Mas Danung meraih tangan Nur.
"Nur, ayok pulang!" ajak mas Danung datar, matanya melirik sinis ke pria yang ada di depan Nur.
Nur hanya terdiam tak bersuara, sempat beradu pandang dengan Gewa beberapa detik lalu menaiki motor yang dikendarai mas Danung.
Dari raut wajah mas Danung sepertinya dia agak kesal. Nur berpikir apakah mas Danung sedang marah padanya? Sempat terdiam cukup lama pada saat perjalanan, sampai akhirnya mas Danung tak tahan ingin segera mengeluarkan unek - unek pertanyaan yang terjebak di kepala."Itu teman kamu yang kemarin datang ke nikahan kita kan? tanya mas Danung,seolah menginterogasi.
"Iya mas, namanya Gewa. Tadi nggak sengaja dia lewat terus nawarin bantuan buat nganterin aku. Tapi, aku nggak mau kok mas." Nur menjelaskan pada suaminya panjang lebar.
Mendengar jawaban dari Nur tak membuat mas Danung bersuara,tapi raut wajahnya seperti menyimpan kecurigaan yang bercampur dengan rasa cemburunya. Jelas saja di
"Mas, Nur kepingin tinggal dirumah ibu bapak "Perkataan Nur barusan membuat mas Danung menatapnya kebingungan."Maksudnya aku dan mas Danung tinggal disana, aku pengen tidur dikamarku lagi mas" terang Nur pada suaminya."Memangnya kalo tinggal disini kenapa? Lagian jarak rumah ini sama rumah bapak ibu kan nggak jauh. Kalo kamu kangen bisa pulang kesana sebentar." mas Danung menggeleng - gelengkan kepalanya."Ya bukannya gitu sih mas, Nur kepengen aja gitu tinggal bareng sama bapak ibuk lagi. Boleh ya mas?Kita tinggal disana aja ya!" tetap mencoba membujuk suaminya agar mendapat ijin."Iya, mas ngomong dulu sama ummi dan abi. Tapi mas punya 1 syarat.""Apa mas?" tanya Nur penasaran."Seminggu setelah kita tinggal dirumah ibu bapak kamu harus sudah siap menjalankan kewajiban kamu sebagai istri" jawab mas Danung membuat Nur menjadi ragu, dan langsung terdiam tak menjawab."Gimana Nur?" Imbuh mas Danung.Setelah beberap
"Siapa yang mengirimkan pesan malam - malam begini?" gerutunya dalam hati.Tak di sangka dia mendapat pesan dari mantan kekasihnya.Gewa: Hi Nur! Bagaimana kabar kamu?Raut wajah Nur berubah menjadi sedih. Dia sangat merindukan pria itu, tapi apa boleh buat? Cincin yang melingkar di jari manisnya itu menjadi benteng besar antara dia dan Gewa. Jarinya gemetar mengetik huruf demi huruf untuk membalas pesan dari Gewa.Nur :Baik. Ada perlu apa? ngechat. malam - malam begini?Gewa: Maaf Nur, pasti sekarang kamu lagi sama suami kamu ya? Aku jadi nggak enak ganggu moment &nb
Suasana alun - alun yang tadinya hangat seolah - olah membeku seketika setelah kedatangan Gewa."Hai mas! ketemu lagi kita." Gewa tersenyum, memberi sapaan pada mas Danung. Berusaha mencairkan suasana."Hai! Gewa kan? kesini sama siapa?" tanya mas Danung berbasa - basi. Dengan intonasi yang sedikit kaku."Aku sama temen - temenku, mereka sudah pada balik duluan. Sebenernya aku juga mau pulang tadi, eh nggak sengaja lihat kalian disini." terang Gewa.Mata Gewa tertuju pada mantan kekasihnya yang sedari tadi fokus menatap dirinya, sendu."Kapan balik ke perantauan?" tanya Nur dengan suara pelan."Aku udah nggak kerja di sana lagi Nur. Udah lumayan lama sejak hari itu. hehe.. Lagi cari kerjaan di deket - deket sini" sedikit tertawa untuk menyembunyikan kesedihannya.Mendengar jawaban Gewa membuat mas Danung bingung. 'Sejak hari itu?' apa yang dimaksud Gewa? Mas Danung tidak mengerti karena dia memang tidak tahu apa - apa.Mengetah
Tak tahan dengan pertanyaan - pertanyaan yang menggumpal di dalam kepalanya, membuat mas Danung mengumpulkan keyakinan untuk menanyakan langsung pada Nur."Nur, mas mau nanya sesuatu." kata mas Danung."Silahkan mas. Mau tanya apa?" tanya gadis itu dengan suara yang pelan."Kamu sudah berapa lama kenal sama Gewa?"Pertanyaan mas Danung membuatnya tersedak air liurnya sendiri."Minum dulu, Nur!"Mas Danung sigap, menyodorkan gelas yang berisi air putih untuk meredakan batuk istrinya."Nur dan Gewa... su..sudah lumayan lama saling... mengenal, mas." Jawab Nur tergagap."Kenapa ya mas?" tanya Nur."Gak apa - apa kok Nur. Mas cuma pengen tau aja. Ngomong - ngomong belakangan ini sepertinya kamu sering ketemu dengan Gewa ya? Ah, bukan, maksudnya kita." Mas Danung mencoba menginterogasi istrinya yang sedang gugup itu."Ah, benar juga ya mas?. Itu cuma kebetulan aja mas."Nur mencoba menyembunyikan kekhawa
Tampaknya Nur sedang tergesa - gesa bersiap untuk bekerja.Mas Danung hanya geleng - geleng kepala melihat Nur yang selalu terburu - buru setiap ingin berangkat kerja.Meja make up tampak berantakan karena ulah gadis itu. Nur segera berpamitan pada mas Danung, lalu bergegas untuk berangkat kerja.Kebiasaan buruknya adalah kesiangan. Untung saja ia sampai di tempat kerjanya tepat waktu.Ia bergegas memarkirkan sepeda motornya, lalu segera memasuki toko buku itu.Setelah Nur menyimpan tasnya di loker karyawan,Ia lalu menghampiri Diana yang sedang merapikan buku - buku yang berantakan di etalase toko tersebut.Diana sudah tak heran ketika melihat sahabatnya yang ngos - ngosan seperti habis di kejar anjing."Hemm kesiangan lagi kan?" tanya Diana ketus."Iiihhh gitu amat sih Di? Biasalah Di." jawab Nur manyun."By the way kamu udah bener - bener sehat Nur?"tanya diana lagi, memberi perhatian kecil kepa
Hening suasana menyelimuti ruang keluarga yang sedang di singgahi oleh ketiga orang yang ekspresi wajahnya terlihat begitu serius. Tampaknya mas Danung sedang mengadu tentang masalah yang di alaminya semalam kepada Ummi dan Abinya, untuk meminta solusi yang terbaik dari mereka. Pak Kyai dan bu Yai pun sempat terdiam setelah mas Danung mengungkapkan hal apa yang menimpanya semalam, yaitu masalah saat berhubungan dengan istrinya, Nur. Dengan membaca basmalah, dengan pikiran dan hati yang tenang, pak Kyai pun memberikan solusi pada mas Danung. Lalu bu Yai meracikkan ramuan berbahan dasar telur bebek yang di perintahkan oleh pak Kyai, yang di percaya bisa menguatkan dan membuat tahan lama.Saat malam tiba mas Danung pun meminum ramuan yang di buatkan bu Yai untuknya. Ia berharap ramuan itu mujarab untuk mengatasi masalahnya. Nur yang baru saja melangkahkan kaki ke kamar pun terheran dengan setengah gelas sisa ramuan yang belum habis di minum suaminya."Apa itu mas?"
Mas Danung tergesa - gesa melangkahkan kakinya, mendekat ke arah bapak yang sedang menikmati secangkir kopi sembari menonton Tv, dan di temani oleh ibu. Wajah mas Danung memerah, alisnya berdempetan, dan keningnya mengerut tegang. "Pak,Bu!" panggil mas Danung datar, berusaha menahan amarahnya. Kedua orang tua Nur menoleh ke sumber suara. "Iya, nak?" sahut bapak. "Loh, tumben jam segini belum ke bengkel nak?" tanya ibu. "Hari ini bengkelnya libur, Danung lagi sakit kepala bu." terangnya. "Sudah minum obat nak?" tanya ibu lagi. Tak mendapat jawaban dari sang menantu, mas Danung hanya menatap bapak dan ibu secara bergantian, membuat ibu dan bapak bingung. "Pak, Bu, Danung mau tanya sesuatu." kata mas Danung. "Silahkan, nak, mau tanya apa?" bapak penasaran, begitu juga dengan ibu. "apakah Bapak dan Ibu ini mengenal pria yang bernama Gewa?" Mendengar pertanyaan mas Danung, membuat Bapak da
Suasana di rumah begitu tegang dan penuh amarah. Nur di pojokkan oleh kedua orang tuanya beserta suaminya. Nur sampai tak sanggup membendung isak tangis yang telah pecah sedari tadi, membuat matanya bengkak. "Mulai besok kamu tidak usah berangkat kerja! Mas melarangmu bekerja!" Kata - kata mas Danung berhasil membuat gadis yang sedang sesenggukan itu tersentak kaget. "Apa mas?" lirih suara Nur, kepalanya mendongak, sepasang bola matanya menyorot tajam wajah suaminya. "Ini hari terakhir kamu kerja, karena besok kamu sudah tidak aku perbolehkan untuk bekerja!" terang mas Danung. "Tap.. tapi mas...." "Sudah, tidak usah membantah perintah suamimu!" bunyi bentakan bapak yang tiba - tiba memotong kalimat Nur. Nur terdiam, kembali menundukkan kepalanya.Ia lalu melangkahkan kakinya memasuki kamar tidurnya, meninggalkan Ibu, Bapak, dan juga mas Danung yang masih terduduk di depan tv, dengan raut wajah yang masih tampak marah.
