Kuusap air mata yang sedari tadi mencoba jatuh menggunakan tisu.“Aku ingin minta bantuan Papa untuk memecatnya bisa?” aku berharap Papa bisa berkata iya.Papa menghela napas.“Susah kalau itu, Nak. Tidak bisa langsung begitu saja. Apalagi tidak ada catatan buruk mengenai dirinya di perusahaan ini, tapi nanti biar Papa suruh orang untuk mengawasi kinerjanya gimana,” tawar Papanya.“Iya, Pah.” Aku pun sadar tak bisa sembarangan memecat karyawan tanpa alasan, Nanti biar kupikirkan lagi caranya. Yang jelas Papa sudah tahu dan jantungnya baik-baik saja.“Kapan kamu ke rumah? Mamamu sudah kangen berat,” tanya Papa.Mendengar pertanyaan Papa, aku bingung. Ingin rasanya aku kembali ke rumah Papa, tapi keenakan mereka menempati rumahku.“Besok kapan-kapan aku akan ke sana, Pa. Tapi tidak sekarang. Sampaikan saja salamku buat Mama. Aku mau pulang dulu. Capek habis dari puncak.”Papa menatap netra mataku. Terlihat mata Papa berkaca-kaca. Aku pun memeluknya erat sebelum berpamitan.Sampai di rum
“Iya, ini aku. Kenapa kamu kayak kaget gitu lihatnya? Tumben kamu jam segini masih tidur?Sarapan juga belum ada di meja, kita pulang lapar nggak ada makanan, kamu masak ya, Dek! Nanti aku mau kenalin seseorang buat kamu,” cerocos Mas Dani. Aku yang masih bangun tidur dan belum konek tiba-tiba tersadar mendengar ucapan terakhir dari Mas Dani. Ya, kalau mereka datang berarti perempuan itu juga datang. Kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.Dan apa yang dia bilang tadi? Aku harus memasak dan melayani para benalu tak tahu diri itu? Aku tak sudi.“Aku lagi enggak enak badan, Mas. Habis subuh tadi minum obat, makanya aku tidur lagi,” aku sengaja berbohong. Aku memang sakit. Lebih tepatnya hatiku yang sakit. Lagipula malas rasanya masak untuk orang-orang pengkhianat seperti mereka.“Ya sudah, kita beli dulu saja. Tapi buat nanti siang kamu masak ya, Dek. Kalau beli terus bisa boros nanti,” kata Mas Dani sambil tersenyum. Cuih, aku tak akan bisa kami bodohi, Mas.Lakukan saja apa yang kamu mau, Mas!
Aku mengusap ujung mataku yang basah karena kebanyakan tertawa. Aku menatap Anggita dari atas sampai bawah. Sepatu high heelsnya dia tenteng begitu saja.“Kamu habis kecebur got dimana?” tanyaku masih menertawai penampilannya.Dia menaruh sepatunya dengan kasar. Hampir saja mengenai kakiku.“Mbak ini keterlaluan! Teganya padaku. Mana ada gurameh harganya dua puluh ribu. Mana aku nggak bawa Hape dan nggak bawa uang!” sungut Anggita.“Jadi kamu nggak dapat ikannya?”“Ya enggaklah!” sungutnya.“Kamu sendiri yang bod*h, sudah tahu gurameh harganya mahal, masih juga menerima uang dari Mas Dani tanpa minta tambah.Kamu nggak bawa dompet dan nggak bawa hape? Salah siapa? Bukannya penampilanmu seperti ini karena kebod*hanmu sendiri?!”“Arghh! Kamu menyebalkan, Mbak!”Anggita masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kakinya. Dia berjalan menuju kamar depan. Padahal kamar itu sudah ditempati Ibu. Tentu saja aku mencegahnya.“Eh, tunggu! Itu sudah ditempati sama Ibu. Kamar Yang di atas kamar Mb
“Siapa yang tidak berguna, hah? Aku atau kedua saudara tersayangmu itu?! Dari dua tahun yang lalu aku yang mengerjakan semuanya tanpa sedikit pun kakakmu mau bantu. Demi baktiku padamu. Tapi malah ini yang kudapat?Kamu tahu, Mas? Bahkan pakaian dalam kakak dan adikmu aku yang mencuci! Harusnya mereka malu! Mereka bukan bayi yang harus dicucikan setiap hari!Aku ini istrimu, bukan babu mereka! Lagian kamu tahu sendiri, Mas! Rumah ini milikku, Harusnya mereka tahu diri kalau hanya menumpang di sini. Tapi apa balasannya? Bukannya berterima kasih malah mau seenaknya. Tadi aku hanya bilang mulai sekarang silakan masak sendiri-sendiri. Sudah cukup aku menjadi babu di rumahku sendiri. Aku sudah muak!!” Terengah-engah aku mengeluarkan semua emosiku.“Dek ....” Mas Dani berusaha meredam emosiku.“Aku belum selesai, Mas. Aku tak tahu apa yang dilaporkan Mbak Nia kepadamu. Dan kamu? Seharusnya sebagai seorang suami dan adik, kamu bisa jadi penengah! Bukan malah membela kakakmu dan menyalahkank
Dengan sedikit perdebatan, Akhirnya mau tak mau Mas Dani keluar membeli obat untuk Anggita. Dia mengambil kunci mobil dengan tergesa-gesa, bahkan kakinya sampai terantuk meja karena berlari kecil di dalam rumah dan tak memperhatikan sekitar.Mas Dani menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu. Tak sampai satu jam ia sudah kembali dengan obat oles dan beberapa pil. Aku tak tahu bagaimana Mas Dani mendapatkan obat itu.Dia menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk membantu istri mudanya minum obat. Dengan telaten dia memberikan obat itu kepada Anggita, sama sekali tak ada rasa cemburu. Sepertinya rasa cemburu kalah dengan rasa marah. Secepatnya aku ingin menendang mereka semua dari rumah ini. Namun aku harus bersabar sedikit lagi.“Dek, kenapa kamu suruh Anggita tidur di kamar pembantu? Kasihan kan? Kamarnya kecil begitu?” tanya Mas Dani sepulangnya dari kantor.Ya, setelah memberi obat itu, ia kembali ke kantor. Dan menjelang malam, dia baru pulang. Kami berbincang di ruang tengah.
Enak saja! Jangan harap kamu bisa seenaknya mengambil uangku, Mas!“Betul itu, Mas kemarin temanku ada yang nikah di hotel bintang tiga, katanya habis hampir lima ratus juta. Aku tak mau kalah, besok untuk resepsi kita sewa bintang lima ya, Mas.” Mata Anggita berbinar. “Bisa diatur, Sayang. Sekarang layani Mas dulu. Udah enggak tahan ini.”Mereka melanjutkan dengan hubungan suami istri. Terdengar Anggita mendesah. Aku merekam, tapi tak mau melihatnya. Tak kuhiraukan rasa sakit di hati. Aku harus terbiasa. Toh aku sudah melepaskan Mas Dani untuk wanita itu.Hingga satu jam lamanya, aku sama sekali tak bisa tidur. Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi seseorang. Aku segera mengubah tampilan layar ponselku, mencari kontak asistenku.(Halo, Bu Rara?) Ucap Lani.“Maaf, mengganggu malam-malam, tapi tolong besok kalau Bapak atau siapa pun anggota keluarga suamiku yang kalian kenal mau minta uang harus memakai tanda tanganku dulu sebelum mengeluarkan uang!” (Baik, Bu! Ada lagi?) tanyanya
Suara azan subuh mulai terdengar. Meskipun masih mengantuk karena tidur larut, aku segera beranjak untuk mengambil air wudhu. Kulakukan kewajiban pagi dua rakaat itu. Saat keluar kamar aku mendengar suara di dapur, aku melihat jam, masih jam lima pagi. Siapa yang sudah sibuk di dapur? Ibu dan Mbak Dian tidak mungkin jam segini sudah bangun Aku menengok ke arah Mas Dani. Dia masih tidur nyenyak.Oh, aku lupa kalau di rumah ini bertambah lagi orang yang numpang. Anggita berdiri di depan kompor menggunakan celemek milikku yang biasa kugunakan. Sepertinya dia memasak nasi goreng. Rupanya dia ingin menarik simpati Ibu dan Mas Dani dengan menyiapkan sarapan. Aku hanya mengawasinya dari pintu dapur, hingga akhirnya dia menyadari ada aku di sini.“EH, Mbak Rara sudah bangun, aku pinjam dapurnya ya, mau buat sarapan untuk kalian.” Anggita ramah mengajak bicara tapi buatku seperti dibuat-buat agar aku menerima kehadirannya. Meskipun aku bilang nasi goreng, tapi kenapa ada semua bumbu di atas
“Dek, kamu kan biasanya naik motor, kenapa mengambil kunci mobil?” tanya Mas Dani yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya, Nampak di belakangnya Anggita juga sudah rapi.“Lho? Anggita kerja juga? Kalau punya kerjaan ngapain numpang di sini? Mending cari kos atau Kontrakan saja, kan?!” Aku mengabaikan pertanyaan Mas Dani. Lantas Angggita salah tingkah.“kok malah gantian tanya, Dek? jawab dulu pertanyaanku!” tegurnya. “Aku bingung, Mas. Atas alasan apa dia tinggal di sini? Kalau dia anak lima tahun dititipin di sini aku tidak masalah. Butuh pengawasan dan bantuan tidak bisa mandiri. Lah ini? Dia wanita dewasa, bekerja, masih numpang juga di rumah orang? Hanya satu alasan, Mas. Dia punya maksud tersembunyi!” sindirku meliriknya. Tapi Anggita tak berucap sepatah katapun. Dari tadi Mas dani yang menjawab.“Sudah-sudah, malah jadi kemana-mana. Balik lagi, Dek. Mana kunci mobilnya?” tangan Mas Dani maju terarah kepadaku.“Mulai sekarang kamu yang bawa motornya, Mas. Mobil ini akan aku
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah