Pagi-pagi Leary terbangun dan disuguhkan oleh pemandangan indah di sekitar rumahnya. Leary dapat melihat padang rumput hijau yang luas, udara segar dan gemercik suara air di sungai, tumbuhan yang tumbuh dengan baik, ini adalah pemandangan baru yang dia lihat.
Leary senang jika ternyata keadaan sekitar rumahnya tidak semenakutkan apa yang telah dilihat tadi malam.
Di hari kedua mereka tinggal, Olivia mengajaknya pergi menyapa beberapa tetangga baru mereka, lalu jalan-jalan untuk membeli keperluan stock makanan.
Setelah sekian lama terjebak di apartement dan tempat penitipan, akhirnya kini Leary bisa berlarian dengan bebas tanpa perlu menggunakan jaket tebal dan memakai topi seperti menyembunyikan diri.
Selama ini, ketika di Skotlandia, Leary tidak bisa berlarian menikmati kota Edinburg yang memiliki bangunan cantik seperti di gambar-gambar buku dongeng.
Selama ini Olivia selalu berusaha menyembunyikan wajah Leary dari siapapun, karena kini dia berada di desa, Olivia mengizinkan Leary menikmati waktunya dengan normal.
Setelah membeli kepereluan makanan, Olivia pergi ke toko buku milik Willis yang di dekat perbatasan desa. Di sana, Olivia memperkenalkan Leary kepada Willis dan memberitahu puterinya jika Willis adalah bibinya.
“Tunggu di sini sebentar, ibu akan berbicara dengan bibi Willis,” kata Olivia.
Leary mengangguk patuh, anak itu duduk di sebuah bangku depan toko buku sambil memakan sepotong kue yang dibelinya. Pandangan Leary mengedar, memperhatikan beberapa orang petani yang lewat menggunakan gerobak kuda, beberapa kendaraan juga mulai terlihat lewat.
Di antara banyak hal yang lewat, ada sesuatu yang berhasil mencuri perhatian Leary, yaitu seorang anak laki-laki yang berpakaian lusuh, tengah menggendong karung besar berisi kentang. Anak laki-laki itu tidak melihat ke manapun dan terus menatap jalan tidak mempedulikan apapun.
Leary berhenti memakan rotinya begitu melihat tangan anak laki-laki itu terlihat kurus kering, wajahnya tirus berpeluh keringat karena barang bawaannya yang banyak dan berat.
“Leary, ayo pulang,” suara Olivia dan tepukannya di bahu Leary menyadarkan anak itu dari keterdiamannya.
Begitu Leary melihat anak laki-laki itu lagi, kini dia sudah naik sebuah mobil bak dan bergabung dengan beberapa petani lainnya yang hendak pergi ke pasar.
“Leary, kau melihat apa?” tanya Olivia.
Leary menggeleng dengan senyuman, anak itu membungkuk mengambilkan tas besar belanjaan yang harus Olivia bawa, sementara tas kecil lainnya akan dibawa olehnya, keduanya pergi berjalan kaki meninggalkan toko Willis.
Di ambang pintu toko buku, Willis mengipas-ngipaskan kipasnya, memperhatikan Olivia yang berjalan pelan dan pincang bersama Leary, keduanya terlihat bahagia saat berbincang.
“Ya ampun, sekarang sedang krisis financial, mereka akan kelaparan dalam waktu dekat jika tidak bekerja sama sekali,” ucap Willis dengan serius.
Willis tahu keadaan keuangan Olivia saat ini yang kesulitan keuangan karena hartanya dibekukan.
Willis sempat memperingati Olivia agar dia menjaga keuangannya karena krisis yang melanda dunia, termasuk Inggris. Olivia pasti belum terbiasa dengan kehidupan yang sederhana akan kesulitan mengatur keuangannya.
Bagi Willis, untuk bisa menghidupi dirinya sendiri saja, itu sudah cukup, dia tidak ingin kemiskinan dan kelaparan yang dialami Olivia harus ditanggungnya juga.
