“Eh, ada Bu besan. Gak salah belanja di sini? Nanti bisa beli baju tapi gak bisa makan. Kan kasihan!” Suara Ibuku terdengar nyaring. Duh, Ibu bikin malu aja!****Aku menduga akan terjadi perang dunia ketiga apabila mertuaku menjawab ucapan Ibu. Raut muka mertuaku sudah memerah. Aduh ... Sebentar lagi meledak itu.“Bukannya ke balik ya? Usaha suamimu kan hampir bangkrut, lebih baik kamu di rumah aja atau duitmu buat modal aja biar makin kaya.Hahaha ....” ucapan mertuaku membuat Ibuku tak mau kalah.Beberapa orang mulai mengerubungi perseteruan dua Ibu itu.“Masih mending akulah, punya rumah, punya usaha, nggak kayak kamu. Kesana kemari numpang, anak semua nggak ada yang kerja. Duitmu aja tuh ditabung buat beli beras.” Sindir Ibuku.“Totalnya enam belas juta lima ratus ribu rupiah, tapi karena Ibu punya poin banyak karena sering belanja di sini jadi ada potongan sebesar tiga juta rupiah. Sisanya jadi tiga belas juta lima ratus ribu rupiah.” Terdengar suara kasir membacakan harga yang
Dani tak menyangka pertemuannya dengan Rara akan membuatnya sesakit ini. Dibukanya kembali akta cerai yang diremasnya tadi. Dibaca berulang kali pun, tetap sama . Mereka telah resmi bercerai. Bulir bening menetes dari pelupuk matanya. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seandainya dikasih kesempatan kedua, Dani pasti akan menjaga hati Rara sepenuh hati. Memang, kita baru merasa membutuhkan setelah kehilangan.“Kamu kenapa, Dan?” tanya Bu Intan.Dani menyerahkan akta cerai itu kepada Ibunya. “Kalian sudah resmi cerai? Lalu kenapa kamu sedih?” Ibunya masih juga tak paham.“Bu, aku sekarang bukan siapa-siapa Rara, sekuat tenaga aku mengajaknya rujuk, tetap tidak mungkin bisa.” Lirih Dani.“Ya jelas nggak mau lah, wong kita aja sekarang kere. Coba kalau kamu sukses, pasti bisa mendapatkan hatinya kembali! Kamu pandangi kertas itu sampai lebaran monyet juga tak akan berubah. Lebih baik kamu yang berubah. Cari kerja dan jadi sukses lagi. Kamu itu ganteng, kalaupun tak ada Rara pasti
“Brengsek kenapa kamu menyakiti kakakku, hah? Kalau memang sudah bosan ceraikan saja dia, tak usah jadi pengecut seperti ini!” teriak Dani marah. Tentu saja dia tak terima kakaknya diperlakukan seperti ini.“Kenapa kamu marah, hah? Bukannya Kamu juga sama brengseknya denganku?! Mungkin kalau dulu Rara punya kakak, kamu akan mati di tangan kakaknya!” ucapan Ken membuat Dani terdiam. Seakan ucapan itu kena di relung hatinya. “Aaarrgg ... tetap saja aku tak terima Mbak Nia kamu buat seperti ini.” Sentak Dani yang sudah babak belur. Dia kembali menyerang Ken, tapi tentu saja dihalangi warga.Wati dan Nia pun sama, tampang mereka tak kalah memprihatinkan. Bekas cakaran dan tamparan ada di wajah mereka. Pak RT dan dua orang warga masih kebingungan untuk memisahkan mereka berempat. Akhirnya pertikaian dapat dihentikan setelah beberapa orang memegangi mereka.“Sudah! Jangan adu fisik lagi. Kalian yang ribut, aku yang capek!” Pak Basri terengah-engah.“Dani, Nia. Kalian kenapa?” Bu Intan d
Sepeninggal Sasa, aku kembali bekerja. Tumpukan berkas di berbagai map melambai-lambai untuk dibuka. Mengurus beberapa restoran membuatku benar-benar pusing. Aku jadi menyadari bagaimana Papa sering terlihat lelah sepulang kerja dulu, sementara aku hanya bisa menghabiskan uang Papa begitu saja. Sekarang setelah tiada, mau tak mau akulah yang harus meneruskan usaha ini. Adikku, Sinta lebih memilih mengikuti suaminya yang menjadi seorang ASN.Aku meregangkan badan, sejenak mengusir rasa penat di mata dan di kepalaku. Netraku memandang foto pernikahan kedua orang tuaku. Ya, ini memang ruangan Papa dulunya. Papa adalah orang yang setia, begitu mencintai Mama dan tak pernah sekalipun berniat mengkhianati Mama. Awalnya aku ingin seperti kedua orang tuaku, yang saling mencintai sampai maut memisahkan, tapi mengingat kedua orang tuaku meninggal karena menjadi korban tabrak lari oleh Ayah Anggita, rasa dendam mendadak lebih besar dibanding rasa ingin setia.Aku memang ingin menikah dengan An
Sialan! Arya menolakku dan Mbak Nia untuk bekerja di sana. Padahal jabatanku dulu kan manager, masa menawarkan kerjaan jadi cleaning servis? Bisa turun dong derajatku. Selama ini aku sudah memasukkan beberapa lamaran menjadi manager di beberapa perusahaan, tapi tetap saja tak ada balasan apa pun. Hanya membuang uang untuk membeli amplop dan fotokopi. Padahal aku ini tampan dan pintar, kenapa mereka tidak mau menerimaku?Selama ini aku bisa bertahan hidup dari uang pemberian Arya, Ibu tak mau membantu mencari uang, mbak Nia pun sama saja, hanya bisa menghabiskan uangku saja. Setengah mati aku membujuk Mbak Nia agar mau bekerja, kupikir- pikir karena kenal dengan Arya makanya dia akan menerimaku, tapi ternyata sama saja. Mbak Nia pun menolak menjadi cleaning servis. Apalagi sekarang, Mbak Nia sering lihat Bang Ken dan istri barunya semakin mesra. Kadang kakakku pun masih menatap pasangan itu sendu. Aku masih ke pikiran ucapan Arya tadi. Kapan dia bertemu dengan Rara? Dan bagaimana me
“Bu, bersikap lembutlah pada pembeli, masa Ibu ketus gitu, nanti mereka pada lari, gak jadi beli di warung kita,” ucapku pada Ibu yang masih asyik menonton TV “Siapa yang nggak kesel coba? Masa Cuma lima belas ribu dia berani melempar uang itu ke Ibu?!” “Ya, kan karena Ibu jualnya kemahalan! Kan udah aku tulis di situ harganya, Bu!” aku mulai kesal dengan Ibu. “Namanya jualan itu cari untung yang banyak, bukan cari rugi! Gitu aja kamu gak tahu, Dan!” “Serah Ibu aja lah!” ucapku ketus. “Ya memang terserah Ibu.” Ibu kembali mengambil camilan dan menonton sinetron kesukaannya. Tak kutanggapi lagi ocehan Ibu. Biarlah warungku nanti bakalan menjadi seperti apa. Semoga saja tidak menimbulkan masalah baru. Besok aku ada interviu kerja. Semoga diterima di sana. Apa kubilang? Aku memang pantas menjadi manager. Dari sekian banyak lamaran pekerjaan yang ku apply, hanya perusahaan ini yang memanggilku. Aku harus tampil sempurna untuk besok! Ponselku dari tadi diam saja tak bersuara. Padahal
“Siapa yang barusan dari ruanganmu, Tuan Putri? Sepertinya aku pernah melihatnya tapi dimana ya?” tanya Alex yang tiba-tiba ada di depanku.Aku yang sedang fokus kerja terlonjak kaget mendengar suara seseorang di depan mejaku.“Alex, kamu mengagetkanku!” sungutku dan melemparkan kertas kecil tak terpakai yang sudah kugulung-gulung.Dia hanya tertawa sambil memperlihatkan giginya yang putih bersih.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Ra!”“Dia Arya, barusan menawarkan kerja sama. Dia ingin usaha kulinernya dimodali oleh perusahaan ini, tapi aku masih pikir-pikir.”“Semacam franchise gitu, kan? “tanya Alex.“Ya, semacam itu. Aku belum menjawabnya. Betewe, ngapain ke kantor? Tumben banget kamu ke sini!” sindirku.“Yaelah, Tuan putri udah pikun. Bukannya kamu mau traktir aku maksi? Gimana, sih?!” Alex mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali aku melihatnya.“Haha ... aku lupa. Kuy lah kita berangkat! Pantas aku pusing, kukira sakit, ternyata lapar.”“Ah, dasar kamu ini kebiasaan dari dulu! Bukanny
Aku sendirian di rumah sakit. Ayah dan Ibuku sedang pergi ke luar kota. Suamiku, Mas Dani juga sedang pergi. Pamitnya beli makan, tapi sampai sekarang juga belum kembali.Haahh ....Aku menghela napas cukup panjang. Untunglah nyawaku terselamatkan. Mas Dani mau datang saat aku menghubunginya. Ku kira setelah dia tahu anak ini bukan anaknya, dia akan mengabaikanku, tapi ternyata tidak.Aku jadi ingat peristiwa tadi, Saat aku sedang selesei mandi dan masih memakai handuk. Karena aku tahu kedua orang tuaku sedang pergi, jadi aku tidak mengunci pintu kamar.Aku sangat kaget saat tiba-tiba ada seorang lelaki menerobos kamarku. Aku tidak tahu dia datang dari mana. Dia memaksaku melayani nafsu bejatnya, dengan ancaman pisau aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Dia mencium ku dengan sangat brutal, tak mengindahkan teriakan kesakitanku. Meskipun aku berteriak dengan kencang tak ada orang yang mendengar teriakanku. Aku menangis mengiba, memintanya agar berhenti karena aku sedang hamil. Mesk
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah