Karena tak diterima di rumah Rara, kami berjalan kaki entah kemana. Tak memiliki tujuan. Otakku seakan buntu untuk berpikir.“Kita harus kemana lagi, Dan? Ibu Anggita mengusir kita, Ibunya Rara tak mengizinkan kita tinggal.” Ibuku mulai menangis. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mencoba mengatasi sesak dalam dadaku. Aku akui ini memang salahku, aku yang bermain api, aku pula yang terbakar. Kalau boleh berkata, ini tak lepas dari peran Ibu yang selalu menuntut ingin punya cucu, hingga aku bermain cinta dengan Anggita. Sekarang semua sudah habis terbakar permainanku sendiri. Aku dipecat, Anggita dipecat. Entah bagaimana nasib pernikahanku kelak dengan Anggita. Sekarang saja baru beberapa hari menikah sudah begitu banyak masalah yang datang.“Kita ke rumah yang masih dibangun itu saja ya, Bu? Daripada kita tak punya tempat berteduh, uangku sudah menipis, tak cukup untuk mengontrak rumah,” jelasku pada Ibu.“Ya sudah, kamu cari taksi sana, Mbak sudah capek
Dan! Ibu tidak bisa tinggal di tempat seperti ini! Sama sekali tidak ada perabotan, tempat tidur juga tak ada, bahkan pintu pun belum terpasang! Kamu ini gimana sih?!” Omel Ibunya.“Gimana lagi, Bu? Ibu mau tinggal di bawah jembatan kayak Imron tadi? Iya? Harusnya Ibu bersyukur bisa punya tempat untuk berteduh!” Sentak Dani.“Tapi bukan seperti ini juga, Dan. Kalau tahu seperti ini lebih baik tinggal dengan besan sombong itu. Walaupun yang punya rumah menyebalkan tapi kita masih bisa tidur diatas kasur empuk!” ibunya berkata lirihDani yang tadinya kesal menjadi tak tega melihat Ibunya bersedih. Tapi dia kini sudah jadi miskin. Rasanya ingin menumpahkan air mata yang selama ini ia tahan. Sungguh sebenarnya ia tak kuat, ia pun merindukan keadaannya yang dulu. Sekarang, untuk makan enak pun dia harus berpikir. Roda kehidupan selalu berputar, tidak selamanya orang akan diatas, begitu pun sebaliknya. Hal inilah yang terjadi pada Dani dan keluarganya. Selama ini mereka hidup mewah dengan
PoV Rara “Kok kalian bisa seenaknya masuk ke sini? Siapa yang mengizinkan masuk?” aku benar-benar tak menyangka keluarga benalu itu datang. Rupanya inang mereka sudah hilang, makanya mereka mencari inang baru lagi untuk dihinggapi. Menyedihkan! “Orang sama satpamnya boleh kok! Dani kan masih suami kamu, Ra!” Mbak Nia yang menjawab. “Sebentar lagi akan jadi mantan suami, Mbak! Tinggal nunggu sidang putusan dan keluar akta cerainya.” Aku sudah lelah membahas ini. “Ya kan selama belum cerai kamu masih istrinya Dani, Ra!” Ibu yang kali ini bersuara. “Sudahlah, tak usah banyak basa basi. Apa maksud kalian datang ke kantorku?” kulihat Mas Dani meneguk ludahnya. Sepertinya dia kaget dengan ketegasanku, memang selama ini aku selalu menjaga nada bicaraku agar tidak bersuara tinggi kepada suami dan mertuaku. Namun sekarang sudah berbeda, mereka akan menjadi orang lain buatku, jadi tak ada kewajiban harus seperti apa bicaraku pada mereka. “Dek, aku ingin bekerja lagi, kamu tau sendiri k
“Benar, Anda siapa? Dan ada perlu apa?” tanya Dani penasaran.“Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Ucapannya tak lagi formal.“Maaf, tidak bisa aku harus menjual ponsel ini dan mencari rumah kontrakan untuk keluargaku.” Dani menolak ajakan orang itu, dia merasa tak aman, entah kenapa.“Aku yang akan membeli ponselmu, karena pembicaraan ini sangat penting untukku.” Arya tetap kuekeh mengajak Dani bicara. Ya, orang itu adalah Arya. Mantan kekasih Anggita.“Sepertinya memang sangat penting melihat kamu begitu memaksa, baiklah, kita bicara dimana?” tanya Dani kemudian.“Di Cafe itu saja.” Arya menunjuk sebuah Cafe tak jauh dari kantor Rara.“Oke. Tapi sebentar saja soalnya aku harus mencari—““Rumah kontrakan untuk Ibu dan kakakmu, aku tahu tak perlu bicara lagi. Ayo kesana.” Arya mulai tak sabar, dia berjalan dengan tempo cepat.Di Cafe, Dani dan Arya memilih meja yang berbeda dengan Ibu dan Kakaknya. Meskipun masih bisa melihat mereka, tapi tak akan
Bunyi pesan di ponsel Anggita, Dia hanya melirik sekilas, lagi-lagi baru. Walaupun tak ada namanya, tapi ia yakin kalau pengirim itu adalah Arya. Sebuah gambar dikirim Arya kepadanya. Foto Arya dan Dani terlihat sedang berada di sebuah kafe. ‘kenapa mereka bisa bertemu? Jangan-jangan Arya sudah memberi tahu tentang kandungan ini? Gawat! Apa yang harus aku lakukan sekarang!’ ucap Anggita dalam hati.Anggita mondar mandir di kamarnya. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya agar bisa mengelabui Dani dan tetap melanjutkan pernikahannya minimal sampai anaknya lahir dan memiliki akta kelahiran.“Kamu ngapain kayak setrikaan gitu?” Ibunya tiba-tiba ada dibelakangnya.Anggita tersentak, ia membalikkan tubuhnya menatap orang yang telah melahirkannya berdiri di depan pintu kamar.“Tidak apa-apa. Ibu ngapain ke kamarku?” Anggita mengalihkan pertanyaan sang Ibu.“Tadi ada pihak hotel ke sini, katanya Dani belum membawa sisa kurangan resepsi itu. Jadi mau tidak mau Ibu yang melunasinya, daripad
PoV AnggitaSepeninggal Mas Dani, aku dan Ibu masih membahas tentang kehamilanku ini.“Jadi cerita sebenarnya gimana sih? Kamu hamil sama siapa? Arya atau Dani?” Ibu bertanya seolah aku adalah tersangka.“Sebenarnya ini anak Arya, Bu. Saat dia tahu aku hamil, dia malah pergi. Sekarang setelah aku menikah dengan Mas Dani dia datang lagi dan mengajakku menikah, dia menginginkan anak ini, Bu.” Terangku. Ibu lalu mengangguk paham.“Arya kerja apa? Orangtuanya gimana?” tanya Ibu dengan antusias.“Sepertinya mereka punya usaha kuliner, Bu. Aku juga nggak tahu apa tepatnya, soalnya belum pernah diajak ke rumahnya. Tapi seingatku dulu Arya pernah cerita kalau usaha kuliner keluarganya sudah memiliki beberapa cabang.”Ibu sepertinya berspekulasi tentang seberapa kaya Arya ini, terlihat dari matanya yang berbinar.“Wah, lumayan kaya dong! Semisal aja ya, punya warung bakso dan memiliki beberapa cabang, uda puluhan juta itu sebulannya. Nggak papa deh, kamu nikah sama Arya aja. Ibu merestui.” Ib
"Ada apa to, kok teriak. Kayak di hutan aja.” Sahut Ibuku yang masih menyapu lantai. “Arya barusan telepon, Bu. Katanya dia mau menikah denganku! Sebentar lagi kita akan jadi orang kaya, Bu!” Aku dan Ibu bergandengan tangan dan melompat seperti anak kecil karena terlalu senang. “Jangan melompat, Nak. Kamu sedang hamil.” Suara Ayah menghentikan kegiatanku dan Ibu. “Jadi kapan dia mau datang, biar Ibu pesan makanan enak untuk menyambutnya. Eh, dia sendirian atau bersama orang tuanya?” Ibu sungguh tak sabar, melebihi aku yang akan menikah. “Belum tahu, Bu. Tapi mungkin sendirian dulu,” jawabku tak kalah semangat. “Anggita, inget! Kamu harus cerai dulu dengan Dani, baru bisa menikah. Wanita tidak boleh mempunyai dua suami.” Seketika aku cemberut. Tak perlu diingatkan pun aku sudah tahu kalau aku masih memiliki Mas Dani sebagai suamiku. Aku yakin Mas Dani juga akan senang kalau kita bercerai, dia pasti akan mengejar Rara lagi. Biarlah, toh aku juga akan menikah. “Iya, aku tahu, Ayah
“Eh, ada Bu besan. Gak salah belanja di sini? Nanti bisa beli baju tapi gak bisa makan. Kan kasihan!” Suara Ibuku terdengar nyaring. Duh, Ibu bikin malu aja!****Aku menduga akan terjadi perang dunia ketiga apabila mertuaku menjawab ucapan Ibu. Raut muka mertuaku sudah memerah. Aduh ... Sebentar lagi meledak itu.“Bukannya ke balik ya? Usaha suamimu kan hampir bangkrut, lebih baik kamu di rumah aja atau duitmu buat modal aja biar makin kaya.Hahaha ....” ucapan mertuaku membuat Ibuku tak mau kalah.Beberapa orang mulai mengerubungi perseteruan dua Ibu itu.“Masih mending akulah, punya rumah, punya usaha, nggak kayak kamu. Kesana kemari numpang, anak semua nggak ada yang kerja. Duitmu aja tuh ditabung buat beli beras.” Sindir Ibuku.“Totalnya enam belas juta lima ratus ribu rupiah, tapi karena Ibu punya poin banyak karena sering belanja di sini jadi ada potongan sebesar tiga juta rupiah. Sisanya jadi tiga belas juta lima ratus ribu rupiah.” Terdengar suara kasir membacakan harga yang
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah