Bayangan teriakan bibi Willis terlihat samar terlihat, bayangan Olivia yang meninggal dan di kubur, bayangan bibi Willis yang pergi dari rumah keluarga McCwin, bayangan Petri yang menampar dan memaki bergerak berputar-putar membentuk sebuah gelombang hebat yang menakutkan. Leary terbangun dari tidurnya dan mimpi buruknya yang paling dia takuti. Peluh keringat dingin membasahi wajah Leary, anak itu melihat ke sekitar dengan napas memburu. Dalam kesunyian dan rasa sepinya Leary sempat menangis lagi hingga harus pergi membuka kopernya dan memeluk baju ibunya, mencari-cari aroma tubuhnya agar bisa kembali tenang. Jam di atas laci sudah menunjukan pukul sebelas malam, Leary masih terjaga. Leary mengurung diri di kamar usai Burka memberinya obat dan menanganinya dengan sangat baik yang membuat Leary tidak merasa sakit lagi. Kini, anak itu duduk di sisi jendela melihat indahanya sungai Thames yang kini samar dia lihat keberadaannya. Rasanya akan sangat membahagiakan bila Leary kembali bis
Akan sangat mudah untuk Ferez mematahkan tangan Leary, atau menggores wajah cantiknya dengan beberapa sayatan. Bayangan-bayangan dan rencana buruk muncul mengganggu pikiran Ferez untuk melakukan sesuatu yang kejam pada Leary hanya karena di dasari rasa penasaran dengan reaksi Petri. Tubuh Ferez menengan, anak itu sedikit tersentak kaget dengan pikirannya sendiri yang liar dan tidak semestinya. Dengan cepat Ferez mengenyahkan pikiran buruknya, ini bukan saat yang tepat untuk dia mencari masalah karena Ferez baru pindah sekolah, selain itu Ferez merasa harga dirinya akan terluka jika dia melukai seorang anak perempuan. Lama mereka berdiri di sisi sungai, waktu sudah bergerak sedikit lebih jauh mendekati tengah malam. Jarum jam di menara sudah mendekati tepat jam dua belas malam. Kaki Leary mulai merasa pegal, namun malas rasanya untuk dia kembali. Jika pulang, Leary benar-benar merasa sangat kesepian karena harus segera tidur. Setiap hari Leary merasa bosan karena dia hanya di tema
“A-ap apa?” Ferez terbata. “Apa sekarang kita berteman? Kau orang ketiga setelah Burka dan Jimmy yang sangat baik kepadaku,” cerita Leary dengan senyuman lebarnya, matanya yang berwarna hijau itu berkilauan. “Aku sangat senang jika kita kita berteman, tapi jika kau tidak mau aku tidak apa-apa.” Hembusan angin yang kencang menggerakan tudung jaket yang Leary gunakan, tudung itu kembali jatuh ke belakang, membuat helaian rambut berwarna perak anak itu kembali terlihat dan melambai indah di udara, terlihat berkilau dan lembut saat mengusap sisi wajah mungil Leary. Rambut Leary sangat kontras dengan bulu matanya yang hitam lentik ditambah dengan sepasang bola mata yang berwarna hijau seperti batu permata peridot. Ferez menelan salivanya dengan kesulitan, rasa hangat tiba-tiba menyentuh pipinya saat memperhatikan bibir mungil Leary yang terbuka menunggu jawaban Ferez. Ferez ingin melihat sebuah senyuman dari bibir Leary untuk menutup malamnya. Jika Ferez menjawab ‘ya’ Akankah Leary a
Sikap Petri yang tidak terlalu fokus membuat Ellis mau tidak mau ikut memperhatikannya juga, Ellis bisa memahami kemana pikiran kakaknya sekarang. “Apa sekarang Kakak sudah peduli dengan Leary dan melupakan aku?” Tanya Ellis dengan suara samar. Dengan cepat Petri melihat adiknya, pertanyaan Ellis yang seperti tuduhan membuat Petri merasa sedikit tidak senang. “Kau jangan berbicara seperti itu, hanya karena aku memintamu kembali makan di rumah, dengan cepatnya kau berasumsi seperti itu,” jawab Petri tidak suka. “Lalu kenapa?” Petri membuang napasnya dengan kasar, Petri terlihat gusar karena sedikit-sedikit Ellis menuntut darinya. Petri tidak suka Ellis terlalu ikut campur dengannya hanya sekadar ingin tahu tapi tidak pernah peduli. “Ellis, bisakah kita makan saja dan segera berangkat sekolah, kenapa hanya karena sarapan pagi saja, ini semua menjadi masalah? Anak itu tidak ada di sini sekarang, apalagi yang menjadi masalahmu?” Ellis mendengus kesal, anak itu segera melompat turun
Leary kembali keluar dari rumah selagi semua orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara Petri dan Ellis pergi ke sekolah. Tujuan Leary masih ke tempat sama, yaitu taman yang ramai karena di sana dia bisa bertemu banyak orang dan anak-anak seusianya. Leary dapat melihat orang-orang menghabiskan waktu dengan bersantai di atas rerumputan beralaskan karpet, bermain dengan keluarga dan hewan peliharaan mereka. Leary merasa senang meski hanya duduk memperhatikan dari kajauhan. Di antara keramaian yang ada, Leary tidak berhenti mengedarkan pandangannya mencari Chaning yang dua hari lalu dia temui. Anak itu ingin kembali bertemu dengan Chaning karena ingin menanyakan sesuatu. Setelah puas melihat keramaian taman, Leary memutuskan mencari Chaning. Cukup lama Leary mencari hingga harus berjalan sedikit jauh dari taman, akhirnya dia menemukan Chaning yang keluar dari sebuah sebuah kantor media cetak. Chaning keluar berjalan bersama Romero yang dan beberapa orang lainnya yang mengikutiny
“Kenapa kau mengikutiku terus? Pergilah dan berhenti bertanya!” usir Chaning mulai jengkel. Raut di wajah Leary berubah, anak itu langsung tertunduk sedih mendengarnya. “Maafkan saya,” lirihnya terdengar menyedihkan. Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Chaning, keberadaan Leary yang bersikap lembut dan polos berhasil membuat pria itu gusar dan tidak nyaman. Reaksi takut dan sedih Leary karena ucapannya membuat Chaning merasa seperti penjahat yang biadab karena berurusan dengan orang yang tidak salah. Ketegangan di bahu Chaning sedikit menurun, begitu pula dengan ekspresi di wajahnya. “Apa maumu sebenarnya Nak?” Tanya Chaning melunak dan menurunkan sisi egois didalam dirinya. Jika dia memenuhi keinginan anak itu, maka anak itu tidak akan lagi menggangunya. Perlahan Leary mengangkat wajahnya lagi, dengan napas tersenggal, Leary pun bertanya, “Paman, apa uang ini cukup untuk bisa masuk sekolah?” tanya Leary penuh semangat. Chaning terdiam seribu bahasa, seluruh tubuh
“Besok aku harus datang tidak?” “Tidak usah,” jawab Ferez tanpa pertimbangan. “Memangnya kau tidak ikut berpatisipasi? Setidaknya lakukanlah satu bidang olahraga agar terlihat seperti anak-anak lainnya,” usul Chaning dengan serius. “Aku tidak akan melakukan apapun jika Ayah memintaku mengalah, untuk apa bersenang-senang dalam berkompetisi jika aku kalah.” Chaning mendengus geli mendengarnya, Ferez selalu memiliki tekad yang kuat setiap kali berhadapan dengan tantangan selama tantangan itu dia anggap cukup sebanding dengan kemampuannya. Tapi, ketika Ferez diam dan tidak tertarik, itu artinya Ferez menganggap lawannya terlalu lemah dan tidak sebanding dengannya. “Aku tidak memintamu untuk mengalah, namun jangan terlalu mencolok karena hal itu akan menarik banyak perhatian.” “Baiklah, besok aku sedikit bermain-main. “ Ferez mengusap bibirnya dengan sapu tangan, anak itu segera beranjak. “Ayah tidak perlu datang, tidak ada yang menarik sedikitpun,” lanjutnya lagi memberitahu. “Kau
Ferez menarik ujung lengan coat yang kenakannya untuk melihat arah jarum jam yang terpasang di tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Sudah lebih dari sepuluh menit Ferez berdiri di samping sungai Thames, anak itu menunggu kedatangan Leary yang tidak dia ketahui apakah malam ini Leary akan keluar rumah atau tidak. Suasana malam ini masih ramai membuat Ferez sedikit meneliti ke sekitar dan berjalan-jalan mencari Leary. Sebuah keberuntungan datang pada Ferez karena dengan cepatnya dia melihat keberadaan anak kecil itu yang kini tengah duduk sendirian di depan sebuah toko Koran, memperhatikan para pekerja yang hilir mudik keluar masuk untuk mengambil Koran baru yang akan segera mereka edarkan di seluruh London. Ferez menyebrangi jalan, semakin dekat dia melihat Leary semakin jelas Ferez melihat anak itu tengah merenung. “Kau sedang apa?” tanya Ferez. Leary tersentak kaget, perlahan kepalanya terangkat dan melihat Ferez yang kini berdiri di hadapannya. Leary segera b