Ojek berhenti di warung Bu Inem. Aku melihat warung Bu Inem mulai ramai. Mungkin karena ini jam makan siang.“Assalamualaikum” ucapku saat masuk ke dalam warung.“Waalaikum salamsudah selesai urusannya, Anggita?” tanya Bu Inem.“Sudah, Bu. Tapi aku bingung bagaimana menjualnya,” ujarku lagi.“Sstt! Kita bahas itu nanti di rumah, sekarang bantuin Ibu dulu. Zea tidur kan? Letakkan saja di kamar belakang!” suruh Bu Inem. Aku pun segera melaksanakan perintah seorang Ibu yang berhati malaikat itu.Aku membantu melayani pembeli juga membuatkan minuman untuk mereka. Setelah kuamati, memang benar apa yang Bu Inem katakan. Banyak di antara mereka yang membayar dengan uang seadanya, bahkan ada seorang kakek tua yang Bu Inem beri uang dan makanan. Sepertinya kakek itu seorang pemulung. Kakek itu menangis bahagia setelah diberi makanan dan uang yang menurutku tidak begitu banyak. Hanya beberapa lembar uang merah.“Terima kasih banyak, Bu. Semoga Tuhan menggantinya dengan rezeki yang berlimpah d
Ponselku masih terus bergetar. Aku membiarkannya. Aku pun lantas memblokir nomor Arya tersebut, agar ia tak dapat menghubungiku kembali.Aku sudah memutuskan, lebih baik aku kembali ke Jakarta. Daripada aku di sini sendirian, tak enak juga merepotkan Bu Inem.🍀🍀🍀🍀🍀Keesokan harinya aku menjual beberapa perhiasan yang aku ambil untuk membeli tiket pesawat kembali ke Jakarta. Aku pun segera mengutarakan maksudku kepada Bu Inem yang tengah memasak.“Bu, sepertinya aku lebih baik kembali ke Jakarta. Berkumpul dengan kedua orang tuaku. Aku ingin bertanya mengenai kecelakaan itu kepada Ayah dan memintanya untuk meminta maaf,” ujarku saat mengupas bawang.“Kecelakaan? Apa maksudnya Anggita?” tanya Bu Inem.“Kemarin saat di rumah Arya aku menemukan foto-foto tentang kecelakaan orang tua Arya, dan pelakunya adalah ayahku, Bu. Mungkin itu yang menyebabkan Arya dendam dan melampiaskannya kepadaku,” jawabku sambil terisak.Bu Inem mengelus pundakku dan memintaku untuk duduk berhadapan dengan
“Sebentar,” ucap Ayah dari dalam rumah.“Selamat malam, Pak. Benar ini rumah Ibu Anggita?” tanya seorang laki-laki.Aku hanya mendengarkan dari balik tembok ruang tengah, hanya berani mengintip, tak berani ikut menemui orang itu.“Iya, benar. Bapak-bapak ini siapa?” tanya Ayah. “Kami dari kepolisian, apa Ibu Anggita ada?” Deg!Jantungku serasa mau copot mendengar perkataan orang itu, dari kepolisian? Apa mereka tak salah? Apa jangan-jangan Arya yang melaporkanku? Tapi bagaimana dia bisa tahu? Saat itu sepi tak ada orang.Aku sangat ketakutan. Harus bagaimana ini? Mau kabur pun percuma, Ayah sudah bilang kalau aku ada di sini. Aku menggigit jariku, berjalan pelan menuju kamar.Aku memeluk Zea erat, perasaanku mengatakan kalau sebentar lagi aku akan berpisah dengan Zea. Aku menangis, menyesali perbuatan gegabahku kemarin. Kalau saja aku tidak mengambil sertifikat rumah milik Arya, Seandainya ... seandainya ... semua itu hanya seandainya saja.Pintu kamarku terbuka, aku tak menggubris si
Pak Joko dan Bu Joko masih meratapi anaknya yang masuk bui. Mereka sangat terpukul, anak semata wayang yang sangat ia cintai harus merasakan dinginnya lantai penjara.“Ibu tidak terima, Yah! Anggita meringkuk di penjara sementara Arya bebas begitu saja, padahal selama ini Anggita tersiksa di sana. Huhuhu” Bu Joko masih menangis.Pak Joko mengusap bahu istrinya, mencoba menguatkan.“Kita ke rumah Arya saja, Bu. Ayah mau minta maaf sama Arya, siapa tau Anggita bisa bebas.” “Arya kan di Medan, Yah? Gimana kita ke sana kalau rumahnya saja Ibu tidak tahu!” ucap Bu Joko. “Kemarin kan dia ada di sini? Kita ke kantor Arya saja, Ayah yakin ia ada di sana!”Pak Joko dan istrinya mulai bersiap. Tak lupa mereka mengajak Zea bersama mereka. Selama perjalanan kedua suami istri itu hanya terdiam, larut dalam pikiran mereka masing-masing.Mereka segera masuk ke kantor Arya, untunglah begitu masuk, mereka melihat Arya sedang berbicara dengan seseorang di sofa tamu. Pak Joko duduk di kursi tak jauh da
Anggita mengetuk pintu rumahnya, sengaja ingin memberi kejutan kepada orang tuanya. Pintu dibuka, tampaklah wajah Ibunya yang tak percaya dengan apa yang dilihat di hadapannya ini.“Yah ... Ayah ” Bu Joko berteriak memanggil suaminya.“Ada apa sih, Bu. Zea baru mau tidur ini Anggita!” Ayahnya langsung berteriak melihat anakgadisnya berdiri di depannya.Mereka menangis karena bahagia. Bu Joko mengajak Anggita duduk.“Ibu ambilkan makan ya, kamu duduk sini dulu!” perintah Ibunya. Anggita pun menurut. Dia duduksambil menonton berita di TV.“Ditemukan sebuah mobil kecelakaan tunggal hingga terjatuh ke jurang. Korban adalah seorang laki- laki berusia 32 tahun. Beruntung kecelakaan itu tak merenggut nyawanya. Berikut adalah video saat korban dievakuasi oleh petugas.”Anita kaget, dia sangat mengenali plat mobil itu. Itu adalah Arya. Dia segera memanggil Ibunya.“Bu, Arya kecelakaan?!” ungkap Anggita kepada Ibunya.“Ibu sudah tahu, dari tadi berita itu terus disiarkan. Ibu tak mau menjenguk
Aku sengaja memblokir semua nomor Arya. Sudah tidak mau tahu lagi apa yang akan terjadi pada lelaki itu, pun dengan kedua orang tuanya. Ibu dan Ayahku juga memblokir kontak Arya.“Makan dulu, Yuk! Ibu sudah memasak kesukaanmu!” Ajak Ibu. Aku pun menurunkan Zea dari pangkuanku dan meletakkannya di ranjang. Tak lupa kiri kanan kupasangi bantal agar ia tak jatuh dari ranjang saat belajar tengkurap.“Kamu tambah kurus, Nak. Dulu Arya tidak memberimu makan dengan layak ya!” Ibu menatapdiriku. Aku hanya tersenyum.“Yang lalu biarlah berlalu, Bu. Yang penting Anggita dan Zea ada bersama kita,” kata Ayah.Ibu pun tersenyum mengiyakan.“Bu Joko! Keluar kamu!”Terdengar suara orang berteriak dari luar rumah. Kami bertiga segera menghentikan makan siang kami dan melihat siapa yang berteriak.“Cepat kembalikan uangku! Kalau tidak bisa kamu harus pergi dari rumah ini karena aku sedang butuh uang!” ucap Bu Susi. Rentenir di kampung ini.“Ibu pinjam uang sama Bu Susi?” tanyaku tak percaya kepada Ib
“Mas” Aku menyadarkan Mas Dani dengan menyentuh pundaknya.Mas Dani menoleh, sambil terisak ia berkata. “Rara menikahbaru saja aku mau minta maaf tulusdan memintanya memperbaiki hubungan, sekarang dia telah menikahi teman masa kecilnya. Dia jahat ya! Rara jahat!”Bukannya tenang Mas Dani malah berlari menuju sepasang pengantin baru itu. Tapi belum sampai di tempat duduk Rara, Mas Dani tiba-tiba tergeletak pingsan.“Mas Dani!” aku berteriak saking kagetnya. Beberapa orang satpam mengangkat Mas Dani dan membaringkannya di kursi dekat pintu belakang. Seorang wanita paruh baya memberikan minyak kayu putih untuk menyadarkannya, sepertinya ART di sini. Aku jadi merasa dejavu, sama saat Ibuku pingsan saat pernikahanku dengan Mas Dani dulu.“Tolong! Adakah yang bisa mengantarkanku ke rumah sakit? Mas Dani belum sadar juga!” aku panikmelihat Mas Dani seperti ini.“Pakai mobilku saja!” teriak si Pengantin pria. “Aku ikut!” Rara pun ikut bersuara.Tanpa sempat berganti baju, mereka segera me
Dani masih terbaring di rumah sakit. Bu Intan tak berhenti menangis melihat Dani menderita penyakit yang ditakuti banyak orang itu. Ia sendirian. Tak ada saudara ataupun tetangga yang datang menjenguk.Mungkin karena sikapnya sendiri yang sering menyakiti hati tetangga dengan ucapannya. Kini, saat ia membutuhkan bantuan moril, tak ada satupun tetangga yang memberinya semangat.Bahkan lewat pesan singkat pun tidak. Padahal ia sudah mengirim kondisi Dani ke grup arisan Ibu-Ibu di kampung tersebut. Tetapi tak ada yang berkomentar, hanya beberapa orang yang memberikan emot sedih.Bu Intan sudah bilang pada dokter bahwa ia akan membawa Dani pulang, meskipun menurut Dokter, Dani harus dirawat lebih lama, tapi karena tak ada biaya, maka Bu Intan sedikit memaksa dokter itu agar mengizinkan Dani pulang.Bu Intan pun menatap tagihan rumah sakit. Biayanya hampir tiga juta rupiah. Dulu uang segitu adalah uang sekali arisannya. Namun sekarang, uang itu terasa begitu besar.Bahkan menjual perhiasan