***
Leary bergerak diam-diam, mengintip Olivia untuk memastikan jika kini ibunya tidak melakukan hal aneh lagi. Leary suka jika Olivia lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan pergi bekerja, dia takut sendirian di rumah barunya yang tidak nyaman.
Olivia tengah duduk di kursi rotan dan terlihat sedang merenung . Sorot mata Olivia terlihat gelap dipenuhi kesedihan yang tidak bisa di ungkapkan, ada banyak pikiran yang menggelayut di kepalanya.
Olivia harus mulai bergerak memulai balas dendamnya kepada orang-orang yang sudah membuat hidupnya menderita. Disisi lain, Olivia juga memikirkan uang pemberian Elisio Hemilton sudah mulai berkurang dan kemungkinan hanya akan bertahan selama satu bulan saja.
Olivia khawatir, dia tidak memiliki uang sebelum menyelesaikan balas dendamnya dan kembali sepenuhnya dengan keluarganya.
Lantas, bagaimana jika nanti uangnya habis? Harus kemana dia meminta tolong?
Terlintas dalam benak Olivia, mungkin ini sudah saatnya dia menghubungi adiknya. Tapi, apakah kali ini akan berhasil?
Terakhir kali Olivia berusaha menemui adiknya, seseorang sudah menempatkan impra merah di kepala adik Olivia, sekelompok organisasi mengancam Olivia akan membunuh adiknya jika Olivia kembali ke pangkuan keluarganya.
“Ibu,” panggil Leary.
Olivia menengok, menatap lembut Leary yang terlihat ragu untuk mendekat, tangan kecilnya memeluk erat bonekanya. Tangan Olivia bergerak mengisyaratkan Leary untuk mendekat.
Dengan cepat Leary berlari dan merangkak naik ke kursi, duduk sisi Olivia. “Aku sudah sikat gigi,” Leary menunukan barisan giginya yang sebagian sudah hilang. “Sekarang, aku mengantuk, temani aku tidur.”
“Sejak kapan anak ibu menjadi manja seperti ini?” Ledek Olivia memangku tubuh Leary dengan mudah.
“Di kamar ada serangga, aku takut di gigit,” ungkap Leary.
Diraihnya wajah mungil Leary, Olivia mengecup kedua pipinya bergantian dengan senyuman lebar. “Mulai sekarang, ibu akan memberitahumu, serangga apa saja yang berbahaya, jadi kau harus mengingatnya.”
“Kenapa aku harus mengingatnya?”
Olivia tertawa, dengan tenang dia menjawab. “Kau harus tahu Leary, meski terkadang hewan memiliki bentuk yang buruk dan menakutkan, bukan berarti semuanya jahat.”
Tanpa bersuara Leary mengangguk mengerti dan mulai memejamkan matanya, menikmati pelukan hangat Olivia yang selama ini jarang memiliki waktu bersamanya.
“Ibu,” panggil Leary pelan dengan tangan yang mengusap lengan Olivia yang sudah memeluknya.
“Ada apa?”
Kedua mata Leary kembali terbuka, anak itu terdiam dengan tatapan ragu begitu melihat sepasang mata Olivia yang menatap dirinya dengan hangat, menciptakan ketenangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Pikiran Leary melayang, teringat kejadian tadi pagi saat dia bangun dari tidurnya dan melihat suasana desa untuk pertama kalinya. Leary melihat kehangatan keluarga di rumah-rumah sekitarnya, mereka terlihat ramai saling menyayangi satu sama lainnya.
Leary ingin tahu, mengapa dia tidak pernah berkumpul dengan keluarganya, kemana keluarganya? Mengapa anak-anak lain memiliki keluarga, tetapi dia hanya memiliki ibunya saja?
“Ada apa? Kenapa diam saja?” tanya Olivia mengusap pipi Leary.
Bibir mungil Leary terangkat pelan dan melontarkan sebuah pertanyaan. “Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?” tanya Leary pelan dan bergetar, takut membuat ibunya bersedih.
To Be Continued..
“Apa aku memiliki ayah? Kenapa kita selalu terus berdua saja?”Olivia tersentak kaget, pupil matanya melebar, dalam beberapa detik wanita itu membeku tidak dapat berkata-kata, apalagi menjawab pertanyaan sederhana Leary. “Apa aku juga memiliki kakek nenek seperti di dalam dongeng?” tanya Leary lagi memperhatikan keterdiaman Olivia yang membeku. Keterdiaman Olivia yang tidak menjawab menambah rasa ingin tahu Leary.“Kenapa kau menanyakannya?” bisik Olivia terbata.Leary berkedip pelan, merasakan kesedihan mendalam di mata Olivia, lama anak itu terdiam sampai akhirnya dia menjawab. “Jika aku punya ayah, bukankah nanti, ayah akan memukul orang-orang yang jahat kepada kita? Aku juga mau di gendong oleh ayah, aku mau melakukan natal bersama seperti anak-anak lainnya yang berkumpul dengan keluarga, dapat hadiah dari nenek kakek mereka,” jawab Leary pelan penuh kepolosan.Hati Olivia tertohok begitu dalam sampai terasa sakit mendengar jawaban sederhana puterinya, mata Olivia mulai panas did
“Jach.”“Kau tinggal di mana? Apa aku boleh bermain denganmu?” tanya Leary lagi berantusias, anak itu tidak memahami kesibukan Jach dan sekarung arang yang harus segera di antarkan.Jach menarik tangannya, “Aku tinggal di dekat hutan, perbatasan desa, sekarang aku harus kembali bekerja membantu nenekku. Sampai nanti,” pamit Jach terburu-buru pergi meninggalkan Leary.Leary berbalik melihat kepergian Jach, kaki kecilnya berlari mengejar. “Tunggu Jach!” panggil Leary dengn teriakan.Langkah Jach kembali terhenti, menunggu Leary yang mendekat sambil merongoh sesuatu dari saku dressnya. Tangan mungil Leary terulur, menyerahkan beberapa buah permen yang dimilikinya. “Sekarang kita berteman kan?” tanya Leary.Tubuh Jach menegang kaget, anak laki-laki itu sampai mengerjap mencoba meyakinkan diri jika apa yang telah di dengarnya bukan ilusi. Dalam keraguan Jach mengangguk seraya menerima permen pemberian Leary.Bibir mungil Leary mengukir senyuman, menunjukan dua buah giginya yang ompong dan
Olivia pergi ke kota di malam itu, diam-diam dia pergi tempat Willis untuk mengambil merpati yang dia bawa bersama dengan senjatanya dari Skotlandia.Merpati itu adalah hewan peliharaan Olivia yang sudah dia rawat lebih dari empat tahun lamanya, dan merpati itu juga sudah sering membantu tugasnya.Olivia membawa merpati itu, dan pergi beberapa rumah orang penting yang berada di kota London. Dimulai dari Tery, seorang anggota parlement. Harry, seorang peminpin kepolisian, dan Dena, seorang anggota dewan dari Prancis yang saat ini sedang memiliki kunjungan khusus ke Inggris.Olivia mengirimkan suratnya melalu merpati yang dibawanya, secara terlatih, merpati itu bergerak terbang setelah di beri beberapa buah makanan. Dengan cekatan dia terbang ke lantai di mana Olivia menyorotkan senter laser merahnya sebagai petunjuk.Begitu laser merah menghilang, burung merpati itu mengetuk-ngetuk jendela sampai si pemilik rumah membuka pintu dan mengambil surat yang diberikan.Merpati itu terbang da
“Ibu menyuruhku melakukan ini semua karena ingin meninggalkan aku lebih lama lagi kan?” Protes Leary dengan wajah bercucuran air mata sampai membuat bedak di wajahnya luntur.Olivia tercekat kaget mendengar pertanyaan sederhana Leary. “Ibu memintamu melakukan ini semua bukan karena ingin meninggalkamu,” jawab Olivia serius.“Ibu bohong, semalam Ibu meninggalkan aku sendirian lagi, aku tidak percaya Ibu! Ibu pasti meninggalkan aku lagi!” debat Leary dengan teriakan dan tangisan yang semakin keras. Leary berlari pergi ke kamarnya kembali menangis karena kecewa.Semalam Leary terbangun sendirian di tengah malam, dia sempat menangis mencari ibunya, namun Olivia tidak ada seperti biasanya.Leary kecewa karena Olivia masih tidak berhenti meninggalkannya di tengah malam, padahal dia takut bermimpi buruk dan takut ada orang jahat yang datang, terlebih rumah baru mereka tidak begitu membuatnya nyaman.Tangisan Leary terdengar di kamar, Olivia hanya bisa memijat batang hidungnya dengan kuat kar
Leary duduk di bangku, sambil menopang dagu, beberapa kali dia menguap karena mengantuk dan bosan melihat Olivia yang tengah memasak.Olivia mengajarinya hal-hal yang dasar, seperti bagaimana cara merebus spaghetti, merebus kentang dan memastikan sayuran matang.“Kau bilang, kau tertarik dengan senjata milik ibu,” Olivia mengajaknya berbicara untuk mengurangi rasa bosan Leary.Leary tertunduk tidak berbicara, Leary memang tertarik ingin tahu dengan semua benda yang sering disentuh oleh ibunya, namun semenjak Olivia melarangnya menyentuh senjatanya, Leary mencoba untuk melupakannya.Melihat keterdiaman Leary, Olivia kembali berkata. “Mau ibu ajarkan? Sekarang kau sudah tumbuh lebih besar, jadi ibu tidak akan melarangmu lagi.”Dengan cepat Leary mengangkat wajahnya, matanya berbinar membulat sempurna, dan bibir mungilnya terperangah tersenyum senang. “Apa benar-benar boleh?”Olivia mengangguk, “Setelah makan, ibu akan mengajarimu.”Suara tepuk tangan senang Leary menyambut perkataan Ol
Hujan turun di malam hari, Olivia terlihat tengah melakukan sesuatu sendirian, sementara Leary sudah terlelap tidur di kamarnya.Sejak Leary tertidur, Olivia terlihat sibuk menyiapkan sesuatu penting sampai pertengahan malam.Olivia terduduk di sisi ranjang, memperhatikan Leary yang tertidur lelap memeluk bonekanya, Olivia sempat menambahkan selimut untuk menutupi Leary agar dia bisa nyaman. Leary akan terbangun bila mendengar suara petir.Olivia mengusap kepala Leary dan membunguk, mengecupnya beberapa kali.Olivia beranjak meninggalkan kamar, dia harus pergi untuk melakukan misinya, malam ini dia harus kembali meninggalkan Leary.Dengan berat hati Olivia akhirnya keluar rumah dengan menunggangi kuda, menerobos kegelapan, pergi ke tengah hutan dan melakukan perjalanan jauh ditengah-tengah lelapnya orang-orang yang tertidur.Olivia meninggalkan kudanya di sebuah rumah kecil tempat berteduh para petani, di sana dia berganti pakaian dengan menggunakan pakaian anti peluru bersama pakaia
Dena menjerit ketakutan, tetapi jeritan terbungkam ketika dia menjadi sasaran selanjutnya, Olivia menembak di belakang telinganya dan membuatnya tumbang dalam satu tembakan.Harry berlari begitu tersadar jika posisinya berada dalam bahaya, para pengawal yang semula berjaga berlarian berusaha menyelamatkan diri, mereka terlihat seperti segerombolan rusa yang berusaha menyelamatkan diri dari mangsa singa, mereka tampak tidak memiliki kekuatan apapun meski jumlahnya banyak dan tidak sebandingdengan seekor singa yang sendirian.Pergerakan angin yang di sekitar yang menggoyangkan ilalang dan menciptakan suara di antara suara air sungai, Olivia tidak membuang waktu lagi untuk menembak kepala Harry sampai membuat Harry terlempar jatuh ke rerumputan.Olivia menarik napasnya dalam-dalam merasakan kelegaan yang memuaskan setelah menghabisi tiga orang musuhnya tidak lebih dari tiga menit. Beberapa penembak yang baru menyadari keberadaan penembak di sekitar mereka, kini mereka langsung mencari-c
Leary beranjak dari ambang pintu dan menutupnya rapat-rapat, anak itu mulai terisak menangis di antara kesepian untuk melepaskan rasa sakit di dada yang tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata untuk menjabarkan perasaannya. Dengan sisa-sisa tangisannya yang terdengar, Leary memutuskan kembali ke kamar mandi. Leary melepaskan pakaiannya yang kotor dan mulai mandi sendirian, memaksakan diri meski tubuhnya semakin menggigil kedinginan, dengan tekun anak itu membilas tubuh dan rambutnya dengan shampoo, tidak lupa dia menggosok giginya. Meski kini Leary sedang bersedih dan marah kepada Olivia, Leary tidak bisa hanya diam menunggu. Leary tidak tahu, apakah Olivia akan pulang pagi ini, nanti malam, atau mungkin esok hari. Banyak waktu yang Leary habiskan sampai dia bisa mandi dan berpakaian bersih, rambut panjangnya yang basah terlihat kusut belum sempat disisir. Dari sekian banyak pekerjaan yang bisa dia kerjakan, Leary masih belum bisa menyisir. Selesai mandi dan berpakaian bersih, gad
Langit terlihat memerah, dalam waktu beberapa menit lagi akan benar-benar tenggelam. Leary duduk di rerumputan melihat banyaknya daun semanggi yang tumbuh subur.Gadis kecil itu terlihat merenung teringat Petri yang pernah dia beri daun semanggi.Petri, entah mengapa Leary ingin lebih dekat dengannya dan terus memikirkannya. Leary gelisah melihat Petri yang terlihat bersedih.“Apa yang kau lakukan di sini? Masuklah,” titah Chaning yang datang menyusul, sekilas pria itu melihat jauh keberadaan Ferez yang masih menunggangi kudanya di pacuan.Wajah Leary terangkat, menatap lekat Chaning yang kini disinari sinar matahari sore. Pria itu terlihat kuat, indah dan hangat, sehangat matahari sore.Leary tidak bersuara, namun anak itu terus menatap Chaning dalam diam, Leary bergumul dalam pikirannya mencoba untuk merangkai sesuatu untuk diungkapkan.“Kenapa?” tanya Chaning yang menyadari sesuatu.Leary segera berdiri. “Paman, apa boleh saya berteman baik dengan Petri?” tanya Leary terdengar seper
Ferez berjalan sendirian keluar dari kantin sekolah, beberapa saat yang lalu dia sempat pergi ke kelas Leary untuk memastikan keadaannya karena ingin tahu keadaannya. Ferez tidak menemukan keberadaannya, dia sempat berpikir Leary pergi ke kantin sekolah, namun ternyata Leary juga tidak ada.Cukup jauh Ferez melangkah akhirnya dia sampai di taman sekolah, tidak membutuhkan waktu lama untuknya mencari Leary karena kini perhatiannya langsung tertuju pada gadis kecil itu yang kini tersenyum melambaikan tangannya pada Petri yang beranjak pergi meninggalkannya.Ferez juga melihat Duke yang kini tengah berdiri di bawah pohon, Ferez tidak habis pikir dengan keputusan ayahnya yang mengirim Duke dibandingkan pengawal lainnya. Padahal Duke memiliki fisik yang mencolok dibandingkan dengan Romero.Tanpa pikir panjang Ferez segera pergi menghampiri Leary.“Ferez,” sapa Leary dengan senyuman lebar terlihat senang.“Bagaimana kelas pertamamu?” tanya Ferez seraya duduk, namun tatapannya yang tajam it
“Apa boleh saya duduk di sini?” tanya Leary memberanikan diri.Sekali lagi Petri menarik napasnya dalam-dalam, dan berkata, “Duduklah.”Leary memutuskan untuk duduk di samping Petri, sementara Duke berdiri menunggu di bawah pohon sambil berbicara dengan seorang anak laki-laki yang meminta tolong kepadanya karena bolanya menyangkut di dahan pohon.Leary dan Petri duduk berdampingan, keduanya terlihat terjebak dalam kecanggungan meski hatinya saling memiliki rasa penasaran dan bertanya-tanya ingin tahu kabar masing-masing.Petri melirik Leary yang kini membuka bekal makanannya di atas pangkuannya. “Kau mulai sekolah hari ini?”Leary mengangguk dengan senyuman.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Petri lagi.“Luar biasa, saya sangat senang.”Petri ikut tersenyum meski jauh di dalam lubuk hatinya dia merasa sedikit iri karena tidak bisa pergi bersama ke sekolah dengan adiknya, malahan kini mereka berdua tampak seperti dua orang asing yang sedang mengobrol.Leary mengambil roti isi yang dibuat o
Noah menopang dagunya memperhatikan gurunya tengah berbicara di depan, perhatiannya sempat teralihkan pada Petri yang tengah membaca buku. Sejak kejadian hari itu, Petri menjadi jarang sekolah, dia harus menanggung banyak tanggung jawab dan lebih mementingkan untuk belajar khusus bisnis dibandingkan dengan sekolah umum untuk anak-anak seusianya.Keadaan Darrel tidak kunjung membaik dan dia terus mendapatkan perhatian khusus, bisa dikatakan mungkin kini keadaan jauh lebih buruk. Beruntung Adelle sering datang membantu Petri dikala dia kesulitan. Kini kediaman keluarga McCwin sudah kosong tidak berpenghuni, Petri lebih memilih tinggal bersama Andrew yang sampai saat ini masih setia kepadanya meski sudah mengundurkan diri.Karena kejadian di hari itu, Petri sempat tidak sekolah selama satu bulan, dia harus mendapatkan banyak bimbingan agar bisa melewati masa traumanya.Kini, Petri yang cerdas dan selalu kompetitif dalam belajar sudah berubah, dia lebih banyak diam dan menyendiri, menja
Chaning dan Liebert duduk dalam ketegangan, kehadiran kedua pria itu membuat seseorang guru yang mengurus administrasi pendaftaran sekolah sempat dibuat diam dan tersenyum canggung.Hari kemarin seseorang bertubuh tinggi besar dangan wajah bertato yang datang memberikan semua berkas keperluan, dan kini yang datang menjadi wali adalah dua pria bertubuh besar.Chaning dan Liebert berpenampilan rapi, namun aura mematikan mereka tetap saja tidak bisa dihindarkan. Terlebih, sebelumnya Russel pernah bertemu dengan Chaning yang pernah mendaftarkan Ferez.Nama Benvolio sangat begitu jarang digunakan, dan nama itu dikenal sebagai nama klan besar keluarga mafia.“Kita pernah bertemu sebelumnya, Anda orang tuanya Ferez?” ucap Russel berbasa-basi, padahal sebelumnya dia sudah dihubungi secara khusus oleh petinggi sekolah bahwa akan ada tamu penting yang akan medaftar anaknya sekolah.Chaning mengangguk samar.Russel berdeham pelan sambil menyeka keringat dingin di keningnya. “Jadi, anak atas nama
“Aku paman kandungnya, aku akan menjadi walinya,” Liebert angkat bicara ditengah-tengah sarapan pagi yang akan dimulai.Pagi ini Chaning dan Liebert tengah berdiskusi mengenai sekolah pertama Leary, nampaknya diskusi itu sedikit terganggu karena Chaning dan Liebert sama-sama ingin menjadi wali Leary.Chaning menengok seketika, pria itu mendorong piring makanan untuk Ferez. “Apa kau sudah lupa? Sekarang aku menjadi ayah angkatnya secara sah, secara garis besar aku lebih berhak menjadi walinya.”Kening Liebert mengerut samar, pria itu tampak tidak setuju dengan apa yang telah Chaning katakan kepadanya. “Ayah angkat di atas kertas, Leary masih memanggilmu paman.”“Memangnya kenapa? Saat kecil, Ferez juga memanggilku Chaning dibandingkan dengan sebutan ayah. Lagi pula, Leary lebih dekat denganku.”Liebert tersenyum miring, pria langsung bersedekap sombong. “Oh ya? Jika kalian sangat dekat, apa kau tahu keahilannya?”“Apa maksudmu? Aku lebih tahu tentang dia dibandingkan denganmu,” debat C
Empat bulan kemudian..Leary terbaring dalam kegelisahan, gadis kecil itu terlihat beberapa kali melihat baju seragam sekolahnya yang digantung di depan lemari. Besok adalah hari pertama dia akan sekolah, Leary sangat gugup dan berdebar hebat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok.Keadaan Leary sudah pulih sejak tiga bulan yang lalu, namun karena dia masih kesulitan berbicara dan takut dengan orang asing, butuh waktu lama untuknya bisa pulih seperti sekarang.Kini, Leary telah kembali menjadi anak yang penuh semangat dan selalu ceria. Sejak tinggal di rumah Chaning, secara perlahan Leary mendapatkan lebih banyak keberaniannya berkat dorongan semua orang.Chaning maupun Liebert, mereka berdua memang tidak begitu bisa bersikap manis dan lembut seperti orang lain. Namun, mereka berdua mampu memberikan banyak kenyamanan dan rasa aman untuk Leary, mereka berdua selalu menumbuhkan rasa percaya diri Leary agar dia berhenti berpikiran buruk lagi dengan orang-orang yang ada di se
Desa Bibury, tempat yang telah Leary tinggalkan, tempat kenangan terakhir Olivia hidup, kini berada di depan mata. Leary berdiri terpaku, berdiri di tengah-tengah rumah kecil sederhana dan kumuh. Pandangannya mengedar melihat ke penjuru tempat, merasakan kembali kenangan indah dirinya bersama ibunya dulu.Leary mengusap dadanya, merasakan sesuatu perasaan yang kosong kini terasa kembali penuh hanya dengan membayangkan wajah Olivia, mencium sisa-sisa aromanya yang masih tertinggal.Di tempat ini, Leary melewati masa indah terakhirnya bersama ibunya. Leary melangkah pelan dalam tuntunan Chaning, mendekati sebuah tungku perapian. Di tempat itu, Olivia menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Leary. Leary masih ingat, dia memeluk tubuh Olivia yang semula hangat berubah dingin, Leary yang sudah berjanji untuk menjadi anak yang kuat menahan air matanya hingga hembusan napas terakhir Olivia, hingga detak jantung terakhirnya, Leary menangis tanpa suara agar Olivia tidak mendengarnya.
Leary terduduk di kursi rodanya dengan sebuah pakaian yang tebal, gadis kecil itu tidak berhenti memandangi Liebert yang sejak tadi menyisir rambutnya, membantu mengenakan pakaian tebal hingga membantu mempersiapkan kepergian mereka karena pulang dari rumah sakit.Suara ketukan di pintu terdengar, tidak terduga Petri berdiri di ambang pintu. Ini untuk pertama kalinya Petri keluar usai kejadian itu, kini konisi Petri sudah mulai stabil berkat bantuan dokter. Petri berdiri tertunduk terlihat ragu untuk menatap.“Apa aku dibolehkan masuk?” Tanya Petri terdengar pelan nyaris tidak terdengar.Liebert sempat terdiam, pria itu lebih dulu melihat reaksi Leary. Jika Leary ketakutan, maka Liebert akan menolak.Melihat Leary yang terlihat tenang, Liebert akhirnya segera berdiri. “Masuklah,” jawab Liebert memberi izin.Petri mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Liebert, orang sudah menembak kaki ayahnya dengan kejam. Namun entah mengapa, tidak ada kebencian di dalam ha