Olivia menarik mundur kursi rodanya dan bergerak, sebelum pergi membuka pintu, dia mengambil beberapa buah belati yang selalu dia sembunyikan di pot dan meletekannya di bawah dudukan kursi roda. Olivia membuka pintu dan langsung berhadapan dengan seorang laki-laki berwajah dingin bernama Haston. “Geledah!” titah Haston dengan nada arrogant, memerintahkan anak buahnya masuk ke dalam tanpa meminta persetujuan sedikitpun dari Olivia sang pemilik rumah. Ada sekitar sepuluh orang masuk ke dalam rumah dan mendorong Olivia untuk memberi jalan, bahkan sebelum Olivia angkat bicara, Haston menodongkan senjata ke arah Olivia dan menatap bengis penuh kebencian. Olivia mundur, membalas tatapan tajam Haston dan senjata yang ditodongkan tepat di kepalanya sebagai ancaman. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Olivia dengan napas yang kasar. Rahang Haston mengeras. “Jangan berpura-pura tidak tahu,” geramnya marah. “Apa aku terlihat seperti sedang berpura-pura?” tanya balik Olivia marah. Ujung
“Lepaskan puteriku!” perintah Olivia marah. Alis Haston sedikit terangkat, dia terhibur karena Olivia yang selalu tenang bisa langsung marah hanya dengan Haston menyentuh Leary. “Kau bisa marah juga ternyata,” ucap Haston mencengkram lebih kuat Leary sampai membuat anak itu merintih kesakitan. Leary meringis merasakan cengkraman Haston di pakaiannya membuatnya kesulitan bernapas, sebuah keberanian muncul disaat dia terdesak, Leary menggigit keras pergelangan tangan Haston. “Sialan!” maki Haston kesakitan, dengan mudahnya pria itu membenturkan Leary ke dinding dan membantingnya agar Leary melepaskan gigitannya. Olivia yang sudah berdiri, menarik belati di bawah kursi roda dan menebaskannya di pergelangan tangan Haston. Refleks tubuh Leary terjatuh, telepas dari cengkraman dan Haston berteriak kesakitan merasakan sayatan dalam yang memutuskan pembuluh darahnya sampai darah berceceran membasahi lantai. Tubuh Haston terjatuh ke lantai begitu Olivia menghajar wajahnya dengan satu puku
Leary tersenyum lebar merongoh beberapa permen di dalam saku roknya, kaki kecilnya bergerak cepat melewati jalan setapak menuju bukit, menghampiri kerumunan anak-anak seusianya yang kini masih asyik bermain. Leary akan menyapa teman-temannya sambil menawarkan permen. Dilihatnya Moore yang kini tengah bermain Barbie dengan tiga anak kecil lainnya, beberapa di antaranya lagi tengah bermain bola lempar. Baru satu langkah Leary mendekat dan hendak menyapa, bibir mungilnya yang sempat terbuka langsung terkatup rapat karena tatapan risih semua orang. Moore berdiri, begitu pula dengan teman-teman Moore yang lain. “Kau tidak boleh bermain dengan kami lagi,” larang Dania. Leary mengerjap bingung, merasakan tatapan tajam penuh permusuhan semua orang terhadap dirinya. Tangan mungil Leary bergerak pelan ke belakang tubuhnya, menyembunyikan permen yang sempat ingin dia berikan. “Kenapa?” tanya Leary tidak mengerti. “Ibuku bilang, ibumu orang jahat dan tengah dikejar polisi. Kami tidak mau
“Kenapa tidak mengabariku jika kau pulang lebih awal?” tanya Wony dengan tangan terbuka, wanita itu memeluk Darrel singkat. “Pekerjaanku lebih mudah dari apa yang dipikirkan,” jawab Darrel singkat tidak mempedulikan penampilan baru Wony dan luka diwajahnya. “Di mana Petri?” “Dia sedang bermain di rumah temannya,” jawab Wony memperhatikan tangan Darrel yang menjinjing tas kerja. “Berikan tasmu, aku akan membawanya,” pinta Wony. “Tidak perlu,” jawab Darrel singkat. “Aku akan menyiapkan makan siang untukmu.” “Tidak perlu, aku hanya butuh tidur dan tidak diganggu,” tolak Darrel dengan dingin, pria itu langsung pergi melewati Wony begitu saja dan mengabaikannya. Wajah Wony mengeras tampak sangat marah, matanya menatap waspada Darrel yang kini berjalan semakin jauh dari pandangannya. Wony menarik napasnya dalam-dalam dengan tangan terkepal menyalurkan amarah yang membuat dadanya mendadak panas. Setiap detik, menit, jam, dan hari, Wony dilanda mimpi buruk, dia sangat takut Darrel men
Suara kekehan seorang terdengar bersama asap rokok yang mengepul keluar dari mulut. Pria berpakaian bangsawan itu duduk disebuah kursi dengan koran yang tengah dibacanya. Di dalam koran itu tertulis jika terjadi sebuah berita mengenai penyerangan pada beberapa petinggi negara di Inggris bersama beberapa pengawalan mereka. Kasus kematian yang misterius itu membuat banyak orang turun tangan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Alih-alih menemukan pelaku pembunuhan dan motifnya, pihak kepolisian justru menemukan sekte aliran sesat yang melibatkan beberapa petinggi negara, sekte itu melakukan pencucian uang, perjual belian manusia dan menjadikan anak-anak dibawah umur sebagai pekerja seks. “Aku cukup bangga dengan pekerjaan Olivia, satu gerakan yang dia buat bisa membuat satu negara kacau,” ujar Jason tampak menikmati setiap paragrafh berita yang dibacanya. “Aku sudah bisa menebaknya, dia tidak mungkin pulang ke Inggris tanpa sebuah alasan. Dia bertindak lebih cepat
Sore yang cerah datang, suasana mencekam di kediaman Olivia telah berakhir, kini Olivia tengah mengajarkan Leary mengenal angka dan mengenal nomer-nomer darurat. Leary yang masih sangat kecil dan tidak tahu apapun selain bermain, kini terlihat berantusias dan berpikir bahwa apa yang di ajarkan Olivia adalah misi yang menyenangkan. Leary tidak menyadari jika kini Olivia tengah mengajarinya untuk terbiasa melakukan segalanya sendiri karena berjaga-jaga akan sesuatu. Olivia berjaga-jaga agar Leary bisa tetap kuat meski nanti Olivia pergi selamanya. Olivia sadar betul dengan keadaannya sekarang, mungkin waktunya tidak akan lama, Olivia takut dia lebih dulu meninggal sebelum memusnahkan musuhnya dan mempertemukan Leary dengan adik Olivia. Setengah jam berlalu, akhirnya Olivia selesai mengajari Leary. “Baiklah, untuk hari ini belajarnya selesai. Sekarang ibu akan memasak untuk makan malammu,” jawab Olivia seraya membereskan barang-barangnya dan memasukannya ke dalam koper tua. Gerak-
Hujan kembali turun di malam hari, tungku di perapian menyala, Leary duduk di lantai tengah menghangatkan diri sambil memperbaiki buku dongeng barunya dengan lakban. Dalam suasana yang santai, Leary bercerita tentang kentang pemberian Jach, sementara Olivia tengah menjahit kembali boneka Leary yang belum terselesaikan, Olivia sampai harus menyumpal isi boneka dengan beberapa helai kain agar bisa kembali penuh. Leary melihat dinding rumahnya, cahaya dari api di perapian menciptakan bayangan dirinya dengan Olivia yang duduk berdekatan. “Ibu, kapan kita akan pulang?” tanya Leary tiba-tiba. Jarum yang menusuk kain boneka terhenti sejenak. Lagi, dan lagi, Leary kembali menanyakan kapan pulang, semakin sering Leary bertanya pulang, Olivia sadar jika anaknya tidak betah di sini. “Kenapa kau mau pulang cepat?” tanya Olivia dengan tenang. “Aku kesepian di sini, tidak ada taman bermain, tidak ada anak yang mau mengajakku bermain.” “Bagaimana jika nanti setelah hari ulang tahunmu kita pind
“Terima kasih atas bantuan Anda,” Olivia memberikan beberapa lembar uang pembayaran kepada pengrajin, dia harus mengeluarkan cukup banyak uang untuk bisa membuat taman bermain, namun melihat Leary yang bahagia, itu sudah sebanding baginya. Sang pengrajin tersenyum cerah menerima uang pembayarannya. “Jika butuh bantuan, jangan ragu menghubungi saya lagi.” Olivia mengangguk samar dan pengharajin itu pergi dengan meninggalkan beberapa bagian untuk Jach yang sudah bekerja keras membawa kayu dari sebrang desa dengan gerobaknya. “Paman, apa boleh Jach bermain dulu dengan saya?” tanya Leary penuh harap. “Tanyakan saja pada Jach, sampai jumpa,” jawab sang pengrajin sebelum benar-benar pergi. Dua lembar uang berada di tangan Jach, anak laki-laki itu menghela napasnya dengan lega karena upahnya yang dia terima saat ini sama dengan bekerja tiga hari di pasar. Tidak ada salahnya jika kini dia bermain sejenak dengan Leary. “Nyonya, apa boleh saya bermain dengan Leary?” tanya Jach sopan. Seb