, seorang peminpin kepolisian, dan Dena, seorang anggota dewan dari Prancis yang saat ini sedang memiliki kunjungan khusus ke Inggris.Olivia mengirimkan suratnya melalu merpati yang dibawanya, secara terlatih, merpati itu bergerak terbang setelah di beri beberapa buah makanan. Dengan cekatan dia terbang ke lantai di mana Olivia menyorotkan senter laser merahnya sebagai petunjuk.Begitu laser merah menghilang, burung merpati itu mengetuk-ngetuk jendela sampai si pemilik rumah membuka pintu dan mengambil surat yang diberikan.Merpati itu terbang da
“Ibu menyuruhku melakukan ini semua karena ingin meninggalkan aku lebih lama lagi kan?” Protes Leary dengan wajah bercucuran air mata sampai membuat bedak di wajahnya luntur.Olivia tercekat kaget mendengar pertanyaan sederhana Leary. “Ibu memintamu melakukan ini semua bukan karena ingin meninggalkamu,” jawab Olivia serius.“Ibu bohong, semalam Ibu meninggalkan aku sendirian lagi, aku tidak percaya Ibu! Ibu pasti meninggalkan aku lagi!” debat Leary dengan teriakan dan tangisan yang semakin keras. Leary berlari pergi ke kamarnya kembali menangis karena kecewa.Semalam Leary terbangun sendirian di tengah malam, dia sempat menangis mencari ibunya, namun Olivia tidak ada seperti biasanya.Leary kecewa karena Olivia masih tidak berhenti meninggalkannya di tengah malam, padahal dia takut bermimpi buruk dan takut ada orang jahat yang datang, terlebih rumah baru mereka tidak begitu membuatnya nyaman.Tangisan Leary terdengar di kamar, Olivia hanya bisa memijat batang hidungnya dengan kuat kar
Leary duduk di bangku, sambil menopang dagu, beberapa kali dia menguap karena mengantuk dan bosan melihat Olivia yang tengah memasak.Olivia mengajarinya hal-hal yang dasar, seperti bagaimana cara merebus spaghetti, merebus kentang dan memastikan sayuran matang.“Kau bilang, kau tertarik dengan senjata milik ibu,” Olivia mengajaknya berbicara untuk mengurangi rasa bosan Leary.Leary tertunduk tidak berbicara, Leary memang tertarik ingin tahu dengan semua benda yang sering disentuh oleh ibunya, namun semenjak Olivia melarangnya menyentuh senjatanya, Leary mencoba untuk melupakannya.Melihat keterdiaman Leary, Olivia kembali berkata. “Mau ibu ajarkan? Sekarang kau sudah tumbuh lebih besar, jadi ibu tidak akan melarangmu lagi.”Dengan cepat Leary mengangkat wajahnya, matanya berbinar membulat sempurna, dan bibir mungilnya terperangah tersenyum senang. “Apa benar-benar boleh?”Olivia mengangguk, “Setelah makan, ibu akan mengajarimu.”Suara tepuk tangan senang Leary menyambut perkataan Ol
Langit terlihat memerah, dalam waktu beberapa menit lagi akan benar-benar tenggelam. Leary duduk di rerumputan melihat banyaknya daun semanggi yang tumbuh subur.Gadis kecil itu terlihat merenung teringat Petri yang pernah dia beri daun semanggi.Petri, entah mengapa Leary ingin lebih dekat dengannya dan terus memikirkannya. Leary gelisah melihat Petri yang terlihat bersedih.“Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah,” titah Chaning yang datang menyusul, sekilas pria itu melihat jauh keberadaan Ferez yang masih menunggangi kudanya di pacuan.Wajah Leary terangkat, menatap lekat Chaning yang kini disinari sinar matahari sore. Pria itu terlihat kuat, indah dan hangat, sehangat matahari sore.Leary tidak bersuara, namun anak itu terus menatap Chaning dalam diam, Leary bergumul dalam pikirannya mencoba untuk merangkai sesuatu untuk diungkapkan.“Kenapa?” tanya Chaning yang menyadari sesuatu.Leary segera berdiri. “Paman, apa boleh saya berteman baik dengan Petri?” tanya Leary terdengar seper
Ferez berjalan sendirian keluar dari kantin sekolah, beberapa saat yang lalu dia sempat pergi ke kelas Leary untuk memastikan keadaannya karena ingin tahu keadaannya. Ferez tidak menemukan keberadaannya, dia sempat berpikir Leary pergi ke kantin sekolah, namun ternyata Leary juga tidak ada.Cukup jauh Ferez melangkah akhirnya dia sampai di taman sekolah, tidak membutuhkan waktu lama untuknya mencari Leary karena kini perhatiannya langsung tertuju pada gadis kecil itu yang kini tersenyum melambaikan tangannya pada Petri yang beranjak pergi meninggalkannya.Ferez juga melihat Duke yang kini tengah berdiri di bawah pohon, Ferez tidak habis pikir dengan keputusan ayahnya yang mengirim Duke dibandingkan pengawal lainnya. Padahal Duke memiliki fisik yang mencolok dibandingkan dengan Romero.Tanpa pikir panjang Ferez segera pergi menghampiri Leary.“Ferez,” sapa Leary dengan senyuman lebar terlihat senang.“Bagaimana kelas pertamamu?” tanya Ferez seraya duduk, namun tatapannya yang tajam it
“Apa boleh saya duduk di sini?” tanya Leary memberanikan diri.Sekali lagi Petri menarik napasnya dalam-dalam, dan berkata, “Duduklah.”Leary memutuskan untuk duduk di samping Petri, sementara Duke berdiri menunggu di bawah pohon sambil berbicara dengan seorang anak laki-laki yang meminta tolong kepadanya karena bolanya menyangkut di dahan pohon.Leary dan Petri duduk berdampingan, keduanya terlihat terjebak dalam kecanggungan meski hatinya saling memiliki rasa penasaran dan bertanya-tanya ingin tahu kabar masing-masing.Petri melirik Leary yang kini membuka bekal makanannya di atas pangkuannya. “Kau mulai sekolah hari ini?”Leary mengangguk dengan senyuman.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Petri lagi.“Luar biasa, saya sangat senang.”Petri ikut tersenyum meski jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa sedikit iri karena tidak bisa pergi bersama ke sekolah dengan adiknya, malahan kini mereka berdua tampak seperti dua orang asing yang sedang mengobrol.Leary mengambil roti isi yang dibuat o
Noah menopang dagunya memperhatikan gurunya tengah berbicara di depan, perhatiannya sempat teralihkan pada Petri yang tengah membaca buku. Sejak kejadian hari itu, Petri menjadi jarang sekolah, dia harus menanggung banyak tanggung jawab dan lebih mementingkan untuk belajar khusus bisnis dibandingkan dengan sekolah umum untuk anak-anak seusianya.Keadaan Darrel tidak kunjung membaik dan dia terus mendapatkan perhatian khusus, bisa dikatakan mungkin kini keadaan jauh lebih buruk. Beruntung Adelle sering datang membantu Petri dikala dia kesulitan. Kini kediaman keluarga McCwin sudah kosong tidak berpenghuni, Petri lebih memilih tinggal bersama Andrew yang sampai saat ini masih setia kepadanya meski sudah mengundurkan diri.Karena kejadian di hari itu, Petri sempat tidak sekolah selama satu bulan, dia harus mendapatkan banyak bimbingan agar bisa melewati masa traumanya.Kini, Petri yang cerdas dan selalu kompetitif dalam belajar sudah berubah, dia lebih banyak diam dan menyendiri, menja
Chaning dan Liebert duduk dalam ketegangan, kehadiran kedua pria itu membuat seseorang guru yang mengurus administrasi pendaftaran sekolah sempat dibuat diam dan tersenyum canggung.Hari kemarin seseorang bertubuh tinggi besar dangan wajah bertato yang datang memberikan semua berkas keperluan, dan kini yang datang menjadi wali adalah dua pria bertubuh besar.Chaning dan Liebert berpenampilan rapi, namun aura mematikan mereka tetap saja tidak bisa dihindarkan. Terlebih, sebelumnya Russel pernah bertemu dengan Chaning yang pernah mendaftarkan Ferez.Nama Benvolio sangat begitu jarang digunakan, dan nama itu dikenal sebagai nama klan besar keluarga mafia.“Kita pernah bertemu sebelumnya, Anda orang tuanya Ferez?” ucap Russel berbasa-basi, padahal sebelumnya dia sudah dihubungi secara khusus oleh petinggi sekolah bahwa akan ada tamu penting yang akan medaftar anaknya sekolah.Chaning mengangguk samar.Russel berdeham pelan sambil menyeka keringat dingin di keningnya. “Jadi, anak atas nama
“Aku paman kandungnya, aku akan menjadi walinya,” Liebert angkat bicara ditengah-tengah sarapan pagi yang akan dimulai.Pagi ini Chaning dan Liebert tengah berdiskusi mengenai sekolah pertama Leary, nampaknya diskusi itu sedikit terganggu karena Chaning dan Liebert sama-sama ingin menjadi wali Leary.Chaning menengok seketika, pria itu mendorong piring makanan untuk Ferez. “Apa kau sudah lupa? Sekarang aku menjadi ayah angkatnya secara sah, secara garis besar aku lebih berhak menjadi walinya.”Kening Liebert mengerut samar, pria itu tampak tidak setuju dengan apa yang telah Chaning katakan kepadanya. “Ayah angkat di atas kertas, Leary masih memanggilmu paman.”“Memangnya kenapa? Saat kecil, Ferez juga memanggilku Chaning dibandingkan dengan sebutan ayah. Lagi pula, Leary lebih dekat denganku.”Liebert tersenyum miring, pria langsung bersedekap sombong. “Oh ya? Jika kalian sangat dekat, apa kau tahu keahilannya?”“Apa maksudmu? Aku lebih tahu tentang dia dibandingkan denganmu,” debat C
Empat bulan kemudian..Leary terbaring dalam kegelisahan, gadis kecil itu terlihat beberapa kali melihat baju seragam sekolahnya yang digantung di depan lemari. Besok adalah hari pertama dia akan sekolah, Leary sangat gugup dan berdebar hebat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok.Keadaan Leary sudah pulih sejak tiga bulan yang lalu, namun karena dia masih kesulitan berbicara dan takut dengan orang asing, butuh waktu lama untuknya bisa pulih seperti sekarang.Kini, Leary telah kembali menjadi anak yang penuh semangat dan selalu ceria. Sejak tinggal di rumah Chaning, secara perlahan Leary mendapatkan lebih banyak keberaniannya berkat dorongan semua orang.Chaning maupun Liebert, mereka berdua memang tidak begitu bisa bersikap manis dan lembut seperti orang lain. Namun, mereka berdua mampu memberikan banyak kenyamanan dan rasa aman untuk Leary, mereka berdua selalu menumbuhkan rasa percaya diri Leary agar dia berhenti berpikiran buruk lagi dengan orang-orang yang ada di se
Desa Bibury, tempat yang telah Leary tinggalkan, tempat kenangan terakhir Olivia hidup, kini berada di depan mata. Leary berdiri terpaku, berdiri di tengah-tengah rumah kecil sederhana dan kumuh. Pandangannya mengedar melihat ke penjuru tempat, merasakan kembali kenangan indah dirinya bersama ibunya dulu.Leary mengusap dadanya, merasakan sesuatu perasaan yang kosong kini terasa kembali penuh hanya dengan membayangkan wajah Olivia, mencium sisa-sisa aromanya yang masih tertinggal.Di tempat ini, Leary melewati masa indah terakhirnya bersama ibunya. Leary melangkah pelan dalam tuntunan Chaning, mendekati sebuah tungku perapian. Di tempat itu, Olivia menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Leary. Leary masih ingat, dia memeluk tubuh Olivia yang semula hangat berubah dingin, Leary yang sudah berjanji untuk menjadi anak yang kuat menahan air matanya hingga hembusan napas terakhir Olivia, hingga detak jantung terakhirnya, Leary menangis tanpa suara agar Olivia tidak mendengarnya.
Leary terduduk di kursi rodanya dengan sebuah pakaian yang tebal, gadis kecil itu tidak berhenti memandangi Liebert yang sejak tadi menyisir rambutnya, membantu mengenakan pakaian tebal hingga membantu mempersiapkan kepergian mereka karena pulang dari rumah sakit.Suara ketukan di pintu terdengar, tidak terduga Petri berdiri di ambang pintu. Ini untuk pertama kalinya Petri keluar usai kejadian itu, kini konisi Petri sudah mulai stabil berkat bantuan dokter. Petri berdiri tertunduk terlihat ragu untuk menatap.“Apa aku dibolehkan masuk?” Tanya Petri terdengar pelan nyaris tidak terdengar.Liebert sempat terdiam, pria itu lebih dulu melihat reaksi Leary. Jika Leary ketakutan, maka Liebert akan menolak.Melihat Leary yang terlihat tenang, Liebert akhirnya segera berdiri. “Masuklah,” jawab Liebert memberi izin.Petri mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Liebert, orang sudah menembak kaki ayahnya dengan kejam. Namun entah mengapa, tidak ada kebencian di dalam ha