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun."Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua."Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Tubuh Nur gemetaran. Keringat dingin pun membasahi pipinya. Ia memberanikan diri mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya. Belum sempat ia menggoreskan benda tajam itu ke tubuhnya sendiri, tiba - tiba seseorang menampik tangan kanan Nur.Seketika Nur shock.Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Nur dan tampak membelalakkan mata itu adalah Ibu Nur.Ternyata sedari tadi Nur tak menyadari bahwa pintu kamarnya lupa tak ia tutup. Ibu yang tadinya berniat akan ke teras rumah pun harus berjalan melewati kamar Nur terlebih dahulu dan Ibu tak sengaja melihat anaknya akan melakukan hal bodoh itu.Syukurlah Ibu masih sempat mengetahuinya sebelum Nur benar - benar melakukannya.Ibu mengambil pisau yang terjatuh di atas lantai lalu melemparnya ke luar pintu kamar.Bunyi lemparan yang cukup keras pun membuat Nur kaget."Apa kamu sudah tidak waras?" tanya ibu dengan nada tinggi.Nur tak menjawab, hanya terdengar suara sese
"Kamu harus nurut dengan mas! Mas ini suami kamu!" kata mas Danung dengan nada suara tinggi.Nur tak bisa mengontrol emosinya."Nur benci sama mas Danung. Nur nggak cinta sama mas! Nur nikah dengan mas Danung cuma karena terpaksa!" Kemarahan Nur meledak.Suasana kamar menjadi semakin tegang.Wajah mas Danung menjadi pilu seketika, ia menatap Nur yang sedang melotot ke arahnya. Dapat mas Danung rasakan bahwa istrinya nemang benar - benar membencinya, terlebih lagi sorot mata tajam yang di lontarkan oleh gadis itu kepadanya. Mas Danung berbalik arah, kakinya melangkah meninggalkan Nur yang masih memelototi dirinya.Beberapa detik setelah mas Danung pergi, Nur tersadar dan menyesali atas apa yang ia katakan barusan. Kata - kata yang telah dia ucapkan sungguh berlebihan.Nur terduduk lemas di ranjangnya, sembari menangis.Tiada hari tanpa menangis.Mungkin saja hal buruk akan terjadi setelah ini. Nur sangat khawatir dan takut.
Setelah beberapa hari kesehatan Nur semakin membaik. Suhu badannya juga sudah normal. Walaupun kesehatannya membaik tapi suasana hatinya masih buruk. Ia masih sakit hati dengan suaminya, bahkan ia masih kecewa pada kedua orang tuanya yang lebih membela mas Danung.Hari sudah sore, Nur berniat untuk berkunjung ke rumah Diana. Mungkin menemui sahabatnya akan sedikit mengobati rasa sedih dan juga rasa bosannya.Nur mencari - cari kunci sepeda motornya, tapi ia tidak menemukan. Padahal Nur selalu menyimpan kunci sepeda motor di meja rias di dalam kamarnya. Nur kebingungan, ia juga tidak bisa meminta antar adik - adiknya, sebab keduanya sedang keluar rumah juga."Buk...!" teriak Nur memanggil ibunya.Tak mendapat sahutan dari Ibunya, Nur bergegas mencari Ibunya."Di mana sih Ibuk? padahal biasanya jam segini lagi nonton tv." gumam Nur seorang diri."Ibuukkk!" panggil gadis itu lagi."Ada apa Nur?" sahut ibu, suaranya terdengar berasal
Kokokan ayam jago lantang menggema memekik telinga. Membangunkan para manusia dari tidurnya, sekaligus pertanda bahwa pagi telah tiba. Nur sudah bangun sedari tadi. Dirinya memang tak bisa tidur nyenyak. Kerap terbangun karena tubuhnya terasa sakit, tulang - tulangnya pun terasa ngilu. Wajar saja, selama ini dia sering kali menahan rasa capek di tubuhnya. Sepulang kerja hanya ia gunakan untuk rebahan, Nur pun tak pernah pijat atau minum jamu saat sedang pegal.Nur hanya diam, tatapannya nampak nanar ke arah langit - langit atap rumah. Sampai tak sadar saat ranjangnya bergerak karena orang di sampingnya sedang menggeliat, baru saja tersadar dari tidurnya."Kamu sudah bangun Nur? Gimana kondisi badan kamu? Apa sudah terasa lebih baik?" tanya mas Danung, sembari menatap wajah isterinya.Tak ada jawaban dari Nur, matanya masih tertuju pada langit atap rumah.Bukannya Nur tidak dengar, tapi ia merasa malas berbicara pada pria itu.Mas Danung mengambil ponse