“Petri tunggu,” panggil Wony. Petri menghentikan langkahnya dan menghadap Wony, anak itu terlihat masih tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Wony meski wanita itu sudah tinggal cukup lama di rumahnya. Sikap Wony yang seperti nyonya besar, sangat berbanding balik dengan ibunya yang selalu mengajarkan kesederhanaan. Keberadaan Wony di rumahpun tidak memiliki kontribusi apapun meski semua orang berpikir jika dia akan menjadi calon ibu yang sempurna untuk Petri. Sayangnya Petri tidak pernah sekalipun mendapatkan kasih sayang dari Wony karena wanita itu sepanjan waktu sibuk mempercantik diri lalu berbelanja. Satu-satunya hal yang membuat Petri tidak pernah protes atas kedatangan Wony karena Ellis, Petri menyayangi Ellis dan merasa sedikit tidak kesepian sejak Ellis ada di rumah. Ellis sudah seperti adiknya sendiri. “Ada apa?” tanya Petri. “Apa kau sudah mendengarkan apa yang sudah aku bicarakan dengan John?” tanya Wony berhati-hati dan penuh ketelitian memperhatian setiap ekspresi
Napas Leary tertahan di dada, anak itu mundur seketika penuh ketakutan sampai membuat kaki dan tangannya gemetar tidak bertenaga. “Jangan takut, aku utusan teman ibumu, maaf datang terlambat,” ucap pria asing itu menenangkan ketakutan Leary. Alih-alih tenang, Leary kian mundur hendak berlari, dia tidak percaya siapapun selain ibunya, semua orang jahat kepadanya, termasuk semua orang yang selama ini selalu datang bertamu ke rumah, mereka hanya ingin menyakiti Olivia. “Kau masih takut padaku?” tanya pria itu mencoba mendekat. Refleks Leary menghalangi wajahnya dan terjatuh ke belakang, suara napasnya terdengar kasar dan tersenggal. “Jangan sakiti saya.” “Tenanglah,” pria itu membungkuk berhadapan dengan Leary dan menangkap kedua tangannya agar berhenti menutupi wajahnya yang kini sudah basah oleh air mata. Dengan takut Leary melihat pria asing berekspresi dingin itu, tangan kekar pria itu terulur mengajak bersalaman. “Aku tidak akan menyakitimu, namaku Morgan Hemilton, nanti kau b
Tungku perapian menyala menciptakan kehangatan, Leary duduk di lantai beralaskan karpet kecil tempat biasa dia tidur di bawah meja. Leary memakan makanan yang sudah dia kumpulkan di lantai dan dimasukan kembali ke dalam toples. Leary terlihat menikmatinya ditemani dengan segelas susu hangat yang dibuat oleh Morgan. Leary memperhatikan Morgan yang kini terlentang setengah tertidur di atas sebuah kursi. Pria bertubuh tinggi besar dan memiliki tato di sisi lehernya itu ternyata orang baik, tidak semenyeramkan ekspresi dingin di wajahnya dan auranya yang gelap. Morgan tidak banyak bicara, namun dia tidak ragu menawarkan makanan hangat untuk Leary dan menyiapkan air hangat untuknya mandi agar tidak sakit, Morgan juga memenuhi semua bak agar Leary tidak kesulitan mengambil air. “Paman sudah tidur,” panggil Leary pelan. “Kau butuh bantua lain?” sahut Morgan. Leary menggeleng pelan dan tersenyum lebar. “Saya lupa belum berterima kasih kepada Paman. Terima kasih sudah menjaga saya, saya
“Siapa kalian, kenapa masuk rumah ini seenaknya?” tanya Morgan pada ketiga pria asing yang berdiri di hadapannya. “Bung, dimanapun kami berada, itu bukan urusanmu,” jawab Scott memperingatkan dengan senyuman sombongnya. “Dimana pemilik rumah ini?” tanya William tanpa basa-basi. “Ada urusan apa? Jika ada urusan, kalian bisa mengatakannya kepadaku,” jawab Morgan terlampau tenang. Myles berdecih kesal, pria itu saling melempar pandang dengan William untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan sekarang karena orang yang mereka cari tidak ada di tempat. William segera menarik keluar kapaknya untuk memperingatkan Morgan agar tidak banyak bicara, begitu pula dengan Scott yang mengeluarkan pisaunya. William mendekati Morgan, dengan berani dia menunjuk dada Morgan dengan ujung kapak di tangannya, kilatan tajam di matanya menyiratka sebuah tanda bahaya jika Morgan berani macam-macam. “Sekarang kau beritahu saja, di mana wanita pemilik rumah ini, bekerjasamalah dengan baik atau kau aka
Jam di dinding sudah menunjukan pukul tiga dinihari. Wony menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, melepas lelahnya setelah menemui teman William dan kembali melakukan transaksi. Malam ini Wony bisa tidur dengan tenang karena dia sudah mengirim lebih banyak orang untuk menghabisi Olivia dan anaknya. Sudut bibir Wony terangkat, wanita itu menyeringai puas menantikan besok pagi yang mungkin akan membuat dirinya sibuk karena Petri meninggal. Terbayang dalam pikiran Wony setelah Petri tiada, mungkin Darrel akan terjebak dalam kesedihan, dan pada saat itu Wony akan memanfaatkan kesedihan Darrel agar bisa mendapatkan perhatiannya. “Aku akan menyiapkan pemakaman terbaik untuk anak jalang itu,” bisik Wony dengan tawa senangnya. “ Senyuman Wony kian lebar, mengingat jika selesai sudah masalahnya malam ini, Wony tinggal tertidur dengan pulas dengan penuh ketenangan. Perlahan Wony menarik selimut dan memejamkan matanya, wanita itu tertidur pulas. *** Hujan yang turun membuat langkah tertatih Oli
Belum sempat Olivia kembali berdiri, bayangan pergerakan orang datang kembali membuat Olivia waspada dan bergeser mundur agar orang yang datang tidak menyadari keberadaannya. Tenaga Olivia sudah sangat terkuras habis, dia tidak boleh gegabah dan harus melakukan tindakan yang lebih tepat jika ingin melumpuhkannya. Dibawah kegelapan malam yang dingin, Olivia terus memperhatikan pergerakan orang asing yang datang menyusul. Pupil mata Olivia melebar begitu dia tersadar akan sesuatu hanya dengan melihat siluet wajah orang asing yang datang itu. Rambutnya yang berwarna perak, dan bayangan wajahnya yang terlihat dari sisi langsung bisa dikenali Olivia jika orang asing yang menyusul datang itu bukanlah lawannya. Olivia mundur secara perlahan begitu pria asing itu pergi menuju kamar Wony, bukan ke kamar Petri. Pergerakan pria misterius itu terlihat seperti angin, dia bergerak cepat dan tenang, dia membuka jendela kamar Wony dengan bantuan pisau. Begitu jendela kamar Wony terbuka, dia mele
Dua buah mobil jeep bergerak cepat pergi ke sebuah kediaman seseorang dengan pengawalan yang ketat. Olivia dibawa pergi untuk menemui seseorang yang sudah cukup lama tidak dia temui lagi sejak setengah tahun yang lalu. Begitu turun dari mobil, Meysan tetap mengawal diikuti oleh beberapa orang lainnya yang berjalan di belakang. Olivia berjalan tertatih-tatih dengan kruk menahan sakit dari kakinya yang kini sudah tidak mengenakan kaki palsu lagi, wajah wanita itu terlihat pucat pasi karena kedinginan dan lelah yang berlebihan setelah sepanjang waktu tidak beristirahat. Meysan membawa Olivia ke dalam sebuah ruangan tamu yang nyaman dan hangat, di sana Olivia akhirnya kembali berhadapan dengan Oxfo, peminpin kelompok pasukan khusus swasta yang selama ini mempekerjakan Olivia. “Lama tidak bertemu, Alice,” sapa Oxfo memanggil nama asli Olivia yang sebenarnya. Olivia tidak menjawab wanita itu mendekat tertatih-tatih dengan tongkatnya dan memilih duduk di sebrang, memperhatikan Oxfo yang
Oxfo mengedikan bahunya. “Jika kau menolak, sampai kapanpun, kau akan berada dalam buruan dan aku akan tetap memisahkanmu dari keluargamu sampai kau mau buka suara,” jawab Oxfo tanpa keraguan. “Ingat Olivia, yang memburumu, bukan hanya aku, jika kau membuka suara kepadaku, dan jika setelahnya ada seseorang yang membunuhmu, setidaknya kau sudah mengambil keputusan yang terbaik untuk anakmu. Rahasia besar yang kau miliki tidak ada bedanya dengan sebuah masalah. Sekarang pilihanmu hanya dua, mati meninggalkan masalah untuk putrimu, atau kau mati dengan masalah yang kau bawa.” Olivia kembali dibuat bungkam terjebak dalam penawaran dan keadaan yang pahit. Jika Olivia menolak tawaran Oxfo, dia takut akan meninggal tanpa berhasil mengembalikan semua assetnya dan membuat Leary menanggung masalah yang dibuat Olivia. Di sisi lain, jika Olivia menerima tawaran Oxfo, dia tidak memiliki ruang lagi untuk bisa bertemu dengan keluarganya, Olivia juga harus mengorbankan satu kakinya lagi. Tidak ad