Dalam keheningan Petri terduduk di kursi belajarnya, anak itu menatap kegelapan dengan sendu. Perasaan kecewa atas kekalahannya dari Ferez masih membelenggu hati Petri hingga membuatnya gelisah. Sudah cukup lama Petri duduk di ruangan perpustakaan sekadar mengurung diri dan menenangkan diri. Selama dua jam duduk tidak ada satupun orang yang masuk, terutama Ellis yang tidak Petri lihat sejak perpisahan mereka di sekolah. Rasa sesak di dada mulai Petri rasakan, wajahnya memanas tidak membuatnya nyaman, Petri demam. *** “Kau mau ke mana?” Chaning bersandar di pagar tangga, melihat Ferez yang kini mengenakan coat hitam keluar dari kamarnya. “Ke luar sebentar,” jawab Ferez terdengar santai, anak itu melewati Chaning begitu saja dan melangkah menuruni beberapa anak tangga. “Ke mana?” tanya Chaning lagi. “Ayah tidak perlu tahu.” “Jika kau tidak memberitahu, pintu rumah ini akan tertutup rapat dan tidak mengizinkanmu masuk sampai besok pagi,” ancam Chaning tidak main-main. “Terserah,
Sudah hampir satu jam Ferez berada di pinggiran sungai Thames, entah sudah ke berapa kalinya dia menengok ke belakang menantikan kehadiran Leary. Sayangnya orang yang Ferez nantikan tidak menunjukan tanda-tanda dia akan datang, padahal Ferez ingin meneraktir Leary makanan lagi untuk merayakan kemenangannya. Cuaca kian dingin, langit yang gelap di hiasi gerimis membuat Ferez harus pergi beranjak dari tempatnya. Ferez pergi dari tempat itu menaiki taksi menuju wilayah Kensington untuk menemui teman satu-satunya yang sudah cukup lama tidak dia temui. Kedatangan Ferez di sambut oleh Noah Brown, seoarang anak laki-laki yang seusia Ferez. Mereka berdua sudah berteman sejak lama karena hubungan bisnis antara Chaning dan orang tua Noah. Koneksi yang di miliki keluarga Brown di jadikan sebuah jalan untuk Chaning memasukan beberapa barang seludupan untuk di jual kepada beberapa bangsawan melalui keluarg Brown. Tidak jarang Chaning juga menjadi penyokong kesuksesan bisnis keluarga Brown kare
Sore yang cerah telah berlalu, kini berganti malam yang dingin dan sepi. Leary kembali duduk di sisi ranjangnya sambil memperhatikan potret wajah Olivia saat bersamanya. Gumpalan rasa rindu yang menyiksa semakin membesar di hati Leary, rasa sedih harus Leary terima karena kerinduan itu. Leary ingin pulang dan tinggal di rumah lamanya, dia ingin di sana meski harus tinggal sendiri daripada harus berada di rumah indah dan banyak orang, namun keberadaannya di perlakukan seperti orang asing. Rasa sedih dan sesak membuat Leary diam-diam menangis dalam kesendirian, bayang-bayangan perkataan menyakitkan, tatapan kebencian yang mengasingkan keberadaannya dan tamparan Petri datang menyerang pikiran Leary dan mendesaknya untuk menangis. Leary tidak ingin mengeluh dan merengek meski hatinya begitu sakit. Namun di bandingkan dengan sakit hati, Leary lebih takut di tinggalkan seperti apayang sudah di lakukan bibi Willis kepada dirinya. Leary takut, jika keluarga McCwin membuang dan meninggalk
“Anu, saya-saya mengantarkan alat tulis Anda yang tertinggal di perpustakaan dan tidak sengaja melihat Anda sakit. Saya-saya,” Leary tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena napas yang tersenggal. “Saya tidak bermaksud lancang, saya akan membereskan semuanya.” Dengan tertatih dan kaki gemetar kesemutan, Leary bangkit mengambil baskom. “Saya permisi,” pamit Leary bergegas pergi dengan langkah terseok-seok hingga akhirnya tubuh kecilnya itu tersungkur di lantai dan membuat air di dalam baskom tumpah. Petri turun dari ranjangnya, namun Leary segera bangkit dan membungkuk. “Saya akan membereskannya, jangan pukul saya,” lirih Leary penuh dengan permohonan belas kasihan. Petri yang hendak membantu dibuat membatu di tempatnya, anak itu mengepalkan tangannya dengan begitu kuat. perkataan Leary menohok hati terdalamnya. “Tinggalkan saja itu, akan ada pelayan yang membereskan.” Perlahan Leary mengangkat wajahanya dan memberanikan diri untuk menatap mata Petri untuk memastikan kebenaran ba
Di siang hari Leary kembali mendapatkan kesempatan untuk pergi keluar, kini anak itu mulai berani meminta izin secara langsung kepada Andrew untuk bisa bermain di luar. Beruntungnya Andrew mengizinkan namun dia mengingatkan Leary untuk pulang tepat waktu dan tidak berliaran jauh. Andrew jarang mendapatkan kesempatan berbicara dengan Leary karena sibuk. Namun Andrew sering mendengar cerita Burka dan beberapa temannya mengenai betapa kesepiannya Leary karena dia tidak sekolah dan tidak bisa bermain. Meski Andrew tidak begitu dekat dengan Leary, sebagai seorang kepala pelayan, Andrew lebih memilih fokus pada pekerjaannya dengan melayani tuannya, termasuk memberikan perlindungan kepada Leary. Panas terik sinar matahari yang bersinar membuat Leary berjalan-jalan di sekitar taman sambil melewati satu persatu toko untuk mencari keberadaan Chaning yang mungkin saja ad di dalam salah satu toko. Langkah Leary terhenti ketika anak itu berada di depan sebuah toko buku. Dari balik kaca Leary
“Dia temanku, Ayah jangan mencoba-coba mengganggunya atau Ayah akan tahu akibatnya,” ancam Ferez dengan serius. Kekagetan di wajah Chaning berubah, pria itu menyeringai geli begitu tahu benang merahnya seperti apa. “Jangan menuduhku, aku juga mengenal bocah ini.” “Benar itu Leary?” tanya Ferez. Leary yang sejak tadi diam menengadahkan kepalanya, melihat Chaning dan Ferez bergantian dengan mata berbinar langsung mengangguk dan tersenyum. “Bagaimana bisa?” Ferez tidk percaya. “Paman baik, ma-maksudku, Chaning, dia memberikan aku Ice cream dan uang. Kami berteman,” jawab Leary. Ferez mendengus tidak percaya, ayahnya yang anti perempuan tiba-tiba saja dekat dengan Leary. Ini mustahil terjadi. Ferez mengalihkan perhatiannya pada Leary begitu merasakan tarikan kecil tangan Leary pada ujung pakaiannya. “Ferez tidak sibuk?” “Ada apa?” “Ikut denganku, bantu aku.” Leary melompat turun dari kursi, sekilas dia melihat Chaning. “Paman baik, terima kasih atas minumannya. Sampai jumpa,” pam
Ellis menopang dagunya tampak kesal, dia merasa malas pulang kerumah karena sempat bertengkar dengan Petri tadi pagi. Ellis pikir Petri akan meminta maaf kepadanya saat di sekolah karena sudah membela Leary, Ellis menunggu begitu lama di kelasnya, namun Petri yang dia tunggu tidak kunjung datang apalagi meminta maaf. Ellis kecewa, Petri tidak lagi begitu memanjakannya. Sepanjang perjalanan yang di lewati, tanpa sengaja Ellis melihat sosok Leary yang duduk di bawah pohon tengah menelungkup, di sisinya ada Ferez yang duduk berselonjoran. “Berhenti di sini, menepi dulu!” teriak Ellis pada sang sopir. Sang sopir segera menepikan mobilnya mengikuti perintah Ellis. Kaca jendela menurun, Ellis semakin jelas melihat Leary dan Ferez. Mereka terlihat terlibat percakapan yang akrab, Ferez yang dingin dan minim ekspresi terlihat lebih hangat. Cemberutan kesal terlihat di bibir Ellis, gadis kecil itu mengepalkan tangannya terlihat kesal. Beberapa hari setelah kompetisi berakhir, Ellis masih
“Kau mau ke mana?” tanya Ellis. Leary menelan salivanya perlahan, anak itu tertunduk memeluk bukunya dengan kuat. “Saya akan ke dalam untuk mengembalikan buku,” jawab Leary. “Tunggu saja, kau boleh masuk setelah aku selesai di dalam.” Leary mengangguk patuh. Ellis masuk ke dalam perpustakaan sendirian, kini menyisakan Megi dengan Leary yang berdiri menunggu saling berhadapan. Leary sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya karena tahu Megi terus menatapnya dengan tajam penuh kebencian dan peringatan. Lama Leary menunggu, akhirnya anak itu berbalik hendak pergi. “Anda mau ke mana?” tanya Megi dengan dingin dan mengintimidasi. Leary berbalik dan masih tertunduk. “Saya akan kembali, sepertinya nona Ellis lama berada di dalam,” jawab Leary dengan suara bergetar. “Memangnya siapa yang mengizinkan Anda pergi?” Tanya Megi lagi dengan penuh tekanan. Tubuh Leary menegang, wajahnya terangkat perlahan melihat tatapan sinis Megi yang kini bersedekap di hadapannya. “Anda tidak dengar